Monthly Archives: April 2011

Mental Preman

Mental tawuran

Tawuran hadi penyakit kronis di Jakarta. Gara-gara urusan sepele alias cetek, warga kontan mendidih darahnya. Bentrokan pecah. Dari anak-anak saampai orang bangkotan berpartisipasi aktif adu fisik.

Aneh bin ajaib tapi nyata. Bloon banget. Akal sehat, apalagi iman, kalah bener. Emosi malah jadi imam. Maen keroyok, maen gebuk. Bangga kalo dibilang jawara. Petangtaang-petengteng ngunjuku nyali.

Lurah sampe gubernur pasti capek ati ngeliat kelakuan warganya kayak gitu. Jurus apa pun masih kurang ampuh menekuk dan mempiting tawuran biar nggak bergaya lagi di tengah warga.

Kalau diurut sih, sebenarnya akar persoalan (kekerasan struktural?) itu adalah di samping emang imannya tipis banget, juga gara-gara kemiskinan (sturktural ?) sama kurang pendidikan.

Kalo orang kaya ngapai juga musti berkelahi di jalaanan. Begitu juga, orang berpendidikan atawa yang makan bangku sekolahan tinggi, mikir dua kali ikut beranem missal ngerebutin pepesan kosong.

Makanya akur banget dah kalo Pemprov DKI Jakarta bikin program pengentasan kemiskinan, termasuk di dalemnya ngasih modal usaha sama ngelatih ketermpilan warga miskin. Juga beasiswa buat murid dari keluarga miskin.

Kalo udah kagak miskin lagi, udah sekolahnya tinggi, tapi masih juga berantem ada urat otaknya yang korslet. “Kemane pikiran elu?” Begitu anak Kemayoran bilang (Agus Awe : “Tipis Iman, Kebodohan Maunya Tawuran”, POS KOTA, Rabu, 6 April 2011, hal 3, Sental-sentil).

Manusia Pereman

Manusia pereman ditemukan di mana-mana. Ditemukan dalam gedung DPR RI. Ditemukan di pusat gereja Katolik di Roma puluhan abad yang lalu. Paus pereman Urbanus memprovokasi wargaKristen untuk berbondong-bondong menghancurkan Islam di bumi Palestina. Terkenal dengan Perang Suci, Perang Salib.

“Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Almasih. Telah dilumuri oleh Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib tgerjadi karena dikobarkan oleh orang-oang Kristen, bukan oleh orang Islam. Mengalirnya pasukan-pasukan tentara sejak ratusan tahun dari Eropa menuju daerah-daerah Islam di Timur, adalah atas nama Salib : peperangan, pembunuhan, pertumpahaan darah. Dan setiap kali, paus-paus sebagai pengganti Yesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Baitul Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat suci Kristen lainnya” (Muhammad Husain Haekal : “Sejarah Hidup Muhammad”, Tintamas, Jakarta, 1984:259).

Liberalisme versus Fundamentalis.

Tanpa akhir, sepanjang masa terjadi pertarungan abadi antara Liberalisme-setanisme dengan Fundamentalisme. Selain itu ada berbagai macam teori tentang pertarungan. Karl Marx dalam “Das Kapital”nya mengintrodusir “Pertarungan antara Kelas Proletar dan Kelas Borjuis” yang berakar pada perbedaan status sosial ekonomi. Samuel Huntington dengan “The Clash of civilization” memperkenalkan “Pertarungan antara Islam dan Barat”. Amy Chua dalaam “World on Fire : How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hartred and Global Instability”nya memperkenalkan “Pertarungan antara Market-dominant minorities (kelompok konglomerat minoritas) dan kelompok melarat mayoritas”. Rosihan Anwar dalam GELANGGANG memperkenalkan “Pertarungan antara Santri-Orthodoks dengan Priyayi-Abangan-Sinkretis”.

Tinggalkan komentar

Filed under Tak Berkategori

Kenang-kenangan dari Rosihan Anwar

Kenang-kenangan dari Rosihan Anwar

Ada berbagai macam teori tentang pertarungan. Karl Marx dalam “Das Kapital”nya mengintrodusir “Pertarungan antara Kelas Proletar dan Kelas Borjuis” yang berakar pada perbedaan status sosial ekonomi. Samuel Huntington dengan “The Clash of civilization” memperkenalkan “Pertarungan antara Islam dan Barat”. Amy Chua dalaam “World on Fire : How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hartred and Global Instability”nya memperkenalkan “Pertarungan antara Market-dominant minorities (kelompok konglomerat minoritas) dan kelompok melarat mayoritas”. Rosihan Anwar dalam GELANGGANG memperkenalkan “Pertarungan antara Santri-Orthodoks dengan Priyayi-Abangan-Sinkretis”.

M Natsir waktu itu tak ikut serta dalam pertukaran pikiran tersebut. M Natsir pernah bertukar pikiran dengan Soekarno, dengan mengusung Islam sebagai satu-satunya “Dasar Indonesia Merdeka”, sedangkan lawan-debatnya, Sukarno mengusung Nasionalisme. M Natsir kurang atau bahkan tak mendapat dukungan dari kalangan sendiri. Dari dulu sampai kini pendukung paham Nasionalisme – Priyai-Abangan – lebih mendominasi daripada pendukung paham Islam – Mutihan-Santri – di seluruh Nusantara (Simak antara lain H Rosihan Anwar : “Santri Dan Abangan”, dalam GELANGGANG Sastra, Seni Dan Pemikiran”, No.1, Desember 1966, hal 54). Dakwah Islam Mutihan-Santri tak menyentuh, tak menarik Nasionalisme Priyayi-Abangan. Akibatnya posisi-kedudukan Nasionalisme Pryayi-Abangan-Sinkretisme lebih dominan dari pada Islam Mutihan-Santri-Orthodoks.

Jauh sebelum jadi Presiden, Gus Dur menolak konsep negara Islam. Sejak lama ia mengemukakan bahwa Islam tidak berfungsi ideologi di kalangan mayoritas kaum Muslimin. Bahwa wilayah kehidupan suatu agama memiliki otonominya sendiri. Bahwa Islam secara historis belum merumuskan tentang negara Islam. Bahwa dari sudut historis, tuntutan harus adanya negara Islam, rapuh sekali. Bahwa dari sudut pemikiran agung tentang keharusan adanya negara Islam. Bahwa Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa unsur yang membentuk masyrakat bukanlah agama, melainkan ikatan kebersamaan atau kebangsaan (Rosihan Anwar, PANJI MASYARAKAT, No.528, 21 Januari 1987, hlm 73).

H Rosihan Anwar mengemukakan bahwa idealnya (das Sollen) “Islam itu merupakan semen persatuan Indonesia”, namun realitas historisnya (das Sein) menunjukkan bahwa “Islam gagal menjadi titik pusat fokus penghimpun bagi nasionalisme Indonesia”. SI Tjokroaminoto gagal memegang peran pemersatu dalam gerakan nasional Indonesia, namun PNI Sukarno yang berorientasi modern dan sekuler sukses dalam menggalang pergerakan nasional”. Bahwa sebelum Indonesia Merdeka, kaum orthodok konservatif menjauhkan diri (memisahkan diri) dari SI Tjokroaminoto, dan pada Januari 1926 mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama. Dan setelah Indonesia Merdeka, golongan orthodox konservatif Nahdhatul lama memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952, karena masalah pembagian kursi kabinet, dan dalam muktamarnya di Palembang dengan formil dijadikan sebagai partai politik (GELANGGANG, No.1, Desember 1966, hal 54-58, “Santri Dan Abangan”).

Hubungan antara Sumber Syari’at Islam dengan Syari’at Islam itu dipandang bagaikan hubungan antara poros, sumber lingkaran dengan lingkarannya. Sumber Syari’at Islam sebagai poros, sumber, pusat bersifat tetap, tidak berubah, tidak berkembang. Sedangkan Syari’at Islam berubah, berkembang, berputar, beredar sepanjang lingkaran edarnya. Dalam menyikapi alQur:an sebagai Sumber Syari’at Islam, umat Islam secara garis besar terbelah dua. Pertama, kelompok yang menerima (muthi:in, literal, tekstual, orthodox, formal, tradisional), Kedua, yang menolak (aba:an, liberal, konstektual, deformal, sinkeretis, rasional) (H Rosihan Anwar : “Santri Dan Abangan”, GELANGGANG, No.1 Desember 1966).

Rosihan Anwar dalam tulisannya “Pahlawan Nasional” mempertanyakan “mengapa tidak juga mengusulkan sebagai Pahlawan Nasional tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, Syafrudddin Prawiranegara, atau Amir Sjarifoeddin ? Orang-orang ini adalah pejuang kemerdekaan dari jam-jam pertama revolusi.

Written by Asrir Sutanmaradjo at BKS
(look also at http://asrirs.blogspot.com https://sicumpas.wordpress.com http://sikumpas.blogspot.com http://kamimenggugat.blogspot.com http://kami-menggugat.blogspot.com http://islamjalanlurus.truefreehost.com http://sicumpaz.truefreehost.com http://sicumpas.multiply.com http://fauziah_sul.livejournal.com http://pontrendiniyahpasir.wordpress.com)

Tinggalkan komentar

Filed under Tak Berkategori

Menggugat fiqih, membela emansipasi ?

Menggugat fiqih, membela emansipasi ?

Ketika menyimak tulisan Muhammad Musa MA “Hak Reproduksi Perempuan Dalam Hukum Islam” (Mimbar ALMUHAJIRIN Jakaperamai Bekasi, No.8, 1 April 2011 ?), saya serasa membaca “Menggugat fiqih, membela emansipasi”. Berbeda dengan ketika saya membaca tulisan Dr Ahmad Syauqy alFanjari “Perkawinan sehat” (“Pengarahan Islam Tentang Kesehatan”, alHidayah, Jakarta, 1990:140-149), Dwi Astuti “Adab Hubungan Suami-Isteri” (PANJI MASYARAKAT, No.255, 15 September 1978, hal 51-52), dan lain-lain semacam itu.

Dalam tulisan Muhammad Musa tersebut antara lain disebutkan bahwa “dalam banyak literature fiqh Islam, hak penikmatan seksual tampak hanya menjadi milik laki-laki. Hak-hak seksual perempuan direduksi (dinafikan, dikebiri ?). Suami berhak atas kenikmatan seksnya kapan saja, dan isteri wajib memenuhinya. Ini merupakan konsekwensi logis dari rumusan nikah yang dibuat oleh mayoritas besar para ahli fiqh (yang semuanya adalah para lelaki ?) yang merumuskan perkawinan atau pernikahan sebagai akad yang memberikan hak kepada laki-laki untuk penikmatan tubuh perempuan. Pandangan ini sulit dimengerti ketika dihubungkan dengan prinsip kesetaraan hak laki-laki dan perempuan (hak kesetaraan gender ?).

Dalam tulisan Muhammad Musa tersebut tak dibahas bahwa “Hubungan Suami Isteri Dalam Tuntunan Islam” antara lain agar “Bersungguh-sungguh, tidak tergesa-gesa dan berusaha selesai bersama”. ‘Jika salah seorang kamu bersaggama dengan isterinya, hendaklah ia bersungguh-sungguh. Bila ia sedang menyelesaikan kebutuhannya padahal isterinya belum sampai klimaksnya, maka janganlah tergesa-gesa untuk mengakhirinya sebelum kebutuhan isterinya selesai pula” (HR Abu Ya’la, RISALAH, Bandung, No.10, th.XXV, hal 37, Keluarga Islami. Apakah masalah ini sengaja dilewati agar terlihat bahwa Islam itu tak memperhatikan kebutuhan perempuan ?

Kata “masih” dalam ungkapan … literature fiqh klasik yang sampai hari ini masih menjadi sumber otoritatif kaum muslimin sesudah alQuran dan hadits …” menyiratkan secara impliist (tersembunyi) bahwa penulis Muhammad Musa menginginkan, mengharapkan agar literatur (khazanah, kepustakaa) fiqih Islam klasik tidak lagi (relevan) menjadi sumber rujukan otoritatif kaum Muslimn sesudah alQuran dan Hadits. Mengharapkan re-interpretasi dari fiqih Islam agar sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. Penulis tampaknya merasa fiqih Islam klasik menggugurkan prinsip kesetaraan gender. Dengan sangat ilmiah, dengan penyusunan premis/muqaddamah sedemikian rupa, sehingga dapat menggiring pembaca memperoleh konlusi/natijah yang sesuai dengan perspektif penulis.

Jahili sekuler memang sangat intens berupaya menggugat tafsir ulama Salaf sebagai referensi tunggal, bahkan menuding tafsir ulama Salaf sebagai pemicu radikalisme/terorisme (Simak Tony Rudyansyah : “Tragedi Bom Bali : ‘Radikalisme, Globalisme dan Krisis Kemanusiaan’”, KOMPAS, Sabtu, 22 Oktober 2005, hal 14). Menggugat (mereduksi, menafikan, mengkebiri) literatur (khazanah, kepustakaan) karya-karya ulama terdahulu yang dipandang sangat situsional, hanya sesuai dan cocok untuk zamannya (Simak Majalah TABLGH, Vol.03/No.02/Septeber 2004, hal 39, “Intelektual Jahil Berbahaya” dari hidayatullah.com, Adian Husani MA).

Written by Asrir Sutanmaradjo at BKS
(look also at http://asrirs.blogspot.com https://sicumpas.wordpress.com
http://sikumpas.blogspot.com http://kamimenggugat.blogspot.com http://kami-menggugat.blogspot.com http://islamjalanlurus.truefreehost.com http://sicumpaz.truefreehost.com http://sicumpas.multiply.com http://fauziah_sul.livejournal.com http://pontrendiniyahpasir.wordpress.com )

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Menjadi Muslim Ideal

Menjadi Muslim Ideal

“Menjadi Muslim Ideal” demikian judul terjemahan buku “The Ideal Muslim” karangan Muhammad Ali alHasyimi, oleh Ahmad Baidowi, terbitan Mitra Pustaka, Yogyakarta. Ajakan “Menjadi Muslim Ideal” dipahami sebagai “Menjadi Muslim Wasathan, Kaffah, Rahmatan lil ‘alamin, Sunni, Ahlus Sunnah wal Jaama’ah, Paripurna”.

Muslim Paripurna mencakup seluruh unsurnya. Muslim akidahnya, ibadahnya, munakahahnya, mu’amalahnya, jinayahnya, jihadnya, dakwahnya, akhlaknya, politiknya, ekonominya, sosialnya, budayanya, semuanya. Sesuai dengan dosisnya yang pas, mengandung unsur moderat, konfirmis, ekstrim, radikal, militant.

Muslim Wasathan. Lembut pada tempatnya. Keras pada tempatnya. Melakukan sesuatu pada tempatnya. Akidahnya bersih dari noda syirik, takhyul, khurafat, klenik, magik, mitos, animisme, dinamisme. Ibadahnya bersih dari bid’ah. Mu’amalahnya bersih dari tradisi, budaya fahsya, munkar.

Muslim Rahmatan lil ‘alamin. Membawa rahmat bagi semua. Membawa kedamaian bagi semua. Damai bagi manusia. Damai bagi hewan, tanaman. Damai bagi non-Muslim. Damai bagi alam semesta. Bahkan damai bagi lawan/musuh dalam pertempuran/perperangan. Semuanya bersih dari dendam, marah, kesumat. Semata-mata lillahi ta’ala. Damai, sejahtera itu adalah salah satu makna, arti dari Islam itu sendiri. Setiap Muslim adalah juru selamat, pembawa kedamain. Semoga keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, keberkahan menyertai semua. “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”.

(written by sicumpaz@gmail.com in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1103290700)

Islam rahmatan lil ‘alamin

Islam kaffah, Islam paripurna adalah yang menerapkan ajaran Rasulullah saw secara utuh, lengkap, meliputi ibadah, munakahah, mu’amalah, jinayah, akhlaq, IPOLEKSOSBUDHANKAMTIB. Bila Islam diterapkan secara utuh mengikuti ajaran Rasulullah, maka dengan idzin Allah akan terwujud komunitas, masyarakat sejahtera adil makmur, masyarakat yang rahmatan lin’alamin, negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.

Konsepsi, prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat marhamah, masyarakat rahmatan lin ‘alamin di antaranya adalah : menyebarkan salam, perdamaa, kedamaian, kerahmatan, keberkahan, kebajikan, menghindari, menjauhi perbuatan munkar, makar, onar, keresahan, kerusuhan, permusuhan, kekacauan’ menumbuhkan kebersamaan, kesetiakawanan, mengendalikan lisan dan perbuatan, tidak melakukan perbuatan yang sia-sia, dan lain-lain.

“Sebarkan salam di antara kamu” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Muslim dari Abu Hurairah dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Keutamaan Salam dan Perintah Menyebarkannya” ). ‘Janganlah engkau pandang rendah apa saja dari kebaikan, walaupun engkau berikan saudaramu hanya dengan muka yang manis” (HR Muslim dari Abidzarr, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Menerangkan berbagai macam jalan Menuju Kebaikan” ). “Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah teleh berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi” (QS 28:77). “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS 5:2). “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilllah karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS 5:8). “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari prbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan” (QA 16:90). Rasulullah saw menjamin sorga bagi siapa yang sanggup menjaga lidah (yang di antara dagunya) dan kelamin (Yang di antara pahanya) (Simak HR Bukhari, Muslim dari Sahal bin Sa’ad, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Beberapa larangan ghibah dan perintah Memelihara Lidah”).

Seluruh ajaran Rasulullah adalah tentang akhlaq paripurna yang menjurus kepada terwujudnya ketertiban, keamanan, kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kemakmuran. Dengan kata lain akan terujud masyarakat madani, civil society (civilization). Simaklah ayat-ayat alQur:an dan alHadits, antara lain dalam buku Dr Muhammad Ali alHasyimi : “Menjadi Muslim Ideal” (The Ideal Muslim : The true Islamic Personality as difined in the Qur:an and Sunnah), kitab Imam Nawawi : “Riadhus Shalihin”.

Islam kaffah

Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam (Prof Dr Hamka : “Tafsir AlAzhar”, juzuk II, 1983:173, re tafsiran ayat 2:208). Belumlah sempurna, belumlah “masuk Islam keseluruhannya”, kalau masih belum menurut peraturan alQur:an. Cukup hanya mengakui Islam satu-satunya aturan hukum.

Semakin tertanam keyakinan bahwa hukum Islam itu lebih baik dari yang lain, maka akan semakin gencar tuduhan sebagai teroris. Semua tersangka teroris yang ditangkap, dibunuh adalah yang punya keyakinan bahwa hukum Islam itu lebih baik dari yang lain dan punya keinginan untuk menegakkan hukum Islam itu secara nyata-konkrit.

Islam sama-sekali harus tampil nyata berbeda dengan non-Islam. Simak antarra lain ‘Perbedaan antara Seorang Muslim dan Seorang kafir”, dalam “Dasar-Dasar Islam” (Fundamentals of Islam) oleh Abul A’la Maududi.

Rocker Hari Moekti lebih ngakngikngok dari Elvis Presly. Tampil di panggung/pentas jingkrak-jingkrak bagai cacing kepanasan. Menjelang usia 40 tahun, ia mengakhiri dunia artis, dan mulai menggeluti dunia dakwah sampai kini, ikut terlibat dalam pembinaan berbagai taklim.

Pada tayangan kuliah Ramadhan di televise disaksikan para pendakwah yang senang dikelilingi oleh para artis, para selebritis. Para pendakwah ini tampil sebagai artis, selebritis. Pendakwah Hari Moekti tampil menjauhi artis, selebritis.

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendagurau (olok-olok, lawakan, lelucon), dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia” (QS 6:70). Gaul, urakan, bebas, liberal lebih berkonotasi lelucon, lawakan, olok-olok.

“Apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olokkan oleh orang-orang kafir, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka” (S 4:140, simak juga QS 6:68).

Pendidikan Islam kaffah bisa saja antara lain memanfa’atkan/melalui cerpen, novel, roman, features, sinetron, film, musik, dan lain-lain sebagainya. Buah karya tersebut benar-benar sebagai media dakwah, mendakwahkan Islam kaffah. Sosok Islam kaffah dapat disimak, diamati dari sosok para sahabat Rasulullah saw.

Sikap seorang Muslim

Seorang Muslim bersyahadat, berikrar bahwa “Tak ada Tuhan selain Allah” (QS 3:18), bahwa “Muhamamad Rasul/Utusan Allah” (QS 3:144). Mengakui bahwa “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS 6:57). Tak akan dijumpai orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat bekerja sama dengan orang-orang yang mengolok-olokan, mempermainkan, mengganggu, memusuhi Islam (QS 58:22).

Seorang Muslim menolak berhukum dengan hukum thagut (QS 4:60;5:50). Seorang Muslim tak mengakui yang menolak Syari’at Islam sebagai Ulim Amri (QS 5:57). Seorang yang benar-benar Muslim sangat tampak beda dengan yang non-Muslim, dalam setiap aspek, baik dalam beretika, bersopan-santun, bermu’amalah, bermasyarakat, berbangsa, bernegara (QS 4:140).

Seorang Muslim bersyahadat, berikrar ahwa tak ada kekuasaan yang berdaulat atas dirinya kecuali Allah. Bahwa tak ada hukum yang patut dipatuhi untuknya kecuali hukum Allah. Tak ada perintah yang di luar perintah Allah yang layak untuk dipatuhi. Tak terikat dengan adat kebiasaan yang berlaku yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Seorang Muslim menolak sesuatu yang di luar hukum Allah (Abul A’la Maududi : “Metoda Revolusi Islam”, 1983:64-65; “Dasar-Dasar Islam”, 1984:58-59).

Seorang Muslim melakukan shalat, shaum, zakat, haji pada waktunya mengikuti tuntunan/petunjk Quar:an dan Sunnah. Seorang Muslim kawin, menikah mengikuti tuntunan/petunjuk Qur:an dan Sunnah. Seorang Muslim bermu’amalah, bertransaksi, berinteraksi sesuai dengan tuntunan/petunjuk Qur:an dan Sunnah. Tuntunan/petunjuk/pedoman hidup bagi seorang Muslim hanyalah Qur:an dan Sunnah.

(written by sicumpaz@gmail.com in sicumpas.wordpress.com as Asrir aat BKS1005161400)

Islam tak bicara moderat atau radikal

Fenomena radikalisme adalah fenomena semua agama dan terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Fenomena radikalisme yang paling jelas terjadi di dalam agama Yahudi (Simak KOMPAS, Sabtu, 14 Juni 2003, hal 4, Opini : ‘Fundamentalisme Agama dalam Konflik Israel – Palestina, ole h MG Romli), Kristen. Juga terlihat jelas di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat banyak sekte Kristen yang berpandangan radikal. Radikalisme bukanlah sebab tapi akibat, yaitu akibat dari ketidak adilan sosial-ekonomi-politik-budaya (Simak Denny JA dalam REPUBLIKA, Rabu, 10 Oktober 2006, hal 3, Politik).

Musuh musuh Islam memecah-mecah, membagi-bagi, memenggal-menggal Islam menjadi beberapa bagian yang berbeda-beda, sehingga ia bukan lagi Islam yang utuh. Mereka ciptakan istilah Islam Asia, Islam Afrika, Islam Nabawi, Islam Rasyidi, Islam Umawi, slam Abbasi, Islam Ustmani, Islam Modern, Islam Arabi, Islam Hindi, Islam Turki, Islam Indonesia, Islam Jawa, Islam Sunni, Islam Syi’i, Islam Revoluisoner, Islam Konservatif, Islam Radikal, Islam Sosialis, Islam Fundamentalis, Islam Orthodoks, Islam Ekstrim, Islam Moderat, Islam Politik, Islam Spiritual, Islam Temporal, Islam Teologis (Simak Dr Yusuf Qardhawi : “Fatwa-fatwa Kontemporer”, jilid II, 1996:896).

Predikat “moderat’ disandangkan pada pihak-pihak yang mendukung kebijakan AS dan sekutunya. Predikat “ekstrim”, “teroris” disandangkan pada pihak-pihak yang menantang, mengancam, mengusik kebijakan AS dan sekutunya (Simak Noam Avram Chomsky : “Maling Teriak Maling : Amerika Sang Teroris ?”, 2001:20.

Yang tidak bersimpati pada Islam (seperti kaum orientalis) mnciptakan terminology yang tidak ada dalam khazanah Islam, seperti : Islam Militan, Fundamentalisme Islam, Integralisme Islam, dan lain-lain. Amien Rais menyerukan agar cendekiawan Muslim di Indonesia seyogianya bersikap kritis terhadap terminology seperti itu yang oleh orang luar dicoba dipaksakan dengan makna derogatory dan pejorative (kemunduran, penurunan, pelanggaran, pengabaian). Setiap orang dirangsang agar berupaya mengidentifikasikan dirinya dengan criteria yang diisukan dan selanjutnya agar berupaya melengkapi diri dengan ceritera lawan yang diisukan. Struktur (sistim pemerintahan) warisan colonial dirancang sedemikian rupa untuk mencengkeram negera-negara Muslim (Simak ALMUSLIMUN, o.199, Oktober 1986, hal 74 : “Islam dan Radikalisme” oleh Amien Rais”.

Islam sendiri tak berbicara tentang pengertian ekstrim-radikal dan moderat-kompromis. Yang ada berwatak lembut bukan berwatak kasar (QS 3:159). Nabi Musa tak pernah diperintah untuk menggantikan kekuasaan/kedudukan Fir’aun. Hanya bisa dijumpai pengertian hak dan bathil dengan tolok ukur firman Allah swt (alQuran) dan penjelasannya (asSunnah), bukan pendapat, bukan pikiran, hasil ijtihad yang sejalan dengan kemauan. Ekstrim-radikal adalah bersifat nisbi/relative (SINAR PAGI, Selasa, 8 April 1986, Editorial : ‘Ekstrimisme & Radikalisme Islam’).

Setiap yang berpikir kritis-analitis bisa saja dikategorikan manusia yang berpikiran radikal/ekstrim, tergantung dari sudut pandang pengamat. Nabi Ibrahim yang memandang matahari, bulan, bintang bukanlah sembahan/Tuhan, secara demonstrative menghancurkan patung/berhala sembahan massyarakatnya. Tindakan demikian bisa saja dikategorikan sebagai tindaan ekstrm/radikal. Nabi Muhammad yang memandang lata, uzza, bukanlah Tuhan secara demonstrative menyembah Alah swt di tengah-tengah masyarakatnya yang menyembah ratusan patung/berhala di dalam masjidil haram. Tindakan demkian pun bisa saja dikategorikan sebagai tindakan yang ektrim/radikal.

Disadari atau tidak, Abou El Fadl dalam karyanya “And God Knows the Soldiers” dan Speaking in God’s Name” terjebak pada pengkotak-kotak umat Islam yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, yaitu dengan memetakan umat Islam menjadi Islam puritan, Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam ekstrim, Islam khawarij, Islam wahabi, Islam sekuler, Islam moderat, Islam pasifis, Islam integralis. Islam puritan, Islam wahabi menurutnya mematikan kebebasan berpikir dan intelektualisme Islam. Mengacu pada Abou El Fadl, Ahmad Syafi’i Ma’arif juga menyadari bahwa Gedung Putih dibawah Bush menjadi pusat terorisme negara bersama Israel menghancurkan Afghanistan dan Irak sehingga kondisi kedua negara itu semakin memburuk dan rusak (Simak REPUBLIKA, selasa, 26 Nopember 2006, hal 12, Resonansi : “Abou El Fadl tentang Peta Umat”). Bush dikenal fanatic, fundamentalis, konservatif (REPUBLIKA, Kamis, 9 Nopember 2006, hal 4, Tajuk : “Menunggu Langkah Baru Amerika”).

Keadilan dalam Islam. Bagaimana ?

Islam menuntun umatnya agar senantiasa berlaku adil, terhadap siapa pun, bakan terhadap musuh yang dibenci sekali pun (Simak QS 16:90, 6:152, 5:8). Keadilan Islam itu mutlak, merata. Tanpa dipengaruhi rasa benci atau simpati. Tanpa terpengaruh oleh hubungan darah, ikatan kelompok, rasa segolongan. Tanpa membedakan asal-usul, bangsa, keturunan, keyakinan, kepercayaan, agama, status sosial-ekonomi.

Eksistensi SARA bagi Islam bukanlah sebagai pemicu disintegrasi (li-tafarraqu), tetapi untuk li-ta’arafu, untuk saling mengarifi, memahami, memperhatikan, saling memudahkan, saling membantu, menolong, bekerjasama (idem QS 49:13, 43:23, 5:2).

Islam sangat adil. Keadilan Islam amat unik. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bersikap ekslusif pada yang harus ekslusif, dan bersikap inklusif pada yang harus inklusif. Bersikap humanis pada yang humanis. Islam menyamakan yang pantas disamakan, dan membedakan yang pantas dibedakan. Islam menetapkan garis tegas pemisah yang jelas dalam hidup tentang pedoman/pandangan, tujuan, tugas, peran/fungsi, kawan, lawan, teladan, bekal, dan lain-lain.

Islam membedakan antara persaudaraan se-iman yang terikat pada kasih saying karena Allah semata, dan persaudaraan dengan yang bukan se-iman yang hanya berdasarkan kepentingan bersama. Islam tak membenarkan yang Islam bermesraan, berkoalisi, beraliansi, berelasi dengan yang bukan Islam.

Sanksi hukum dalam Islam berlaku umum buat semua tanpa diskriminatif, tidak membedakan asal-usul, etnis, gender, bangsa, agama. Tapi dalam hal warisan, kesaksian, pertemanan (bithanah, walijah), kepemimpnan (walaa), Islam membedakan atas keturunan, gender, agama. Lembaga yudikatif, legislative, eksekutif dalam Islam bersifat ekslusif, membedakan gender, agama. Fiqh mu’amalah versi matan Taqrib Abi Syja’ mensyaratkan personil yudikatif, legislative, eksekutif terbatas bagi lelaki dewasa Muslim yang waras cerdas berpengetahuan, cakap berkemampuan dan memahami serta mengamalkan Islam.

Persetujuan antara sesama Islam diputuskan dalam musyawarah dengan suasana ruhamaa yang bersifat ekslusif (terbatas kalangan Islam). Sedangkan persetujuan antara Islam dengan yang bukan Islam ditetapkan dalam ikatan perjanjian dengan suasana asyiddaa yang bersifat inklusif (tak terbatas kalangan Islam). Organisasi, perkumpulan, himpunan yang berupaya membela ‘izzaah Islam dan umat Islam bersifat ekslsif, terbatas bagi yang Islam.

TW Arnold menulis : “Ketika tentara Islam mendekati lembah Yordan dan pimpinan pasukan, Abu Ubaidah mendirikan kemahnya di Fihl, penduduk Nasrani menulis kepada orang-orang Arab mengatakan ; oh kaum Muslimin, kami memilih kalian dari pada orang-orang Bizantium, walaupun mereka kawan seiman dari pada kami, karena kalian menimbulkan kepercayaan kepada kami dan perintah kalian lebih baik dari pada perintah mereka. Mereka telah merampas harta-harta kami dirumah-rumah kami. Rakyat Amessa menutup gerbang kotanya terhadap tentara Heraklius dan berkata kepada kaum Muslim bahwa mereka lebih menyukai pemerintahannya, keadilannya lawan ketidakadilan dan penindasan orang-orang Yunani” (“The Preaching of Islam”, page 55, dari Khurshid Ahmad : “Islam lawan Fanatisme dan Intolernasi”, terjemah S Sjah SH, terbitan Tintamas, Djakarta, 1968:55-56).

Antara pengakuan dan identitas

Bila seseorang mengaku sebagai orang Indonesia, tetapi mengakui pula lagu Wihelmus atau Kimigayo atau Long Live The King atau Rayuan Kelapa atau lainnya sebagai lagu kebangsaan Indonesia, atau mengakui pula bendera tiga warna atau bendera putih merah, atau bendera lainnya sebagai bendera Indonesia, apakah pengakuannya tersebut bisa diterima ? Dan bagaimanakah seharusnya sikap orang Indonesia kepadanya. Apakah akan membiarkan pengakuannya itu ? Ataukah akan menyuruhnya untuk mencabut pengakuannya itu ? Ataukah akan menghadapinya dengan bentrokan fisik ?

Bila seseorang mengaku sebagai orang Islam, tetapi mengakui pula ada Nabi setelah Nabi Muhammad, atau mengakui pula ada Qur:an yang lain, apakah pengakuannya tersebut bisa diterima ? Dan bagamana seharusnya sikap orang Islam terhadapnya ? Apakah akan membiarkan pengakuannya itu ? Ataukah akan menyuruhnya untuk mencabut pengakuannya itu ? Ataukah akan menghadapnya dengan bentrokan fisik ?

Hanya satu jalan yang benar

Tajuk KORAN TEMPO, Minggu, 13 Februari 2011, hal A2, yang ditulis oleh Putu Setia dengan judul “Sesat” benar-benar sesat menyesatkan. Disebutkan bahwa “Ahmadiyah bukan sesat, mereka hanya memilih jalan yang berbeda”. “Memilih jalan yang berbeda itu tidak berarti sesat, karena tujuan yang hendak dicapai sama saja”. “Orang harus menghormati semua jalan, tak boleh ada celaan dan penistaan”.

Logkanya benar-benar “benar”, benar semu, benar palsu, benar manipulatif, benar sesat menyesatkan. Yang benar itu hanya satu. Yang lain dari itu adalah sesat. Untuk menjadi seorang Indonesia, anya ada satu jalan, satu cara yang benar, yaitu dengan memiliki kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia. Tak ada jalan, cara lan yang benar. Jalan, cara lain adalah jalan, cara yang salah, yang sesat.

Berpikir ilmiah

Logika (Ilmu Berpikir, Ilmu Mantiq) warisan peninggalan Socrates, Plato, Aristoteles adalah cara, metoda berpikir benar, berpikir lurus. Hasil dari logika adalah kebenaran relative, kebenaran nisbi. Sedangkan Kebenaran absolute, kebenaran mutlak adalah dari Yang Mutlak, dari Tuhan, Penguasa alam semesta. Kebenaran nisbi disebut juga dengan kebenaran objektif. Yang menyimpang dari kebenaran nisbi disebut kebenaran subjektif.

Untuk dapat memperoleh kebenaran objektif disebutkan haruslah dengan menggunakan metoda ilmiah modern, yatu dengan terlebih dahulu membebaskan diri dari segala prasangka (zhanni, asumsi, presumption), pandangan hidup (way of life) dan kepercayaan (agama) yang ada pada diri (Simak antara lain Muhammad Husein Haekal : “Sejarah Hidup Muhammad”, Tintamas, Jakarta, 1984:114). Dengan demikian, maka untuk dpat memperoleh kebenaran objektif mengenai agama haruslah keluar dulu dari agama yang dianut (Simak juga Adian Husaini : “KEMI”, Gema Insani, Jakarta, 2010:162, tentang Metodologi Studi Agama-agama dari Kelompok Sekularisme-Pluralisme-Liberalisme). Yang memiliki pemahaaman seperti ini dise but dengan vriydenker, freethinker, liberalis, pemikir bebas (dari agama).

Prinsip berpikir ilmiah kontemporer adalah : empiris, rasional, objektif imparsial, relativisme moral, agnostic, aksoma spekulatif, pendekatan parsial. Sedagkan berpikir ilmiah agamawi/religi adalah : metaempiris, intuitif, objektif partisipatif, aabsolutisme moral, eleplisit, aksioma agama, pendekatan holistic.

Langkah metoda ilmiah. Pertama pengumpulan data atau informasi secara objektif (penelaahan sumber) melalaui penelitian. Keda perumusan hipotesa (kaidah/prinsip). Ketiga prediksi (penyusunan teori). Keempat pengujian hipotesa. Sedangkan cara yang ditempuh ulama fiqih menentukan kaidah-kaidah ushul adalah seperti berikut . Pertama menela’ah sumber syar’iat. Kedua merumuskan kaidah-kaidah ushul dari sumber syari’iat. Edua merumuskan ketentuan hukum dengan kaidah-kaidah ushul. Keempat memeriksa ketentuan hukum dengan sumber syar’iyah. Kelima merumuskan kembali kaidah-kaidah ushul.

Menyikapi Musuh Islam

Yang tak mengakui bahwa “Tak ada Tuhan selain Allah” dan tak mengakui bahwa “Muhammad adalah Rasul/Utusan Allah” di segi akidah (keimanan, kepercayaan, ideologis) selama ia tak menampakkan permusuhan secara nyata-konkrit (seperti tindakan caci maki, agitasi, provokasi, intimidasi). Terhadap mereka yang memusuhi Islam secara ideologis ini, Islam hanya bersikap “Maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barangsapa yang ngin kafir biarlah ia kafir” (QS 18:29), “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS 109:6), “Tak ada paksaan untuk memasuki agama Islam” (QS 2:256), “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu” (QS 42:15).

Yang tak mengakui bahwa “Tak ada Tuhan selain Allah”, tetapi mengaku bahwa ada pula Nabi/Rasul setelah Nabi Muhamad, adalah juga musuh Islam di segi akidah (keimanan, kepercayaan, ideologis), selama a tak menampakkan permusuhan secara nyata-konkrit (seperti tindakan caci maki, agitas, provokasi, intimidasi). Terhadap mereka ini Islam membolehkan memperlakukan mereka sebagai objek dakwah dengan jalur mujadalah, adu hujjah/argmentasi).

Terhadap mereka yang terang-terangan menampakkan kebencian. Permusuhan terhadap Islam seperti tindakan caci maki, agitasi, provokasi, intimidasi, Islam membuka pintu balasan yang setimpal. Bahkan dalam perperangan sekali pun ada batas-batas yang sama sekali tak boleh dilewati (Simak antara lain QS 2:190).

Yang memusuhi Islam secara ideologis (akidah) biasanya disebut dengan kafir. Kekafiran tersebut menyebabkan terputusnya hubungan pertalian darah, seperti hubungan waris-mewarisi, hubungan nikah-menikahi, hubungan imam-mengimami, hubunan shalat-menshalati, dan lain-lain.

Umat Islam masa kini, khususnya para ulama haruslah mengkaji ulang, dan memahami secara mendalam latar belakang yang menyebabkan umat Islam masa lalu membakar Masjid Dhirar, memerangi Musailaamah alKadzab dan pengikutnya. Dengan demikian penerapannya dapat dilakukan secara tepat.

(Simak antara lain karya tulis Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang “Yang Membatalkan Keislaman”, dalam “Petunjuk Jamaah Haji dan Umrah”, susunan Badab Penerangan Haji Saudi Arabia; Sayyid Quthub : “Petunjuk Jalan”, Bab IV, “Jihad fi Sabilillah”).

Bincang-bincang masalah umat Islam

Bincang-bincang masalah umat Islam haruslah digelar secara berkesinambungan. Apakah umat Islam kini maju ataukahundur, tertinggal. Apakah menjadi umat pemenang, umat unggulan, ataukah menjadi umat pecundang, menjadi bulan-bulanan. Apakah criteria, cirri, tanda umat pemenang, umat unggulan. Jika umat Islam kini menjadi umat tertinggal, menjadi bulan-bulanan, apakah factor penyebabnya. Dan bagaimana cara mengantisipasi, membangkitkan posisi, prestise, harkat, martabat umat Islam kembali.

Predikat, sebutan umat pilihan yang disandang umat Yahudi tidak lagi relevan, bila pilihan bermakna kesayangan, namun masih tetap relevan, bila pilihan bermakna unggulan.

Menggugat kekuatan umat Islam

Umat Islam, lima kali sehari ditempa, dibina, dididik dengan melaksanakan shalat jama’ah di Masjid. Sekali seminggu dengan melaksanakan shalat Jum’at. Dua kali setahun melaksanakan shalat ‘id, ‘idul fitri dan ‘idul adha, shaum (puasa) Ramadhan serta menunaikan zakat (bagi muzakki). Umat Islam seluruh dunia (yang memiliki kemampuan) sekali setahun ditempa, dibinaa, dididik dengan melaksanakan ibadah haji.

Dalam oraktik kehidupan nyata, semuanya itu sama sekali tak mempan menggalang kekuatan umat Islam. Ritual, seromonial ibadah haji tak mempan menggalang kekuatan umat Islam seluruh dunia. Tak mempan menggalang dana dakwah wal jihad mat Islam. Umat Islam tetap saja sebagai umat pecundang, menjadi bulan-bulanan. Persis sebagai buih di lautan seperti diprediksi oleh Rasulullah saw. Tak punya bobot. Ringan, enteng. Dipandang enteng orang. Tak disegani, tak dihormati orang.

Ulama bicara Ketidakberdayaan Ulama

Krisis yang menimpa bangsa ini tidak lain akibat diamnya para ulama terhadap berbagai kebobrokan dan kemaksiatan yang terjadi di kalangan penguasa dan rakyat pada umumnya. Bahkan ada kecenderungan bebrapa ulama dalam segala levelnya sebagai pembri legitimasi kebijakan pemerintah (ulamaus suu’ ?).

Munculnya berbagai kerusuhan di mana-mana yang dipicu oleh para provokator, ketidakmampuan aparat keamanan untuk mengantisipasi kerusuhan sebelumnya atau menangkalnya sedini mungkin, di samping juga adanya ssebagian tokoh ulama yang sok tahu siapa provokatornya tapi tidak berani menunjuk hidungnya apalagi menangkapnya, semua itu menunjukkan alangkah tidak berdayanya ulama untuk berperan sebagai pemimpin umat dan berusaha untuk mengajak penguasa menyelesaikan kerusuhan tersebut secara bijaksana.

Terjadinya tawuran dan kerusuhan antara umat Islam sendiri, tawuran antar warga, pertarungan antara pendukung parpol dengan parpol lain, semua itu akibat dari ketidakberdayaan ulama untuk membimbing umat ini secara baik.

Problematika umat semakin komplek menggurita. Do’a (istighatsah) tidak dkabulkan, karena para ulama tidak berdaya melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Agar doa bersama dikabulkan, agar krisis dan kerusuhan diangkat Allah, perlu melakukan perubahan apa yang ada dalam diri bangsa ini, antara lain sebagai berikut :

1. Setiap individu baik penguasa, ulama atau rakyat biasaberusaha merubah sikap mental yang ada dalam diri agar menghasilkan perilaku yang lebih positif dan produktif.
2. Mendorong para ulama dan tokoh masyarakat untuk lebih peduli terhadap amar ma’ruf dan nahi munkar.
3. Meningkatkan peran orangtua dan tokoh masyrakat untuk memberantas semua bentuk kemaksiatan di rumah dan lingkungan masing-masing.
4. Semua ormas terlibat bekerjasama dan bahu membahu untuk lebih aktif melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar serta meningkatkan kemampuan memahami Islam, mengamalkan dan memperjuangkannya.
5. Umara/pemerintah dan semua aparatnya agar lebih meningkatkan upaya untuk mengikis habis semua bentuk penyelewengan dan kedurhakaan yang ada pada bangsa ini

(Prof Dr H Ahmad Satori Ismail : “Ketidakberdayaan Ulama”, mimbar ALMUHAJIRIN, Jakapermai Bekasi, No.5, 25 Februari 2011 ?)

Written by Asrir Sutanmaradjo at BKS1102080500
(look also at http://asrirs.blogspot.com https://sicumpas.wordpress.com http://sikumpas.blogspot.com http://kamimenggugat.blogspot.com http://kami-menggugat.blogspot.com http://islamjalanlurus.truefreehost.com http://sicumpaz.truefreehost.com http://sicumpas.multiply.com http://fauziah_sul.livejournal.com http://pontrendiniyahpasir.wordpress.com)

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Aktivitas Jahili Sekuler

Aktivitas Jahili Sekuler
Semangat, sprit Yahudi dan Nasrani sangat tak menyukai Islam (simak antara lain ayat QS 2:120). Secara ideologi, Jahili Sekuler (faqihun fajirun, imamun ja:irun, mujtahidun jahilun) adalah sekutu Yahudi dan Nasrani dalam hal menggoyangkan, mengoncangkan keyakinan, kepercayaan, akidah umat Islam.
Jahili Sekuler berupaya membawa, menggiring, menuntun, membimbing umat Islam menjadi umat yang terbuka, inklusif, pluralis, rasional, liberal, moderat, modernis, progresif, akomodatif, pragmatis, realis, tidak tertutup, tidak ekslusif, tidak emosional, tidak konservatif, tidak orthodoks, tidak fundamentalis, tidak radikalis, tidak ideologis.
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam untuk memandang bahwa tak ada yang mutlak, absolut, qath’i, dogmatis, semuanya adalah relatif, nisbi, zhanni. Tak ada yang terlarang dikritisi, bahkan Allah, Muhammad saw, Qur:an, Hadits, Sunnah adalah objek, sarana kritik Jahili Sekuler. Sarana yang digunakan untuk mengkritisi itu adalah yang disebut dengan “Hermeneutika”. “Hermeneutic as tool of analysis”, sarana kritik terhadap kesahihan terjemahan Bibel digunakan untuk mengkritisi naskah Qur: an.
Jahili Sekuler berupaya membawa uumat Islam menjadi umat yang ragu-ragu. Ragu-ragu terhadap Allah, Muhammad saw, Qur:an, Hadits, Hukum-Hukum yang sudah qath’i (mantap). Menjadi umat yang ghullah, berlebih-lebihan, over kritis, over ilmiah, over rasional.
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam agar memandang bahwa kebenaran mutlak itu hanya pada Allah, pada Yang Maha Mutlak, sedangkan kebenaran pada manusia hanyalah kebenaran nisbi. Meragukan, tak meyakini kebenaran yang sudah qath’i. Setelah akidah berantakan, maka akhirnya ibadah juga diragukan.
Jahili Sekuler secara sistimatis, terarah, terencana, berkesinambungan berupaya membawa umat Islam menjadi umat yang pluralis, ekslusif, terbuka. Masjid terbuka bagi siapa saja. Pos zakat terbuka bagi siapa saja. Perkawinan tak memandang etnis, kepercayaan, agama, jenis kelamin. Syari’at Islam tak boleh diterapkan secara formal. Hak individu tak boleh diatur oleh Islam. Islam tak boleh dijadikan sebagai acuan alternatif. Hakikat dakwah, hakikat jihad harus diredusir, direduksi, diplintir, dimanipulasi. Termasuk predikat, sebutan mujahid, syuhada. Landasan kebenaran hanyalah rasio, hawa (simak ayat QS 45:23-24), bukan berdasar nash.
Katakalanh kepada Ahli Kitab (juga kepada sekutu-sekutunya) : “Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tak benar” (simak QS 4:171, 5:77).
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam ini bukan “ar-ruju’ ila alQur:an wa asSunnah”, bahkan malah jauh dari pimpinan Qur:an dan Sunnah, jauh dari ma’ruf, dekat dengan fahsya dan munkar (pornografi, pornoaksi, hedonis, permisif) tak lagi punya malu. “Mereka (kaum nabi Luth) berkata : … sesungguhnya kamu (hai Luth) tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki (berbuat hubungan sejenis)” (QS 11:79). “Mereka (yang mempertuhankan nafsu) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja” (QS 45:24).
Dari IAIN Yogyakarta muncul buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” yang memuat kata-kata berikut : “ … apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus isteri? … Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meskipun dilakukan dengan satu atau banyak orang” (SUARA MUSLIM, Edisi Agustus 2008, hal 18, “Kirisis Dalam Kehidupan Beragama Islam di Indonesia : Krisis Syari’at”). Terhadap yang sudah tak lagi punya rasa malu, Islam hanya bisa mengucapkan : “Berbuatlah sesukamu”.
Dari Semarang sejumlah mahasiswa Fakultas Syar’iyah IAIN Semarang menulis buku berjudul : “Indahnya Kawin Sesama Jenis : Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual” (idem). Manusia kini sudah jadi manusia hewan. Bentuknya manusia, perilakunya hewan. Tak punya malu. Jadi binatang, bebas tanpa batas.
Beberapa orang liberalis yang tergabung dalam suatu tim yang dibentuk Paramadina (yang beranggotakan Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rachman, Ahmad Gaus Af dan Mun’im A Sirry) sangat aktif menyebarkan paham liberalisasi syari’at Islam, merombak hukum Islam dengan menerbitkan buku “Fiqih Lintas Agama” (idem).
Mohammad Monib, alumnus Pesantren Gontor Ponorogo, Acmad Nurcholish, keduanya pelaku nikah beda agama, yang juga mantan aktivis Youth Islamic Study Club (YISC) Jakarta menulis buku setebal 300 halaman “Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama” yang diberi pengantar oleh Prof Musdah Mulia, tokoh feminis dan Dr Yudi Latif (MEDIA INDONESIA, Sabtu, 13 Desember 2008, hal 15, Jendela Buku).
Ada yang mengusung gagasan Islam Moderat (KH Hasyim Muzadi), Islam Transformatif (Muslim Abdurrahman), Islam Emansipatoris (Masdar F Mas’udi), Islam Liberal (Gus Dur, Mahbub Djunaidi, Ulil Abshar Abdalla) (idem).
Dalam pandangan Islam Liberal tak ada bedanya nikah dengan sesama Islam atau dengan yang bukan Islam, karena kasih sayang dan cinta yang bercinta itu adalah takdir, fitrah, ciptaan Allah (idem). Bahkan mengikuti logika ini, maka tak ada bedanya antara nikah dengan zina/lacur., Padahal Allah jelas-jelas menyatakan bahwa zina/lacur itu perbuatan keji dan jalan yang buruk (simak antara lain QS 17:32), dan bahwa lebih baik menikahi budak mukmin daripada wanita musyrik (simak antara lain QS 2:221). Entah kalau sudah tak lagi Islam.
Jahili sekuler sangat gigih menanamkan pola pikir dan perilaku bahwa professionalisme tak terkait dengan moralitas. Aktivitas budaya tak terkait dengan norma-norma moral. Aktivitas sosial tak terkait dengan norma-norma moral. aktivitas bisnis tak terkait dengan norma-norma moral. Aktivitas politik tak terkait dengan norma-norma moral. Semuanya serba boleh. Manusia lebih didominasi oleh panggilan, bisikan, godaan setan.
Hermaneutika sangat berperan menyimpangkan pengertian ayat-ayat Qur:an, menciptakan newspeak (pengertian baru yang sesat menyesatkan) tentang ayat-ayat Qur:an, menciptakan fallacy (kekeliruan yang disengaja), mengarang-ngarang kebohongan (iftara), sehingga “jalan dialih orang lalu”, kata orang Minang. (tasykik-tasywib-tadzwib-taghrib)
Jahili Sekuler memandang alQur:an sebagai hasil proses kreatif kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia, sebagai produk budaya, sebagai teks linguistik. Dipertanyakan apakah yang berpikiran asing seperti ini masih layak menyandang predikat Muslim yang bertuhankan Allah, berasulkan Muhammad, berimamkan alQur:an” ?
Fazlur Rahman mengatakan bahwa alQur:an adalah “both the word of God and the word of Muhmmad”? (Firman, Kalam Allah dan Sabda Rasul?) (EUREKA, simak juga : Marya Jameelah : “Islam & Modernism”, Bab XI, Hartono Ahmad Jaiz : “Ada Pemurtadan di IAIN, 2005:170).

Di KORAN TEMPO (4/5/2007), Muhammad Guntur Romli, aktivis Jaringan Liberal Islam menulis opini berjudul “Pewahyuan Al-Qur:an : Antara Budaya dan Sejarah”. Dalam penutupnya, Guntur menyimpulkan : “AlQur:an tetap memiliki banyak sumber dan “proses kreatif” yang bertahan serta berlapis-lapis. AlQur:an adalah “suntingan” dari “kitab-kitab” sebelumnya, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntignya. AlQur:an tidak bisa menlintasi konteks dan sejarah, karena ia adalah wahyu budaya dan sejarah”. Bertolak dari kata “awhayna” (Kami wahyukan), Guntur menyatakan bahwa proses turunnya alQur:an melibatkan kerja kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia (Majalah TABLIGH, Vol.05/N0.04/2007, hal 38, “Dusta Teolog Krislam”).
Nasr Hamid Abu Zaid (kelahiran Kairo 1945), Professor Studi Islam dan Bahasa Arab menyebut alQur:an sebagai produk budaya dan sebagai teks linguistik, sementara Islam sebagai agama Arab (RAKYAT MERDEKA, Sabtu, Mei 2006, hal 2, “Tuduhan Berlapis Untuk Abu Zaid”, Memoar Jeffri Geovanie). Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Islam sebagai wahyu adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi pemahaman Islam, sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi. Karya-karya ulama terdahulu sangat situsional, hanya sesuai dan cocok untuk zamannya (Majalah TABLGH, Vol.03/No.02/Septeber 2004, hal 39, “Intelektual Jahil Berbahaya” dari hidayatullah.com, Adian Husani MA).
Jahili sekuler sangat intens berupaya menggugat tafsir ulama Salaf sebagai referensi tunggal, bahkan menuding tafsir ulama Salaf sebagai pemicu radikalisme/terorisme (Simak Tony Rudyansyah : “Tragedi Bom Bali : ‘Radikalisme, Globalisme dan Krisis Kemanusiaan’”, KOMPAS, Sabtu, 22 Oktober 2005, hal 14). Menggugat mereduksi, menafikan, mengkebiri) literatur (khazanah, kepustakaan) fiqih klasik sebagai sumber otoritatif kaum Muslimin sesudah Quran dan Hadits (Simak Muhammd Musa MA : “Hak Reproduksi Perempuan Dalam Hukum Islam”, Mimbar ALMUHAJIRIN, Jakapermai Bekasi, No.8, 1 April 2011 ?)
Hampir seluruh masalah kehidupan sudah dibahas, dianalisa, dirumuskan, ditunjukkan pemecahanya oleh ulama-ulama besar terdahulu. Hanya sedikit sekali yang belum dibahas mereka. Ini menjadi tugas orang-orang semacam Nasr Hamid Abu Zaid pada masa ini dan masa nanti. Di antara yang sudah dibahas mereka, ada yang sudah disepakati, sudah ijma’ di antara mereka dan ada pula yang masih diperselisihi, ikhtilaf di antara mereka. Yang sudah disepakati di antara mereka tak perlu lagi di otak atik, tinggal terima saja. Sedangkan yang masih diperselishi di antara mereka, silakan ambil yang dipadang lebih kuat alasannya, tinggal pilih saja. Yang masih belum dibahas oleh mereka, dapat saja dipulangkan, dikiaskan, dianalogikan kepada yang telah mereka bahas.
Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (taqlid, ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kembalilkan Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
Jahili Sekuler mengajari agar bersikap, berfikir objektif-realistis. Nasehat ini sangat layak bagi yang berhubungan dengan masalah mikro. Namun terhadap masalah makro, barangkali perlu dicermati kembali. Apalagi terhadap yang berhubungan dengan gagasan. Yang berhubungan dengan gagasan biasanya bersifat subjektif-idealis. Karenanya tak peduli dengan sikon apakah objektif-realistis. Tak peduli apakah sesuai ataukah melawan arus.
“Dan mereka (yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia aja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa …”. (QS 45:24, simak juga “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:117-121).
Jahili Sekuler juga mengajari bahwa tolok ukur kebenaran itu adalah penilaian publik, pendapat umum, tradisi, adat kebiasaan turun temurun, sesuai arus. Tetapi Islam mengajarkan bahwa acuan tolok ukur kebenaran itu adalah ajaran Qur:an dan penjelasannya dalam Hadits yang diterangkan, ditafsirkan oleh ulama yang saleh, yang tawaduk.
“Apabila dikatakan kepada mereka : Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab : Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannnya”. (QS 5:104), simak juga QS 2:170, 31:21, simak pula Muhmmad bin Abdul Wahhab : “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:33-36)
Jahili sekuler juga mengajari bahwa professionalisme itu tak terkait dengan moralitas. Begitu pula kebebasan itu tak terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika. Sebaliknya Islam mengajarkan bahwa professionalisme, kebebasan itu terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika, hanya dalam dalam hal-hal yang makruf, yang sopan, yang beradab, yang bermoral, yang beretika.
Untuk menghadapi sikon seperti itu, Abubakar Siddiq ra memberikan petunjuk agar : Menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan jama’ah. Banyak-banyak menemukan petunjuk dari Qur:an. Memelihara persatuan umat. (“Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, hdits no.1211, “Fiqhud Da’wah” M Natsir, 1981:88).
(BKS0810211100)
(Catatan Asrir, Tenggiri-12/204, Bekasi Selatan 17144, Tilpon 8868721)

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Pertarungan antara Islamisasi dan Deislamisasi

Pertarungan antara Islamisasi dan Deislamisasi

Dalam WARTA BEKASI, Minggu ke-I, Juli 1999, hlm 3, Drs Nur Supriyanto, MM, Ketua DPD Partai Keadilan Kodya Bekasi mengemukakan agenda politik bersama Umat Islam yang harus seera diselesaikan. Pertama menyediakan komponen strategis dengan mengkalkulasi (memperhitungkan) seluruh unsur potensi kekuatan Umat Islam. Kedua, meletakkan dasar kebersamaan (kolektivitas dan unitas jama’ah dan jami’ah) diantara Umat islam, dengan visi politik yang dijiwai oleh semangat keterbukaan dan demokratisasi, serta yang juga menjangkau wajah perekonomian, hukum, sosial, budaya dan moralitas angsa dan negara.

Komponen politik strategis yang pewrlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan persepsi politik yang akan menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam. Kedua, instrumen politik (sarana dan prasarana infrastrukturnya) yang akan bekerja sebagai mesin politik Umat Islam. Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran politik yang memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin umat yang bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa yang berpihak pada Umat Islam.

Sebagai bandingan, dapat disimak kekuatan komunitas jama’ah Umat Islam (Natio of Islam) pimpinan Elijah muhammad di kalangan Muslim Amerika (Black Moslem). Pertama, kepemimpinan karismatik, komando terpusat, loyalitas (kesetiaan dan ketaatan) tunggal. Kedua, milisi kuat terorganisir (Fruit of Islam), yang bertugas memelihara keutuhan masyarakat Islam, masjid-masjid dan lembaga-lembaga Islam. Ketiga, organisasi bisnis (bank, perusahaan, restoran). Keempat, Universitas Islam yang berdisiplin ketat. Kelima, tempat ibadah yang multi fungsi terorganisir (Drs Juhaya S Praja : Pengantar “Jihad Gaya Amerika”nya Steven Barboza, 1995:21).

Memang sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab dan Abu Bakar telah berupaya mempelopori penyamaan visi dan persepsi politik Umat Islam yang bertikai antara kelompok Anshar dan Muhajirin pada sa’at janazah Rasulullah masih terbujur. Namun kini yang menjadi persoalan, bagaimana caranya menyatukan, menyamakan visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan itu, dan apakah memang visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan satu sama lain dapat disatukan, disamakan ?

Meskipun hadis tentang Umat Islam akan terpecah atas 73 firqah (kelompok, golongan) diperselisihkan kesahihan sanadnya, namun nyatanya Umat Islam itu terkotak-kotak. Ada yang berorientasi pada politik, teleologi, teosofi, hukum dan seterusnya. Dalam bidang siasah ada yang beraliran Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah, dst. Dalam bidang akidah, ada yang beraliran Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Murji:ah, dst. Dalam bidang tasauf, ada yang beraliran Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syazaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, dst. Dalam bidang fiqih, ada yang beraliran Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Tsauriyah, dst.

Menurut Drs Amrullah Ahmad, dalam Khabar Forum Silaturrahmi (KFS), 20:1993:52-53, bahwa dalam bidang fikrah, pola pikir (epistemologi, metodologi), jama’ah dakwah (lapis umat) ada yang berpola pikir model thugyan (ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berpola pikir mengikuti (bermadzhab dengan) pemikiran klassik (ulama terdahulu) tanpa kritik dan olahan menjadi epistemologi falsafah sistematis Islam (dengan taqlid kepada ulama terdahulu). Ada yang berpola pikir bahwa Islam itu sebagai obyek kajian (ilmiah), bukan sebagai fikrah untuk menjelaskan realitas. Ada yang berpola pikir mengikuti model warisan Islam yang cenderung menyemaikan pemahaman al-Qur:an dengan ilmu pengetahuan dan falsafah thugyan. Ada yang berpola pikir masih/sedang dalam proses pembebasan dari model thugyan, namun belum menemukan sebuah sistim seagai falsafah sebagai model penafsir realitas.

Dalam bidang akhlak, sikap hidup (sesama Muslim dan terhadap thagut), jama’ah dakwah ada yang berakhlak relatif mengikuti etika (moral thughyan). Ada yang berakhlak keras terhadap mukmin, kasih sayang terhadap thagut (kafirin, musyrikin, munafikin, fasikin). Ada yang berakhlak sinis dan curiga terhadap mukmin yang bermaksud menerapkan al-Qur:an dan as-Sunnah, ramah-tamah dengan kafirin. Ada yang berakhlak mengutamakan kesalehan pribadi. Ada yang berakhlak di dalam lebih nampak rasional sesama mukmin, tegas terhadap thagut, tetapi sama-sama lemah-lembut atau mendukung kebijaksanaan thagut. Ada yang berakhlak nampak kuat ukhuwah sesama mereka dengan mengutamakan kesalehan dan nampak tegas terhadap thagut, namun harus berugi dalam waktu sejauh mana bersikap sabar seagai akaibat sikap hidup terhadap thagut itu, apakah mengalami reduksi dengan alasan ekonomi.

Dalam perilaku lainnya, jama’ah dakwah ada yang berprilaku sub-ordinasi sistim thugyan, sepenuhnya mengikuti sistim thughyan (rela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam serta kajian ke-Islaman dalam persepktif/metodologi dan epistemologi thugyan, dan menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan (Islam ditempatkan di bawah ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berdeakwah (sesuai dengan persepsinya terhadap Islam), menyelenggarakan ta’dib (dikhotomi epistemologi dan falsafat) untuk menggelar warisan intelektual Islam yang penekanannya menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, menyelenggarakan ta’dib (dengan kurikulum thughyan dan mata pelajaran agama Islam dengan dua model epistemologi, dikhotomik dengan sistim falsafah Islami yang masih longgar, sehingga membenarkan falsafah non-Islam atau dikhotomik fikrah), menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, cinta jihad, gemar mengadakan kajian Islam untuk memperbaiki pola pikir dalam rangka mengganti pola pikir thaghut, berusaha mandiri dalam memilih lapangan kerja sehingga dalam batas-batas tertentu tidak terserap dalam sistim thughyan (tidak ela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal), menyelenggarakan ta’dib sesuai dengan keangka imannya, berusaha menempatkan Islam, sebagai falsafah hidup yang universal dengan kebenaran yang dijamin Allah dan Rasul-Nya (rela diatur oleh Islam).

Secara umum, ada yang berupaya sungguh-sungguh menjadi Muslim utuh, kaffah, totalitas, menyeluruh, istiqamah dalam keadaan bagaimanapun, melakukan Islamisasi. Ir Haidar Baqir, Direktur Mizan, Bandung, dalam PANJI MASYARAKAT 521:35-37, menyebut tipe-tipe strategi Islamisasi. Ada yang beraliran modernis, yang memandang Islam itu hanya menyangkut soal nilai, masalah moral (ajaran etika), dan hanya menginginkan terwujudnya kultural-sosial Islam. Ada yang bealiran radikalis kompromistis-evolusioner, yang memandang Islam itu sebagai sistim alternatif, dan berupaya mengwujudkan terwujudnya struktur politik (pemerintahan) secara efektif, dengan menggunakan jalur dakwah (tarbiyah dan taklim), bersifat evolusioner dan dialogis, yang disampaikan secara bijak, edukatif, persuasif, dengan mengambil bentuk ihsan (reformasi), dan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-kompromistis-revolusioner, yang berupaya mengwujudkan pemerintahan Islam dengan melakukan ajakan moral, penggalangan publik-opini, aksi-sosial, dengan sikap kompromi, dengan menggunakan jalur politik (demokrasi-konstitusional), dan dilancarkan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-non-kompromistis (fundamentalis-integralis-militan), yang berupaya mengwujudkan pemerintahan/negara Islam dengan menggunakan cara yang bersifat konfrontatif (hijrah dan represif) terhadap struktur politik yang berkuasa (menolak bekerjasama dengan siapa pun yang menentang perjuangan dan cita-cita Islam),, bersifat populis (gerakan massa, aksi-sosial), bahkan konfrontatif terhadap elite (malaa, mutraf, konglomerat), bersifat revolusioner, berjuang menggunakan jalur militer dengan kekuatan senjata, bukan melalui jalur politik konstitusional.

Namun di samping itu ada pula yang secara sistimatis, terarah, tertencana dan berkesinambungan berupaya meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memenjarakan Islam. Mengebiri, memasung, memandulkan, melumpuhkan Islam. Meredusir, mereduksi, membatasi hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak Islam didakwahkan sebagai acuan alternatif. Menantang hak individu dintervensi, diatur oleh Islam. Menolak Islam diterapkan secara formal. Menolak formalisasi/legalisasi ketentuan syari’at Islam ke dalam peraturan perundangan sebagai hukum positif. Melakukan labelisasi/stigmatisasi Umat Islam dengan julukan seperti sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme, dan lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan. Menggembar-gemborkan bahwa syari’at Islam itu hanya cocok buat bangsa biadab, barbar, primitif, seram, kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil, kumal. Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung sinkretis (talbis alhaq bi albathil) (Luthfi Basori : “Perkuat Keimanan Islam”, dalam “Musykilat Dalam NU”, terbitan Forum Nahdliyin Untuk Kajian Strategis).

Dengan gencar berupaya memisah-misahkan antara hakikat (yang substansial/substantif) dan syari’at (law enforcement, legal action). Hanya mengambil hakikat (esensi, semangat, nilai) dan melepaskan syari’at (syi’ar. simbol, ritual, legal-formal). Memuji-muji keagungan nilai-nilai Islam sebagai nilai yang humanis-universal, dan mencela, mencerca hukum-hukum Islam dengan sebutan sadis, kejam, biadab, primitif, tidak manusiawi. Mengarahkan perkembangan Islam hanya beraliran, berdimensi, bernuansa substantif/substansial (hakikat semata) tanpa terkait pada syari’at (legal-formal). Lebih menekankan pada aspek nilai (hakikat, teoritis-akademis) dan mengabaikan aspek simbol dan legal-formal (syari’at, praktek-aplikatif). Al-Qur:an dipahami hanya sebatas kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang terlepas dari tekstual (nash). Konsep kebersamaan, hidup berdampingan secara damai dilarutkan, dialihkan menjadi konsep kesamaan mutlak, tanpa membedakan budaya, etnis, agamaa. Kesamaan antara Muslim dan non-Muslim, antara pria dan wanita dalam segala hal, termasuk dalam kepemimpinan. Siapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanpa membeda-bedakan agamanya, jendernya. Penegakkan kesamaan antara Muslim dan non-Muslim dipandang sebagai penegakan keadilan dan egalitarianisme paripurna, kemanusiaan universal.

Hanya berupaya sebatas menegakkan nilai-nilai Islam, dan sama sekali antipati terhadap hukum Islam. Menghalangi, merintangi tegaknya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Meyakinkan bahwa dalam perspektif historis, gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang berupaya menegakkan hukum (syari’at) Islam tidak pernah mendapat simpati dari mayoritas umat Islam. Bahwa segala bentuk sikap, pandangan dan tindakan yang berlawanan dengan pluralitas kehidupan akan mendapat tantangan. Yang dijadikan patokan, ukuran kebenaran adalah hawa, publik-opini, suara terbanyak, vox populi vox Dei.

Berupaya meyakinkan bahwa perkembangan Islam substansial yang berwatak damai, toleran dan inklusif semakin kukuh, sedangkan perkembangan Islam yang berwatak ekslusif (ghurabaa) akan semakin terjepit, tidak memiliki lahan, tempat untuk tumbuh berkembang. Bahwa Islam substansial adalah yang terbaik untuk mengaktualisasikan nilai Islam ke dalam kehidupan tanpa membawa-bawa wadah panji syari’at (hukum, ritual) (Abd A’la : “Kemengangan Gus Dur. Angin Sejuk bagi Iklim Keagamaan di Indonesia”, dalam KOMPAS 22/10/1999).

Sinkretisme adalah faham yang gerakannya berupaya mempersatukan agama-agama yang ada di dunia (religious sssyncretism is the fusion of diverse religious beliefs and practics). Bentuknya yang lebih konkrit adalah Moonisme, yaitu gerakan yang didirikan oleh pendeta kaya Soon Moon dari Korea, yang menyeru ke pada fusi (peleburan) agama-agama dalam satu wadah, yang tujuannya menggantikan dasr ke-Tuhanan dengan dasar kemanusiaan (WA : “Gerakan Keagamaan dan Pemikiran”, 1995:384, 388). Pencetus sinkretisme Ibnu Sab’in dan Ibnu Hud at-Talmasani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua ummat beragama bersatu (Ibnu Taimiyah : “Al-Raddu ‘ala Al-Manthiqiyah, 1396H:282). Sinkretisme merupakan puncak toleransi beragama secara berlebihan. Semua agama baik. Toleransi beragamanya Jalaluddin Akbar (1556-1605) yang memadukan unsur-unsur dari segala agama dunia ke dalam agama baru yang disebutnya Din-Ilahi merupakan cikal bakalnya sekte Baha:i (Abul A’la Al-Maududi : “Sejarah Pembaruan Dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama”, 1984:85). Pancasila pun merupakan bentuk baru dari sinkretisme yang berupaya mempersatukan Islam, Nasionalis/sekuler, Sosialis/Komunis (NASAMARX-NASAKOM). Khams Qanun yang dimiliki Gerakan Freemansory dan Zionis internasional terdiri dari Monotheisme, Nasionalisme, Humanisme, Demokratisme, Sosialisme, yang berasal dari Syer Talmud Qaballa XI:45-46 (RISALAH, No.10, Th XXII, Januari 1985, hal 53-54 : “Plotisma, apa itu ?”, oleh Em’s). Tokoh-tokoh semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah at-Thahthawi cenderung sinkretis.

Memang ada solusi lain yang pernah diajukan, agar segera bangkit kembali menyusun barisan, melakukan konsolidasi. Mengadakan kontak tatap-muka (silaturrahim). Saling menyeru, memanggil, mengajak melakukan kegiatan tabligh, taushiah, dakwah tatap-muka. Saling nasehat-menasehati. Melakukan lobi secara intensif, dialog (muhasabah, mudzakarah). Saling memperhatikan. Saling bantu membantu (HUSNAYAIN 72:1999).

Tetap saja pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan, bergelantungan. Bagaimana caranya menyamakan visi dan persepsi politik, sehingga Islam sebagai sistim alternatif bukan di bawah sub-ordinasi (sebagai pelengkap) sistim thughyan ? Bagaimana caranya memunculkan kepemimpinan umat (yang bukan hanya kepemimpinan jama’ah terbatas) ? Ataukah cukup dengan menunggu kehadiran kepemimpinan yang tepat dan menarik, seperti menunggu kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi ? Kenyataan tetap saja menunjukkan, bahwa masih saja ada yang mensahkan (legitimasi) semua hal yang berkaitan dengan sistim thughyan, memandang hina syari’at Islam, menolak politik diatur Islam. Masih saja ada yang dengan suara lantang meneriakkan bahwa Islam ya Islam, Politik ya Politik, jangan dicampuradukkan. Solusi pemecahan penyelesaian persoalan kembali kepada pakar, para ahli. (Bks 17-7-1999).

4 Butir-butir

Pengarahan Islam tentang ketatanegaraan

1 Tatanegara.

Tatanegara membicarakan susunan pemerintahan negara dan baigan-bagiannya. Tatanegara Islam membicarakan susunan pemerintahan negara Islam dan bagian-bagiannya.

2 Negara.

Negara ialah sekelompok (rakyat) yang bercita-cita akan bersatu, yang hidup dalam suatu daerah tertentu, yang dipimpin oleh suatu pemerintah yang berdaulat ke dalam dan keluar, yang mempunyai ikatan bersama.

Unsur-unsur negara terdiri dari : 1. Rakyat yang bercita-cita untuk bersatu. Ketaatan rakyat kepada aturan tertentu. 3. Daerah tertentu. 4. Pemerintahan yang berdaulat ke dalam dan ke luar. 5. Kesamaan tujuan.

Negara modern hanya bisa hidup bertahan dengan aman, bila juga mempunyai sekurang-kurangnya tiga syarat lain : 1. Perindustrian. 2. Bahan logam mentah. 3. Geographis strategis, tempat duduk/letak yang penting untuk siasat perang dalam hal membela diri.

Negara Islam dibangun atas dasar akidah Islamiyah yang undang-undangnya berssumber pada akidah tersebut. Dalam Islam, negara merupakan sarana untuk terlaksananya hukum-hukum Islam dalam semua urusan kegaraaan dan tersiarnya dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Sasaran dan tujuan negara dalam Islam adalah : 1. Untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia. 2. Untuk menghentikan kezaliman. 3. Untuk menghancurkan kesewenang-wenangan. 4. Untuk menegakkan sistim berkenaaan dengan : a. mendirikan shalat, b. mengeluarkan zakat. 5. Untuk menyebarkan kebaikan dan kebajikan. 6. Untuk memerintahkan yang ma’ruf. 7. Untuk memotong akar-akar kejahatan. 8. Untuk mencegah kemunkaran.

Unsur-unsur negara Islam pertama di Madinah (sebagai negara kota) berupa : 1. Ummat Islam (Muhajirin dan Anshar) sebagai rakyat. 2. Hukum Islam (Konstitusi) sebagai undang-undang yang dita’ati. 3. Madinah sebagai daerah yang didiami. 4. Rasulullah sebagai Kepala Negara yang dita’ati.

Sebutan negara dalam Islam, adakalanya khilafah, daulah, kesulthanan. Khilafah adalah lembaga kekuasaan (negara dan pemerintahan) yang mengemban tugas risalah di dalam memelihara, mengurus, mengembangkan, menjaga agama (da’wah) serta mengatur urusan kepentingan ummat. Khilafah mencakup Imamah dan Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah disebut Khalifah. Pemegang kekuasaan imamah disebut Imam. Pemegang kekusaan imarah disebut Amir. Daulah berarti negara. Kedaulatan serumpun dengan daulah.

Sistim pemerintahan yang terlepas dari hukum Allah, bukanlah khilafah.

Pembentukan khilafah didasarkan atas beberapa prinsip : 1. Tauhid, Ke-Maha-Esaan Allah, Kekuasaan perundang-undangan Ilahi. 2. ‘Adalah ijtimaiyah. Keadilan Sosial. Keadilan antara manusia. 3. Ikhwah Diniyah. Persaudaraan dan Persatuan (persamaan antara kaum Muslimin). 4. Syura. Musyawarah. Permusyawaratan. 5. Takaful ijtima’i. Tanggungjawab sosial bersama. Tanggungjawab pemerintah. 6. Keta’atan dalam hal kebajikan. 7. Terlarang berusaha mencari kekuasaan/jabatan untuk diri sendiri. 8. Tujuan adanya negara. 9. Amar bil ma’ruf, nahi ‘anil munkar.

Mendirikan khilafah merupakan kewajiban fardhu kifayah bagi ummat Islam.

3 Kedaualatan/kekuasaan.

Pembatasan Kekuasaan. Kedaulatan berarti kekuasaan yang tertinggi. Hanya Allah sajalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Yang berdaulat dalam negara Islam adalah Hukum Allah (Kedaulatan Hukum Ilahi) yang dilaksanakan oleh ummat Islam (Kedaulatan Ummah).

Kekuasaan ummat dalam negara Islam dibatasi oleh hukum yang ditetapkan Allah (Kedaulatan Hukum Ilahi).

Kedaulatan rakyat (bangsa, warga), kedaulatan kepada negara (king, emperor) yang berada dalam batas-batas hukum yang dibenarkan Allah, dapat diterima dalam Islam.

Ummat secara keseluruhan bertanggungjawab memikul bean untuk melaksanakan hukum Allah dalam semua urusan kenegaraan.

4 Bentuk pemerintahan.

Dalam perjalanan sejarahnya, dalam Islam ditemukan bentuk pemerintahan : a.nubuah, b. khilafah, c. daulah, d. kesultanan.

Bentuk pemerintahan nubuah ditemukan pada amasan negara Islam pertama di Madinah (622-632M). Pada masa negara Islam pertama di Madinah, Rasulullah berkedudukan : a. sebagai Nabi dan Rasul, b. sebagai kepala Negara, c. sebagai Hakim, d. sebagai panglima.

Bentuk pemerintahan khilafah ditemukan pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin (632-661M).

632-634 Masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq. 634-644 Masa pemerintahan Umar bin Khaththab. 644-656 Masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan. 656-661 Masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib.

Sebutan bagi Kepala Negara adalah Amirul mukminin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah berkedudukan sebagai : a. Waritsatul Anbiyak (Ulama), b. Kepala Negara (Umara), c. Hakim (Hakim yang adil).

Bentuk pemerintahan Daulah ditemukan pada masa Daulah Umawiyah, Abbasiyah, Usmaniyah.

Bentuk pemerintahan Kesultanan ditemukan pada Dinasti-Dinasti otonom di Persi, Mesir, Afrika Utara, Turki dan India.

661-750 Masa Daulah Umawiyah yang berkedudukan di Damaskus. 750-1041 Masa Daulah Umawiyah yang berkedudukan di Cordova. 750-1256 Masa Daulah Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad. 1300-1928 Masa Daulah Usmaniyah yang berkedudukan di Turki.

Pada masa pemerintahan Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, sebutan bagi Kepala Negara adalah Khalifah.

Pada masa pemerintahan kesulthanan, sebutan bagi Kepala Negara adalah Sulthan.

5 Bentuk negara.

Negara Islam merupakan negara kesatuan ummat (ummatan wahidah) di bawah pemerintah pusat. Pemerintah pusat berdaulat penuh, baik ke dalam maupun ke luar. Seluruh wilayah tunduk terhadap pemerintah pusat. Hubungan dengan luar dilakukan oleh pemerintah pusat.

Pada masa pemerintahan Negara islam pertama di Madinah belum ada pembedaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kepala pemerintah pusat (Kepala Negara) disebut Khalifah, Sulthan. Kepala pemerintah daerah (wilayah) disebut Amir, Wali (Gubernur).

6 Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar merupakana undang-undang pokok yang menjadi dasar bagi segala hukum yang berlaku. Setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Pada intinya dasar dari undang-undang itu dalam Islam acuannya adalah Kitabullah dan Sunnah RasulNya.

Dalam negara Islam pertama di Madinah yang berperan seagai Undang-Undang Dasar adalah Konstitusi Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah untuk dita’ati olwh warga Madinah.

Konstitusi Madinah merupakan : a. permakluman kemerdekaan (Proklamasi). b. pengumumaan kelahiran negara (Deklarasi). c. pengakuan hak warga dan penduduk negara. d. pernyataan hak asasi manusia.

Konstitusi Madinah menetapkan tentang : a. pembentukan ummat (bangsa negara). b. hak asasi manusia (Human Rights). c. prsatuan seagama (Utuility of Believer). d. persatuan segenap warga negara (Utility of All Citizen). e. golongan minoritas (The rights of minorities). f. Tugas warga negara (Duty of citizen). g. Perlindungan negara (Defending of city of state). h. Pimpinan negara. i. Politik perdamaian.

Dalam perkembangan sejarahnya, Konstitusi dalam negara Islam melalui beberapa tahap :

a Konstitusi Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah yang berlaku dari tahun 622M sampai 750m pada sa’at akhir masa pemerintahan Daulah Umawiyah yang berkedudukan di Damaskus.

b Konstitusi Abbasiyah yang ditetapkan pada masa Khalifah al-Manshur (754-775M) yang berlaku sampai tahun 1258M pada sa’at berakhirnya masa pemerintahan Daulah Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad.

c Konstitusi Mameluk yang ditetapkan ketika awal beridirinya Kesultanan Mameluk di Mesir (1252-1517) dan sa’at menjelang berakhirnya masa pemerintahan Daulah Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad (1258M).

d Kanuni Esasi di Turki (23 Desember 1876M). Qanun Nishami di Mesir (7 Februari 1882M). Konstitusi di Iran (1 Agustus 1906M).

e Konstitusi nasional masing-masing negara islam yang dimulai dari Konstitusi Republik Turki pada tahun 1924.

Pada masa Sultan Muhammad Syah (1442-1444) asspek hukum Fiqih mulai masuk dalam Undang-Undang Malaka. Kanun ini dikutip secara luas, sebagian maupun secara utuh pada berbagai perundang-undangan di Kedah, Pahang, Riau, Pontianak, dan malahan masih dianggap berlaku di Brunei Sekarang. Di samping itu ada pula versi Aceh dan versi Patani.

Sulthan Hasan Bulqiyah Brunei (1605-1619) menyalin hampir keseluruhan “Qanun Mahkota Alam Aceh” untuk dijadikan Undang-Undang Negeri Brunei.

Mulai tahun 1772, yaitu ketika Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjar kembali di Martapura, diberlakukan hukum Islam berdasarkan Mazhab Syafi’I di wilayah Kerajaan Banjar.

Pemikiran ilmu fiqih berpengaruh pada tata pemerintahan pribumi di Jawa dan Madura semasa penjajahan Hindia Belanda.

Di Indonesia dan Semenanjung, Hukum islam tidaklah dipandang asing. Hukum islam pernah diberlakukan sebagai hukum positip di sebagian terbesar wilayah Indonesia dan Semenanjung (Melayu), yaitu di kerajaan-kerajaan Islam. Hanya penguasa penjajahan kolonial Barat nasrani pernah mengasingkan Hukum Islam dari bumi Indonesia dan Semendanjung. Kini Hukum Islam di Indonesia dan Semenanjung merupakan mutiara yang hilang dari perbendaharaan Islam.

Negara Islam dalam konstitusinya ada yang mencantumkan bahwa : 1. Agama resmi negara ialah Islam. 2. Kepala Negara beragama Islam. 3. Hukum Islam sebagai sumber perundang-undangan. 4. Kemerdekaan pelaksanaan agama-agama islam diakui.

Pada sa’at BPUUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membicarakan rancangan UUD Negara Indonesia Merdeka, oleh salah seorang anggota sidang pernah diajukan usul agar yang dapat menjadi Presiden dan wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama islam, dan agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya.

7 Undang-undang.

Undang-undang, peraturan, hukum disusun berdasarkan tuntutan Undang-Undang Dasar.

8 Konvensi/Konsensus.

Dalam perkembangannya, dalam pemerintahan negara timbul konvensi (kebiasaan) yang dihormati dan dipandang mengikat dalam praktek pemerintahan negara, meskipun kebiasaan itu tidak dituangkan dalam Undang-Undang Dasar atau undang-undang.

Umar bin Khaththab pada masa pemerintahannya telah menyusun dewan-dewan (jawatan-jawatan), mendirikan Baitulmal, menempa mata uang, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun Hijrah, mengadakan hisbah (pengawasan terhadap pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata-tertib dan susila, pengawasan terhadap kebersihan jalan dan sebagainya). Beliau juga mengadakan perubahan terhadap peraturan-peraturan yang telah ada, bila perlu diperbaiki dan diubah.

Langkah Umar bin Khathtab dalam kasus penetapan hukum, telah diikuti dibelakang oleh para pemimpin dan fukaha seperti khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘aziz.

9 Aparat Negara. Hak dan Kewajibannya.

Unsur-unsur kekuasaan negara :

a Kepala Negara.

Kepala Negara adalah pelaksana kekuasaan tertinggi negara yang memperoleh kepercayaan dari rakyat. Pembantu Kepala Negara : 1. Wazir (menteri) memimpin kekuasaan umum (‘ammah) : a. Wazir tafwidh memperoleh wewenang untuk mengangkat, memberhentikan pegawai, mengadakan perjanjian-perjanjian, menyelenggarakan tugas pemerintahan. B. Wazir tanfidz memperoleh wewenang untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan oleh Kepala Negara. 2. Amir memimpin kekuasaan daerah tertentu. 3. Pimpinan tentara tertinggi (Panglima perang). 4. Pengawal tapal batas. 5. Qadha (mahkamah dan kejaksaan). 6. Penarik pajak. 7. Penarik zakat. 8. Pegawai Hisbah.

Calon Kepala Negara hendaklah mempunyai sifat seperti berikut : 1. Mempunyai pengalaman dan kemampuan berijtihad. 2. Mempunyai kecerdasan dalam bidang politik, peperangan dan pemerintahan umum. 3. Mempunyai keadilan, ketakwaan dan kewara’an. Mempunyai keberanian, rasa tanggungjawab, sabar dan tabah mempertahankan negara dan memerangi musuh. 5. Sehat jasmani, rohani dan sosial.

Pengangkatan Kepala Negara dapat dilakukan dengan cara :

1 Pemilihan dan pengangkatan oleh tokoh-tokoh rakyat dan dengan persetujuan rakyat, seperti pada pemilihan dan pengangkatan khalifah Abu Bakar Siddik.

2 Penunjukan oleh Kepala Negara sebelumnya dan dengan persetujuan rakyat, seperti pada pemilihan dan pengangkatan Umar bin Khaththab.

3 Pemilihan dan pengangkatan oleh tokoh-tokoh rakyat yang ditunjuk oleh Kepala Negara sebelumnya dan dengan persetujuan rakyat, seperti pada pemilihan dan pengangkatan khlaifah Utsman bin Affan.

Sebelum menjalankan tugasnya, calon Kepala negara harus dibai’at (disumpah, dilantik).

Kepala Negara memiliki beberapa hak atas rakyat : 1 . Agar rakyat ta’at kepada Kepala Negara. 2. Agar rakyat mena’ati undang-undang negara. 3. Agar rakyat membantu kepala Negara. 4. Agar rakyat membela dan mempertahankan Negara.

Kekuasaan Kepala Negara hilang : 1. Apabila tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai Kepala negara. 2. Apabila menyeleweng dari ajran Islam.

Kepala Negara berkewajiban untuk : a. Memelihara agama. b. Memutus perkara (menyelesaikan perkara rakyat). c. Melindungi negara dan memelihara keamanan. d. Menegakkan hukum Allah dan memelihara rakyat. e. Menjaga tapal batas negara. f. Memadamkan pemberontakan. g. Memungut zakat. h. Mengatur penggunaan kas negara (Baitulmal). i. Mengatur aparat negara.

b Ahlul Halli wal ‘aqdi (Lembaga Ulil Amri).

Ahlul Halli wal ‘aqdi merupakan Lembaga Ulil Amri (lembaga kekuasaan rakyat) yang berwewenang mengangkat dan mekzulkan Kepala Negara.

Sebutan bagi lembaga ulil amri adakalanya : ahlusy syura, ahlul ijtima’, ahlul ikhtiyar, ahlul halli wal ‘aqdi.

Lembaga Ulil Amri ini terdiri dari tokoh-tokoh rakyat dalam bidang agama, ekonomi, pendidikan, pertahanan, dan lain-lain.

Anggota lembaga Ulil Amri haruslah memiliki sifat-sifat seperti ; a. memiliki keadilan, b. memiliki ilmu pengetahuan yang cukup memadai, c. meiliki kebijaksanaan, pandangan luas, akal yang kuat, kecerdikan, penyelidikan yang tajam, pendirian yang teguh.

Islam tidak menetapkan tatacara tertentu dalam pemilihan dan pengangkatan Kepala Negara. masalah ini diserahkan kepada ummat untuk menentukannya, asalkan dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Islam.

Demikian pula dalam pemilihan dan pengangkatan anggota Lembaga Ulil Amri diserahkan kepada ummat untuk menentukan, mengatur dan menetapkannya.

Pemilihan anggota Lembaga Ulil Amri dapat bersifat formal maupun informal, langsung maupun tak langsung, sesuai dengan kebutuhan, keadaan, masa dan tempat.

Lembaga Ulil Amri berkewajiban untuk : a. Menjelmakan kehendak rakyat, b. memusyawarahkan kemashlahatan rakyat, c. Menetapkan sesuatu masalah, d. mengurus kepentingan rakyat

Lembaga Ulil Amri berkedudukan sebagai pendamping Kepala Negara untuk bersama-sama memikul amanat yang dipikulkan kepada Kepala Negara dalam urusan rakyat.

Lembaga Ulil Amri memusyawarahkan hal-hal yang penting bagi ummat dalam urusan keamanan negara, angkatan perang, perdamaian, hukum yang tidak ada nashnya, atau nashnya yang tiudak jelas.

Islam tidak menentukan tatacara tertentu mengenai pelaksanaan musyawarah. Ia lebih banyak bergantung kepada kepentingan, waktu, situasi, tempat, dan diserahkan kepada kepentingan kebijaksanaan rakyat.

Perbedaan pendapat yang tidak dapat dipulangkan kepada Qur:an dan Hadits dapat diselesaikan dengan salah satu cara berikut : a. Dengan Tahkim, b. Dengan Referendum, c. Dengan Ketetapan Kepala Negara.

c Qadhi.

Qadhi atau hakim adalah aparat pemerintah pelaksanaan hukum.

Pengangkatan aparat pemerintah pelaksana hukum (hakim, qadhi) pertama kali dilakukan oleh Umar bin Khaththab pada masa pemerintahannya.

Hakim bertugas menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum dengan seadil-adilnya berdasarkan hukum Allah.

Hakim diangkat oleh Kepala Negara.

Hakim haruslah memiliki syarat-syarat berikut : a. Laki-laki dewasa, b. Berakal, c. Islam, d. Adil, e. Memiliki pengetahuan tentang Hukum Syara’, f. Baik pendengaran, penglihatan dan ucapan.

10 Warganegara dan Penduduk Negaa.

Hak dan Kewajibannya.

Warganegara dan Penduduk Negara terdiri dari ummat Islam dan bukan Islam (masyarakat majemuk).

Yang bukan Islam terdiri dari beberapa jenis : a. Ahludz Dzimmah, b. Mu’ahidin, c. Muhadinun, d. Mu’ammamnun, e. Muharibun.

Rakyat memiliki hak dari negara atas : a. Keselamatan jiwa, b. Keamanan hak milik, c. Keamanan kehormatan, d. Keamanan kehidupan pribadi, e. Penolakan kezaliman, f. Kebebasan amar makruf nahi munkar, g. kebebasan berkumpul, h. Kebebasan beragama (beribadah), i. Perlindungan terhadap penindasan keagamaan, j. Hanya memberikan keterangan terbatas tentang perbuatan sendiri, k. Kebebasan dari tuduhan dan tahanan, l. Bantuan pemenuhan kebutuhan hidup, m. Perlakuan yang sama.

Rakyat memikul kewajiban terhadap negara untuk : a. Menta’ati semua peraturan yang berlaku, b. Menta’ati penguasa yang berkuasa, c. mempertahankan negara dan agama, d. Memikul biaya negara, e. Menjaga persatuan, f. Memelihara ketertiban.

Rakyat berkewajiban menta’ati peraturan, penguasa, terbatas hanya dalam hal-hal yang ma’ruf saja.

11 Daerah (wilayah) negara.

Negara Islam berdasarkan pada akidah Islamiyah (konsep dan ideologi Islam).

Negara Islam bukan negara teritorial (daerah) yang berdasarkan pada suku bangsa, batas geografis.

Negara Islam bukan negara kebangsaan yang berdasarkan keturunan atau warna kulit.

12 Pendapatan dan Belanja negara. (Baitulmal). Keuangan negara.

Sumber keuangan/Kas negara (Baitulmal) terdiri dari : a. Zakat, b. Sumbangan-sumbangan (infaq, shadaqah), c. Pungutan wajib (taudhif).

Keuangan Negara digunakan untuk :: memenuhi keperluan jaminan sosial dan pertahanan negara .

Baitulmal (Kantor Bendahara Negara) adalah Lembaga yang mengurus pemasukan dan pengeluaran negara.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa pada umumnya pemasukan kekayaan negara berasal dari : 1. khumsul ganaim, seperlima dari harta rampasan peang, 2. zakat, dua setengah persen dari harta kekayaan dan perniagaan ummat Islam, 3. kharaj, pajak hasil bumi, 4. ‘usyur, cukai barang-barang impor, 5. jizyah, iuran dari non-muslim sebagai imbalan atas keamanan dan perlindungan yang diterimanya dari negara islam

Kekayaan negara itu selanjutnya dipergunakan untuk membiayai para qadhi, amir, angkatan perang, pegawai lainnya dan untuk membiayai aneka ragam pembangunan dalam negara seperti pembangunan mesjid, sekolah, rumah sakit, perpustakaan, benteng-benteng, pengairan, dan lain-lain.

13 Pertahanan dan Keamanan Negara.

Seluruh rakyat berkewajiban membela dan mempertahankan negara dari musuh negara.

Seluruh rakyat berkewajiban memikul biaya pdan keamanan negara.

Tatacara pertahanan dan pembelaan negara dapat diatur didusun sesuai dengan kebutuhan, tuntutan zaman.

Pertahanan dan pembelaan meliputi : a. mempertahankan diri, agama, negara, b. memerangi yang merusak perjanjian, c. menghapuskan dan meniadakan fitnah (pemberontakan), d. menegakkan aturan-aturan agama, e. menghapuskan kemunkaran (dari berbagai kepustakaan literatur Islam).(Bks 1-12-97).

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Darah yang menghina Nabi Muhammad saw

Darah yang menghina Nabi Muhammad saw

Menyimak pernyataan Amir Jama’ah Ansharut Tauhid, KH Abu Bakar Baasyir, Solo, Selasa, 09/12/208, 12:20WIB No:02/XII/1429, Tentang Penghinaan Kepada Nabi Muhammad saw yang antara lain termuat pada SUARA MUSLIM, Bekasi, Edisi 08/XII/2008M/1429H, hal 7, yang merujuk pada QS 5:33-34, HR Abu Daud dari Ali bn Abi Thalib (dalam “Nailul Authar”, jilid VII, hal 213-215), dipahami bahwa orang yang menghujat, mencaci, memaki, menghina Allah, Nabi Muhammad saw, Islam Quran, darahnya halal ditumpahkan, boleh dibunuh. Bahwa orang yang membunuh orang yang menghujat, mencaci, memaki, menghina Allah, Nabi Muhammad, Islam, Quran, dari sudut pandang Islam tak terkena sanksi hukum Islam apapun, namun ia terkena sanksi pidana hukum negara.

Written by Asrir Sutanmaradjo at BKS
(look also at http://asrirs.blogspot.com https://sicumpas.wordpress.com
http://sikumpas.blogspot.com http://kamimenggugat.blogspot.com http://kami-menggugat.blogspot.com http://islamjalanlurus.truefreehost.com http://sicumpaz.truefreehost.com http://sicumpas.multiply.com http://fauziah_sul.livejournal.com http://pontrendiniyahpasir.wordpress.com )

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Bibel dan Quran menurut penganut dan penantangnya

Bibel dan Quran menurut penganut dan penantangnya
Pendirian orang Kristen tentang Bibel antara lain dapat disimak dalam “Tafsir Injil Matius”, oleh K Riedel, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1963:444 yang menyatakan bahwa “Pengarang AlKitab dipimpin oleh Roh Allah dan mereka menulis menurut kebenaran”. Tafsir tersebut dipahami oleh umat Kristen bahwa Bibel itu tetap benar, meski ada yang salah. Demikian logika yang menganut paham “Satu dalam Tiga” dan “Tiga dalam Satu” (Simak HM Arsyad Thalib Lubis : “Debat Islam dan Kristen tentang Kitab Suci”, DDII, Jakarta, 1968:12).
Menurut Paus Benediktus XVI (dalam sebuah seminar pada September 2005), Bibel itu adalah kata-kata (firman Tuhan yang turun melalui komunitas manusia, yang mengandung unsur manusiawi. Kata-kata dalam Bibel disamping kata-kata Tuhan juga kata-kata Yesus, kata-kata Markus. Bibel bersifat temporal, situasional, dinamis, selalu ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi atau menafsirannya kembali (Simak Dr Adian Husaini MA : “AlQuran dan Penafsirannya”, SUARA MULIM, Bekasi, Edisi 08/XII/2008:8-9).
Jahili Sekuler memandang alQur:an sebagai hasil proses kreatif kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia, sebagai produk budaya, sebagai teks linguistik. Dipertanyakan apakah yang berpikiran asing seperti ini yang memandang alQur:an sebagai hasil proses kreatif kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia, apakah masih layak menyandang predikat Muslim yang bertuhankan Allah, berasulkan Muhammad, berimamkan alQur:an” ?
Di KORAN TEMPO (4/5/2007), Muhammad Guntur Romli, aktivis Jaringan Liberal Islam menulis opini berjudul “Pewahyuan Al-Qur:an : Antara Budaya dan Sejarah”. Dalam penutupnya, Guntur menyimpulkan : “AlQur:an tetap memiliki banyak sumber dan “proses kreatif” yang bertahan serta berlapis-lapis. AlQur:an adalah “suntingan” dari “kitab-kitab” sebelumnya, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntignya. AlQur:an tidak bisa melintasi konteks dan sejarah, karena ia adalah wahyu budaya dan sejarah”. Bertolak dari kata “awhayna” (Kami wahyukan), Guntur menyatakan bahwa proses turunnya alQur:an melibatkan kerja kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia (Majalah TABLIGH, Vol.05/N0.04/2007, hal 38, “Dusta Teolog Krislam”).
Nasr Hamid Abu Zaid (kelahiran Kairo 1945), Professor Studi Islam dan Bahasa Arab menyebut alQur:an sebagai produk budaya dan sebagai teks linguistik, sementara Islam sebagai agama Arab (RAKYAT MERDEKA, Sabtu, Mei 2006, hal 2, “Tuduhan Berlapis Untuk Abu Zaid”, Memoar Jeffri Geovanie). Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Islam sebagai wahyu adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi pemahaman Islam, sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi. Karya-karya ulama terdahulu sangat situsional, hanya sesuai dan cocok untuk zamannya (Majalah TABLGH, Vol.03/No.02/Septeber 2004, hal 39, “Intelektual Jahil Berbahaya” dari hidayatullah.com, Adian Husani MA).
Fazlur Rahman mengatakan bahwa alQur:an adalah “both the word of God and the word of Muhmmad”? (Firman, Kalam Allah dan Sabda Rasul?) (EUREKA, simak juga : Marya Jameelah : “Islam & Modernism”, Bab XI, Hartono Ahmad Jaiz : “Ada Pemurtadan di IaIN, 2005:170).

Fazlur Rahman ingin menangkap kembali esensi realitas politik alQur:an. Ia memakai pendekatan struktural, melihat teks keseluruhan sebagai suatu keutuhan dan buknnya terpenggal-penggal. Semua sumber adalah sah sepanjang ia bisa disebut sebagai teks. Menangkap makna atu arti yang tersembunyi di belakang makna yang harfiah dalam alQur:an (AlChaidar, hal 18, dari Metodologi Penelitian Agama”, oleh Taufik Abdullah dan M Rusli Karim).

Fazlur Rahman mengatakan bahwa metoda penafsiran yang dilakukan oleh umum adalah berada dalam bingkai model ideal normal (SUARA MUHAMMADIYAH, idem, simak juga Maryam Jameelah : “Islam & Modernism”, Bab XI). Dalam hubungan ini, maka seruan agar dalam penyelesaian perselisihan tentang sesuatu, kembalikan kepada hukum (AlQur:an dan Sunnah) (QS 4:59), haruslah mulai berangkat dari “memhami pesan Qur:an secara integral dan utuh”.

Hermeneutika
Hermeneutika berarti : “menafsirkan pesan dewa Jupiter kepada manusia (Samsul Bahri : “Sarapah Orang Sasak: Warisan sebuah Rezim”, KOMPAS, Sabtu, 24 September 2005, Humaniora, hal 14, dari Sumaryono, 19999:23-24).
Hermeneutika atau takwil itu sebuah cara menginterpretasikan masalah. Suatu kalimat mengandung tiga lapis makna. Pertama makna rujukan atau denoratif. Kedua makna konotatif atau makna yang ditambahkan. Ketiga makna sugestif, makna hakiki (Dr Abdul Hadi WM : “Pengasingan Bahasa Menyebabkan Disintegrasi Masyarakat”, dalam REPUBLIKA, Jum’at, 16 Agustus 1996, hal 7.
Hermeneutika merupakan ilmu tafsir tentang kitab suci (Bibel). Hermeneutika (Ilmu Tentang Kesahihan Tafsir Bibel), yaitu studi mengenai kebenaran makna atau maknan-makna yang tersembunyi dibalik teks-teks yang nampak tidak memuaskan antara yang dianggap superficial (AlChaidar : “Wacana Ideologi Negara Islam”, 1979:17-16, dari JURNAL FILSAFAT, Th I, No 1 (Maret 1990?), hal 54 : “Refleksi Atas Sembiotika”, oleh Aart van Zoert).
Makna istilah hermeneutika berkembang dari ruang lingkup Teologi ke ruang lingkup Filsafat. Hal ini pertama kali dibidani oleh filosof berkebangsaan Jerman, friedrich Schleiermacher, filosof yang berpaham Protestan yang dianggap sebagai pendiri “hermeneutika umum” (general hermeneutics). Perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat tidak terlepas dari motif teologi Kristen Protestan yang dianut oleh Schleiermacher, yang tentu tidak setuju dengan interpretasi Katholik terhadap Bible yang didominasi oleh Gereja dan Lembaga Kepausan (EUREKA). [Peri Hermeneias – De Interpretations – On the Interpretation (Hartono Ahmad Jaiz : “Ada Pemurtadan di IAIN”, 2005:165}]
Hermeneutika adalah the study (higher criticism) of the general principle of biblical interpretation (EUREKA). Jika hermeneutika digunakan berkaitan dengan Terjemahan, Tafsiran alQur:an, maka Hermeneutika haruslah dipandang sebagai Ilmu Tentang Kesahihan Terjemahan, Tafsiran alQur:an.
Mengikuti paham “epistemological subjectivist” (salah satu ilmu Sophist) bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu, dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah pendapat seseorang, para tokoh pemikir Islam bebas (vrijdenker, freethinker) mengusung gagasan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah kebenaran nisbi, kebenaran relatif (Simak juga antara lain : Abdul Munir Mulkhan : “Etika, Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan, Bentara KOMPAS, Sabtu, 1 Oktober 2005, hal 44).
Mohammad Arkoun, salah seorang tokoh pemikir Islam bebas, dalam bukunya “Rethinking Islam” menyebut Mushaf Ustman sebagai Corpus Resmi Tertutup, yang perlu diragukan keabsahannya, dan perlu dikritisi. Dalam bukunya “The Unthought in Contemporary Islamic Thought” menegaskan bahwa studi (kritis) alQur:an sangat ketinggalan dibandingkan dengan studi (kritis) Bible (TABLIGH, No.04, Agustus 2006, hal 12, Suara “Paham” Lain Muhammadiyah).

Nashr Hamid Abu aid (lahir di Kairo, pada Juli 1943) yang juga tokoh pemikir Islam bebas menyebut alQur:an sebagai produk budaya(muntaj tsaqafi) dan sebagai teks lingusitik (nash lughawi) yang memuat mitos (asaathiirul awwaliin) belaka, sementara Islam sebagai agama Arab yang mempertahankan supremasi suku Quraisy (idem, hal 13, simak jugaa RAKYAT MERDEKA, Sabtu, 6 Mei 2006, hal 2, Memoar Jeffri Geovanie, Gubernur Sumbar, “Tuduhan Berlapis Untuk Abu Zaid”).

Dalam memoarnya “Voice of an Exile : Reflection on Islam”, Nashr Hamid Abu Zaid menulis : “Saya berperan sebagai produsen konsep. Saya memperlakukan alQur:an sebagai teks yang diturunkan Allaha kepada Nabi Muhammad. Teks alQur:an itu datang kepada kita dalam bahasa manusia (bukan kalamullah) yakni (bahasa) Arab. Karena itu saya kritis terhadap diskursus keagamaan Islam. Saya tunjukkan bagaimana institusi-institusi ekonomi, sosial dan politik memakai diskursus keagamaan untuk mendapatkan kekuasaan (politik). Kerja (kesarjanaan) saya mengancam diantara mereka yang (duduk) memegang kekuasaan. Meskipun demikian, saya mengindentifikasikan diri saya, sebagai seorang Muslim. Insya Allah, saya akan meninggal sebagai seorang Muslim (Simak Jefri Geovanie).

Ibnu Rawandi menolak risalah, shalat, mandi junub, melontar jumrah, thawaf tidak sejalan dengan akal. Tak ada mukjizat alQur:an (Quraish Syihab : “Mukjizat AlQur:an”, hal 268-269, simak juga Prof Dr Hamka : “Tafsir AlAzhar”, XI:131) [ArRaaddu ‘alal Ibnu Rawandi”, oleh AbuHasan alAsy’ary].

[Pencetus sinkretisme Ibnu Sab’in dan Ibnu Hud atTalmani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua umat beragama bersatu (Ibnu Taimiyah : “ArRaddu ‘ala alManthiqiyah”, 1396H:282)].

Antara nash dan tafsiran

Dalam Ilmu Mantiq (Logika) ada istilah tashawwur dan tashdiq. Tashawwur adalah buah fikiran akan arti mufrad (satu hal). Sedangkan tashdiq adalah buah fikiran akan nisbah (rangkaian satuan) (Chalil Bisri : “Ilmu Mantq : Tarjamah asSulam alMunwraq”, 1974:9). [Tashawwur = pembuahan fikiran akan arti mufrad. Tashdiq = pembuahan fikiran akan nisbah].

Dalam Linguistik disebutkan bahwa menurut Steutevant “bahasa adalah sistim lambing sewenang-wenang berupa bunyi (akustis) yang dgunakan oleh anggauta-anggauta suatu golongan (kelompok) sosial untuk bekerjasama dan saling berhubungan. Sedangkan “lambang sewenang-wenang berupa bunyi” mengandung dua unsur. Unsur yang satu menyarankan adanya unsure yang kedua. Unsur yang satu adalah bentuk (rupa), sedangkan unsure yang kedua adalah arti (maksud). Bentuk (rupa) berwujud ucapan (akustis), sedangkan arti (maksud) ditunjukkan kepada benda (kenyataan, peristiwa) (Drs S Wojowasito : “Linguistik : Sejarah Ilmu Perbandingan Bahasa”, 1961:9-10).

Dalam Fisika Optik ada alat (tool, instrument) optik yang disebut proyektor. Proyektor adalah alat optik yang berfungsi untuk memproyeksikan sesuatu. Sedangkan yang diproyeksikan disebut proyektum, dan hasilnya proyeksi. Istlah-istilah proyektum, proyektor, proyeksi juga terdapat dalam Matematika (Trigonometri, Ilmu Ukur Sudut) pada segitiga Phytagoras. [Proyektum – Proyektor – Proyeksi].

Kini ada kata-kata baru yang tercantum dalam kamus. Diantaranya kata-kata semiotik, hermeneutik (higher criticism), naturalitas, feminis, studi budaya, pasca kultural, pasca modernis, dekontruktinis (MEDIA INDONESIA, Kamis, 15 November 2001, hal 14). [dekontestualisasi, distanisasi].

Ada kata significant, yaitu realitas yang dicerap dari suatu kata (yang diverbalkan atau yang ditulis). Ada pula kata signifie, yaitu makna yang langsung datang pada pikiran , yang juga sering disebut sebagai makna yang dapat ditemukan didalam kamus (klasikal). [Signifie = lambing, gambar, lukisan, tulisan kode, teks, ayat). Signifiant = yang dilambangkan, yang digambarkan, yang dilukiskan (objek)].

Ada model semiotik yang terdiri dari tiga unsur : kode (teks, ayat), objek (realitas) dan interpretasi (hermeneutic untuk aksi). Ada hermeneutika (Ilmu Tentang Kesahihan Tafsir Bibel), yaitu studi mengenai kebenaran makna atau maknan-makna yang tersembunyi dibalik teks-teks yang nampak tidak memuaskan antara yang dianggap superficial (AlChaidar : “Wacana Ideologi Negara Islam”, 1979:17-16, dari JURNAL FILSAFAT, Th I, No 1 (Maret 1990?), hal 54 : “Refleksi Atas Sembiotika”, oleh Aart van Zoert).

[Karya Porphyrius : Isagoge, Categories, Hermeneutica, Analytica Priori.
– Isagoge (alIsaaghuujii) merupakan “pendahuluan” bagi logika/karya Aristoteles.
– Categories (alQaatiquriyaas) merupakan “Organum” Aristoteles yang membahas : substansi, kuantitas, kualitas, hubungan, waktu, tempat, posisi, pemilikan, nafsu tindakan.
– Aristoteles membagi kata-kata dalam sepuluh jensi : kata benda (substaantiva), kata kerja (verba), kata keadaan (ajktiva), kata keterangan (adverbia), kataganti (promina), kata bilangan (numeralia), kata depan (preposisi), kata sambung (konyugasi), kata sandang (artikel), kata seru (interjeksi).
– Hermeneutica merupakan ilmu tafsir tentang kitab suci (Bibel).
– Analytic Priori (alAnaaluutiqaa) membahas proposisi-proposisi dalam berbagai bentuk silogisme (C A Qadir : “Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam”, 1991:35,37,209)].

[Hermeneutika berarti : “menafsirkan pesan dewa Jupiter kepada manusia (Samsul Bahri : “Sarapah Orang Sasak: Warisan sebuah Rezim”, KOMPAS, Sabtu, 24 September 2005, Humaniora, hal 14, dari Sumaryono, 19999:23-24)].

[Hermeneutika atau takwil itu sebuah cara menginterpretasikan masalah. Suatu kalimat mengandung tiga lapis makna. Pertama makna rujukan atau denoratif. Kedua makna konotatif atau makna yang ditambahkan. Ketiga makna sugestif, makna hakiki (Dr Abdul Hadi WM : “Pengasingan Bahasa Menyebabkan Disintegrasi Masyarakat”, dalam REPUBLIKA, Jum’at, 16 Agustus 1996, hal 7)].

[AlQur:an memuat keajaiban-keajaiban tentang ayat-ayat Allah. AlQur:an adalah ayat-ayat Allah (tanda keesaan dan KekuasaanNya), demikian juga alam raya (Quraish Syihab : “Mukjizat alQur:an”, hal 122).
Alam raya dan segala isinya berikut system kerjanya adalah keajaiban-keajaiban tentang ayat-ayat Allah (tanda keesaan dan kekuasaanNya) (idem, hal 21).
AlQur:an mempunyai simponi yang tidak ada taranya di mana setiap nadanya bisa menggarakkan manusia untk menangis dan bersukacita. “But the result is not the Glorious Qur:an, that inimitable symphony, the very sounds of which move men to tears and extacy”(idem, hal 119, dari Marmaduke Pickthal dalam “The Menaings of Glorious Qur:an”, page 3)].
AlQur:an bukan buku sastra, sains, politik, ekonomi, hukum, tapi alQur:an mengungguli buku sastra, sains, politik, ekonomi, hukum manapun.
Teori politik, ekonomi, social, budaya, teknologi yang dikemukakan oleh alQur:an mengungguli teori IPOLEKSOSBUDMIL manapun.
“Manusia mana yang mampu dengan falsafah menghimpun (informasi) dalam ucapan sebanyak huruf-huruf ayat itu sebagai yang telah dihimpun oleh Allah untk RasulNya (idem, hal 125, dari AlKindi, via Abdul Halim Mahmud dalam bukunya “AtTafkir alFalsafi fi alIslam”).
Terhadap orang atau masyarakat yang tidak bisa merasakan betapa indah dan teliti bahasa alQur:an, ditapilkan aspek lain dan keistimewaan alQur:an yang dapat mereka pahami (idem, hal 114).
Apa daya pesona alQur:an terhadap orang bukan Arab, dan bukan Muslim ?].

Kata-kata yang melambangkan benda berwujud, tak akan menimbulkan salah pengertian, salah tafsir, salah interpretasi di kalangan pemakai, pengguna kata-kata tersebut (objektivitas lebih berperan). Tapi kata-kata yang bukan melambangkan benda berwujud, mudah menimbulkan salah pengertan, salah tafsir, salah interpretasi di kalangan pemakai, pengguna kata-kata tersebut (subjektivitas lebih berperan).

Kata-kata semacam, adil, benci, bid’ah, cabul, cinta, demokrasi, fahsya, fiqih, fundamentalis, halal, haram, ideal, Indonesia, islami, jorok, kafir, kawan, korup, khurafat, lawan, makruf, mesum, munkar, nasionalis, negara, pahlawan, pengkhianat, pemberontak, porno, Qur:an, radikalis, realis, sekuler, sinkretis, sistim, sunnat, takhyul, tauhid, teroris, zhalim, dan lain-lain mengandung multi-interpretasi, multi-definisi, tafsiran ganda, banyak arti (musytarak) di kalangan pemakai, pengguna kata-kata tersebut (Simak Newspeak, Orwelian dalam Noam Avram Chomsky : “Maling Teriak Maling : Amerika Sang Teroris?”, 2001:16-24).

Latar belakang (lingkungan sosial-budaya, status sosial-ekonomi, pendidikan-pengalaman) dari pengguna kata-kata tersebut sangat mempengaruhinya dalam mengartikan, menafsirkan, menginterpretasikan, memakai kata-kata tersebut.

Untuk memakai kata-kata yang berhubungan dengan Islam, yang berhubungan dengan Qur:an seyogianya dengan memahami pesan-pesan Qur:an secara integral dan utuh (SUARA MUHAMMADIYAH, No.9, Th Ke-87, 1-15 Mei 2002, ha 22, Artikel : “Tafsir Umar bin Khattab” , oleh Saifuddin Zuhri Qudsy).

[Makna istilah hermeneutika berkembang dari ruang lingkup Teologi ke ruang lingkup Filsafat. Hal ini pertama kali dibidani oleh filosof berkebangsaan Jerman, friedrich Schleiermacher, filosof yang berpaham Protestan yang dianggap sebagai pendiri “hermeneutika umum” (general hermeneutics). Perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat tidak terlepas dari motif teologi Kristen Protestan yang dianut oleh Schleiermacher, yang tentu tidak setuju dengan interpretasi Katholik terhadap Bible yang didominasi oleh Gereja dan Lembaga Kepausan](EUREKA).

[Peri Hermeneias – De Interpretations – On the Interpretation (Hartono Ahmad Jaiz : “Ada Pemurtadan di IAIN”, 2005:165}]

[Hermeneutika adalah the study (higher criticism) of the general principle of biblical interpretation (EUREKA). Jika hermeneutika digunakan berkaitan dengan Terjemahan, Tafsiran alQur:an, maka Hermeneutika haruslah dipandang sebagai Ilmu Tentang Kesahihan Terjemahan, Tafsiran alQur:an]

Mengikuti paham “epistemological subjectivist” (salah satu ilmu Sophist) bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu, dan kebenaran mengenai sesuatu haanyalah pendapat seseorang, para tokoh pemikir Islam bebas (vrijdenker, freethinker) mengusung gagasan bahwa tidak ada kebenran mutlak, yang ada hanyalah kebenaran nisbi, kebenaran relatif (Simak juga antara lain : Abdul Munir Mulkhan : “Etika, Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan, Bentara KOMPAS, Sabtu, 1 Oktober 2005, hal 44).

Mohammad Arkoun, sal;ah seorang tokoh pemikir Islam beb as, dalam bukunya “Rethinking Islam” menyebut Mushaf Ustman sebagai Corpus Resmi Tertutup, yang perlu diragukan keabsahannya, dan perlu dikritisi. Dalam bukunya “The Unthought in Contemporary Islamic Thought” menegaskan bahwa studi (kritis) alQur:an sangat ketinggalan dibandingkan dengan studi (kritis) Bible (TABLIGH, No.04, Agustus 2006, hal 12, Suara “Paham” Lain Muhammadiyah).

Nashr Hamid Abu aid (lahir di Kairo, pada Juli 1943) yang juga tokoh pemikir Islam bebas menyebut alQur:an sebagai produk budaya(muntaj tsaqafi) dan sebagai teks lingusitik (nash lughawi) yang memuat mitos (asaathiirul awwaliin) belaka, sementara Islam sebagai agama Arab yang mempertahankan supremasi suku Quraisy (idem, hal 13, simak jugaa RAKYAT MERDEKA, Sabtu, 6 Mei 2006, hal 2, Memoar Jeffri Geovanie, Gubernur Sumbar, “Tuduhan Berlapis Untuk Abu Zaid”).

Dalam memoarnya “Voice of an Exile : Reflection on Islam”, Nashr Hamid Abu Zaid menulis : “Saya berperan sebagai produsen konsep. Saya memperlakukan alQur:an sebagai teks yang diturunkan Allaha kepada Nabi Muhammad. Teks alQur:an itu dating kepada kita dalama bahasa manusia (bukan kalamullah) yakni (bahasa) Arab. Karena itu saya kritis terhadap diskursus keagamaan Islam. Saya tunjukkan agaimana institusi-institusi ekonomi, social dan politik memakai diskursus kegamaan untuk mendaptkan kekuasaan (politik). Kerja (kesarjanaan) saya mengancam diantara mereka yang (duduk) memegang kekuasaan. Meskipun dem ikian, saya mengindentifikasikan diri saya, sebagai seorang Muslim. Insya Allah, saya akan meninggal sebagai seorang Muslim (Simak Jefri Geovanie).

Ibnu Rawandi menolak risalah, shalat, mandi junub, melontar jumrah, thawaf tidak sejalan dengan akal. Tak ada mukjizat alQur:an (Quraish Syihab : “Mukjizat AlQur:an”, hal 268-269, simak juga Prof Dr Hamka : “Tafsir AlAzhar”, XI:131) [ArRaaddu ‘alal Ibnu Rawandi”, oleh AbuHasan alAsy’ary].

[Pencetus sinkretisme Ibnu Sab’in dan Ibnu Hud atTalmani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua umat beragama bersatu (Ibnu Taimiyah : “ArRaddu ‘ala alManthiqiyah”, 1396H:282)].

Fazlur Rahman mengatakan bahwa alQur:an adalah “both the word of God and the word of Muhmmad”? (Firman, Kalam Allah dan Sabda Rasul?) (EUREKA, simak juga : Marya Jameelah : “Islam & Modernism”, Bab XI, Hartono Ahmad Jaiz : “Ada Pemurtadan di IaIN, 2005:170).

Fazlur Rahman ingin menangkap kembali esensi realitas politik alQur:an. Ia memakai pendekatan structural, melihat teks keseluruhan sebagai suatu keutuhan dan buknnya terpenggal-penggal. Semua sumber adalah sah sepanjang ia bisa disebut sebagai teks. Menangkap makna atu arti yang tersembunyi di belakang makna yang harfiah dalam alQur:an (AlChaidar, hal 18, dari Metodologi Penelitian Agama”, oleh Taufik Abdullah dan M Rusli Karim).

Fazlur Rahman mengatakan bahwa metoda penafsiran yan g dilakaukan oleh umum adal.ah berada dalam bisngkai model ideal normal (SUARA MUHAMMADIYAH, idem, simak juga Maryam Jameelah : “Islam & Modernism”, Bab XI). Dalam hubungan ini, maka seruan agar dalam penyelesaian perselisihan tentang sesuatu, kembalikan kepada hukum (AlQur:an dan Sunnah) (QS 4:59), haruslah mulai berangkat dari “memhami pesan Qur:an secara integral dan utuh”.

Setelah “memahami pesan Qr:an secara integral dan utuh” barulah kemudian menyelesaikan perbedaan pendapat (masalah khilafiah). Namun Hamka membantah bahwa masalah khilafiah (perselisihan pendapat) bisa selesai dengan kembali kepada alQur:an dan Sunnh, karena sumber sebab perselisihan pendapat itu ialah alQur:an itu sendiri. Masalah khilafiah adalah masalah ijtihadiyah, yang hasilnya tidaklah mutlak yakin, melainkan zhanni (PANJI MASYARAKAT, No.187, Tahun ke-XVII, 15 November 1975, hal 5-6, Dari Hati Ke Hati : “Masalah Khilafiyah”, Prof Dr Hamka : “Tafsir AlAzhar”, juzuk II, hal 80, juzuk XXVIII, hal 132-135, juzuk IV, hal 56).

.

Tinggalkan komentar

Filed under Tak Berkategori

Mencegah munculnya teroris

Mencegah munculnya teroris
(Siapa yang teroris ? Siapa yang otaknya dicekoki ?)

Hewan, sekecil apapun, bila kehidupannya terancam, akan melakukan tindakan perlawanan apa pun yang bisa ia lakukan.

Manusia pun, bila kehidupannya terancam akan melakukan tindakan perlawanan apa pun yang bisa ia lakukan.

Mereka-mereka yang diklasifikasikan, dikategorikan sebagai teroris, sebagai pelaku teror bom, karena diteror, diintimidasi, diuber-uber, dikejar-kejar terus menerus, akan melakukan tindakan perlawanan apa pun yang bisa ia lakukan. Teror bom, bom bunuh diri hanyalah salah satu aksi perlawanan yang ia lakukan, karena kehidupannya sudah sangat kritis, sangat terancam kelangsungannya.

Pertumpahan darah merupakan fenomena (alam dan sosial) yang diprogramkan Allah sejak awal (simak QS 2:30). “Allah telah mentakdirkan dan apa yang dikehendakiNya” (HR Muslim dari Abi Hurairah, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi). “Allah menghendaki, tak ada kekuatan selain dengan Allah” (QS 18:39).

Keras lawan keras, teror kontra teror tidak akan menyelesaikan masalah. Kutuk-mengutuk pun tak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan memperparah keadaan. Kekerasan melahirkan kekerasan (Yudi Latif : “Terorisme : Anak kandung Kekerasan”, KORAN TEMPO, Sabtu,, 12 Agustus 2003, hal 6).

Apa yang dinamakan terror oleh George Bush, Tony Blair, John Howard dan pendukungnya adalah aksi kontra terror, aksi menantang, melawan anti terorisme. Aksi anti terorisme ini dilakukan oleh pendukung Palestina Merdeka. Sedangkan aksi teror dlakukan oleh pendukung Zionisme Israel. Slama tindakan brutal dilakukan oleh Zionis Israel dan pendukngnya terhadap Palestina Merdeka, maka aksi anti terorisme akan tetap dilakukan ole pendukung Palestina Merdeka.

Aksi anti terror hanya dapat dihentikan, bilamana Amerika Serikat dan sekutnya berhenti mendukung kebrualan Zionis Israel, tak membiarkan Zionis Israel berbuat semena-mena terhadap Palestina Merdeka. Aksi anti terror tak dapat dibasmi dengan dengan menyingkirkan Taliban, AlQaaeda, Osama bin Laden, Hambali, Imam Samudera, Saddam Husein, dan lain-lain. Amerika Serikat dan sekutunya memandang bahwa dengan melenyapkan mereka itu persoalan selesai. Ternyata semakin banyak aksi anti terror ditumpas, semakin marak aksi anti terror.

Para ahli dan praktisi ilmu sosial seyogianya urun rembuk menemukan solusi bagaimana caranya agar mereka-mereka yang dituding sebagai dalang teroris tidak lagi terancam kehidupannya, dan segera meninggalkan aktivitasnya yang berhubungan dengan bom-membom. Para ulama, kiyahi, ajengan, ustadz, da’i, muballigh secara berjama’ah mengkaji Qur:an dan Hadits, menemukan solusi Islam bagaimana caranya agar mereka-mereka yang dituding sebagai dalang teroris tidak terancam kehidupannya dan segera meninggalkan aktivitasnya yang berhubungan dengan bom-membom.

Teroris legendaries dari Venezuela, Illich Ramirez Sanchez yang popular disebut Carlos adalah orang kaya. Carlos pernah kuliah di Moskwa. Ia meninggalkan kemewahan, mati-matian berkiprah dalam dunia terorisme. Begitu juga later belakang anggota kelompok Baader-Meinhof di Jerman Barat, Brigate Rose di Italia, atau Sekigun di Jepang.

Para analis seperti Anthony Storr menyatakan, pelaku terror umumnya penderita psikopat agresif, yang kehilangan nurani, kejam dan sadistis. Kelompok psikopat agressif bisa melakukan terror sekedar untuk terror, terror qua terror, menciptakan sensasi dengan kekejaman. Kaum anarkis, nilistis, dan revolusisoner melakukan terror untuk mengubah tatanan dunia yang penuh ketimpangan dan ketidakadilan. Penganjur utamanya adalah tokoh Rusia dari abad ke-19, Mikhail Bakunin. Mereka ingin menghancurkan dunia yang ada dan menggantinya dengan tatanan baru yang penuh keadilan (KOMPAS, Sabtu, 18 Juni 2009, hal 3, “Teror Puncak Kekerasan”).

Filosof Barat, Joseph Pierre Proudhon mencetuskan revolusi kiri dengan kredonya “Destruam et aedificabo. Hancurkan lalu bangun” (SABILI, No.01, Th.X, 25 Juli 2002, hal 35, “Saatnya Revolusi Islam”).

Menurut Tan Malaka, revolusi itu hanya bisa timbul pada saat krisis, pada saat adanya pertentangan, pertempuran, pergolakan antara Orde Yang-Lama yang tak sanggup lagi mengatur, dan Orde Yang-Baru, yang sudah sanggup berkorban sebesar-besarnya (“Dari Penjara ke Penjara”, III, 1948:34).

Organisasi teroris ekstrim kiri Italia, Brigade MERAH (Brigate Rossa) diresmikan berdrinya pada 1970. Pendirinya Renato Curcio dengan membentuk kelompok diskusi berhaluan kiri.

Kelompok teroris sayap kiri Jerman Barat, Sempalan Tentara MERAH (Rote Armen Fraktion), Baader-Meinhof berdiri pada 1968. Pemimpinnya Andrea Baader (1943-1977) dan Ulrike Meinhof (1934-19986).

Orgaisasi Pembebasan Palestna (Munazzarat atTahrir Filistiniyah), PLO berdiri pada 1964, bertujuan menciptakan negara Palestina yang sekuler dan demokrasi, dengan usaha menyingkirkan Israel.

Tentara MERAH Jepang (Sekigunbu) dibentuk pada 21 Oktober 1961 oleh mahasiswa Universitas Kyoto dan Universitas Meiji. Dipimpin oleh Tokaya Shiomi dan Fusako Shigenobu.

Semula stigma teroris itu disandangkan kepada kelompok MERAH, kelompok Marxis, kelompok kiri yang meresahkan kapitalis. Kini stigma teroris disandangkan kepada kelompok Islam yang meresahkan kapitalis.

Mayoritas teroris yang tetangkap polisi berasal dari Jawa, “besar dan matang” dalam lingkungan Jawa. Mereka akan ngamuk jika terus-menerus didesak adan diinjak. Ini salah satu karakter dari Werkuduro (Bima), Pandawa Lima. Mereka sudah tak punya pilihan ngalah dan ngalih. Satu-satunya pilihan, mereka harus ngamuk, perang habis-habisan melawan AS, dengan melakukan pengeboman bunuh diri (suicide bombing). Bagi mereka, penjajah Rusia dan Amerika adalah orang kafir yang harus diperangi. Penjajah Amerika sangat kuat dan punya outlet-outlet ekonomi dan budaya. Outlet-outlet ini harus dihancurkan. Bagi mereka, Islam itu harus tegak dengan label Islam lengkap dengan atributnya (H Bambang Pranowo : “Orang Jawa Jadi Teroris”, SEPUTAR INDONESIA, Sabtu, 23 Juni 2007, hal 6).

Pelaku terror itu sekuler, sangat kejam dan berani, sekjaligus juga pengecut. Pelaku terror tak kenal Tuhan, akhirat dan moral. Pelaku terror takut mati. Pelaku jihad syahid) kenal Allah, akhirat dan akhlaq Pelaku jihad (syahid) siap mati. Pembunuh ada yang ahli surga dan ada pula yang ahli neraka. Begitu pula korban pembunuhan ada yang ahli surga dan ada pula yang ahli neraka.

Ada yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka. “Jika ada dua orang muslim berhadapan dengan pedang masing-masing, maka yang membunuh dan yang dibunuh keduanya dalam neraka”. Sesungguhnya yang terbunuh juga berniat akan membunuh lawannya (HR Bukhari, Muslim, dalam “alLukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqy, hadis no.1238, “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, Pasal “Niat Iklas”.

Ada yang membunuh dan yang terbunuh masuk surga. “Allah tertawa pada kedua oang, yang satu membunuh yang lain dan keduanya masuk surga. Yang pertama berperang fi sabilillah lalu terbunuh, kemudian yang membunuh diberi tobat oleh Allah, lalu berjihad, sehingga terbunuh mati syahid” (HR Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah, idem, hadis no.1834, idem).

Pelaku jihad (be a good Moslem or die as syuhada) dipandang sebagai orang-orang bodoh yang sudah dicuci otaknya, mengalami brainwashing sehingga mudah percaya akan imng-iming bidadari di surga (Simak pandangan sinis dari orientalis Amerika Serikat, Washington Irving, yang sangat benci terhadap Islam, yang dijadikan acuan, dalam “Sejarah Hidup Muhammad” Muhammad Husein Haekal, terbitan Tintamas, Jakarta, 1984:693).

Model pencegahan teroris menurut mantan Komandan Densus 88, Suryadarma Salim adalah dengan memperlakukan mereka sebagai warganegara (Tayangan TVOne, Rabu, 22 Juli 2009, 0700-0800, 2000-2100). Diperlukan penegakan keadilan dan HAM. Memberikan mereka pekerjaan, kata AM Hendrprioyono, mantan intelijen.

Dulu diisukan komunis merupakan bahaya laten. Kini diisukan Islam Wahabi merupakan biang teroris (Simak pernyataan AM Hendropriyono, dalam wawancara dengan Karni Ilyas d TVOne, pada Rabu, malam Keis, 29 Juli 2009).

Catatan :
Selama kaum Muslimin belum memiliki kekuasaan politik secara riil, apa saja yang dilakukan oleh kaum Muslimin, baik secara perorangan (infardiah) dan secara kolektif (berjama’ah) ? Dan apa juga kaum Muslimin melakukan upaya-upaya untuk memiliki kekuasaan politik secara riil ?

Teroris dan Intelijen itu, apakah bagaikan Tom dan Jerry ?

Bagaimana caranya membuat lawan jadi kawan ?

Pada situasi dan kondisi masa kini, sangat diharapkan para tokoh, para pemikir di semua bidang agar pro aktif mencari jalan supaya musuh, lawan bisa menjadi kawan, sahabat, ikhwan. Dale Carnegie pernah menulis buku menjawab pertanyaan “Tuan Ingin Banyak kawan ?”. Dalam bukunya “Mencapai Kebahagiaan Sejati” pada satu babnya, ia memaparkan ‘Bagaiman caranya untuk mencegah permusuhan ?”.

Siapa pun harus mampu mengendalikan lidah, lisan, ucapan, pembiaraan, omongan agar jangan sampai mengeluarkan statemen, sinyalemen, pernyataan yang dapat mengobarkan rasa perlawanan dari musuh, lawan. Teroris sebagai musuh, lawan hanya bisa dimusnahkan, bilamana mampu menariknya menjadi kawan, sahabat. Ajakalah semua yang dikategorikan sebagai teroris itu duduk bersama mendengarkan aspirasi, keinginannya. Bicaralah secara terbuka, tapa saling curiga mencurigai. Ketulusan, kejujuran dalam tukar betukar pandangan akan menghasilkan sesuatu yang positif. Teroris seharusnya ditangkis/dihadapi dengan demokrasi, dialog, diskusi, bukan dengan caci maki, bukan dengan stigmatisasi, pengdiskreditan. Kekerasan, radikalisme bukan dilawan dengan kekerasan, radikalisme. Kesantunan, kelembutan, laiyinah akan mengirami kekerasan, radikalisme. Bukanlah suatu aib, tercela bagi negara memberikan pengampunan masal (amnesti umum) pelaku kekerasan, radikalisme.

Media masa, baik media cetak maupun media elektronik haruslah proaktif mengambil bagian dalam upaya/gerakan “Menjadikan lawan menjadi kawan”. Dulu Saddam Husein, Khaddaafi, Osama bin Ladin adalah kawan, sekutu dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Kemudian mereka berseberangan menjadi lawan dari pemerintah AS. Dan sebelum terjadi krisis politik di Afrika Utara, AS dan Khadafi pernah rujuk berbaikan jadi kawan kembali. Dan sebelum itu ada pula yang pernah berharap agar Bush dan Osama bisa berjabat tangan. Musuh bebuyutan sebenarnya bisa saja dihapuskan. Antara lain perlu dihilangkan watak provokator, watak tukang kipas, watak tukang pemanas-manasi. Bahkan Indonesia bisa berbaikan dengan Jepang, dengan Belanda dengan melupan peristiwa masa lalu. Sengketa, masalah, perbedaan diselesaikan bersama dengan dialog terbuka.

Menyimak sosok Muhammad Syarif

Akibat berita media yang sedemikian menyolok (tendensius-provokatif ?), maka kita semua begitu membenci sosok (almarhum ?) Muhammad Syarif bin Abdul Ghafur si terduga (tersangka ?) pelaku bom bunuh diri di Masjid AdzDzikra Mapolresta Cirebon saat Jum’at pada 15 April 2011 yang melukai sekitar 30 orang. Kita jadi lupa mengontrol diri, mengontrol ucapan. Padahal Islam menuntun, membimbing, mengajarkan agar selalu berlaku adil terhadap siapa pun, bahkan terhadap yang dibenci sekali pun. Adalah tak etis menuding sosok yang sudah meninggal sebagai orang sakit jiwa, sebagai orang kafir bayaran. Yang sudah meninggal tak akan dapat membela diri. Biarlah aparat kepolisian yang menyidiknya. Dan serahkanlah kepada Allah tentang amal perbuatannya dan sanksi hukumnya.

Barangkali cukuplah menudingnya sebagai yang temperamental, yang agresif, paling-paling sebagai anarkis. Dan tak layak melarang menguburkan mayat siapa pun di daerah tempatnya berdomisili. Siapa pun adalah makhluk Allah. Bumi di mana pun adalah milik Allah. Setiap yang meninggal harus dikuburkan di bumi. Allah melarang membuang, membakar mayat. Jadilah kita mejadi manusia hamba Allah.

Setiap yang mengaku Muslim pastilah juga mengakui bahwa Quran itu adalah Kitab Sucinya. Namun masing-masingnya berbeda-beda pemahamannya terhadap yang tercantum dalam Quran tersebut. Bahkan umat Islam itu diprediksi oleh Rasulullah akan terpecah lebih dari 70 aliran. Meskipun berguru, belajar dari ustadz, kiyahi, ajengan, ulama yang sama, maka pemahamannya pun akan berbeda-beda pula. Apalagi kalau hanya sama-sama mendengarkan ceramah seorang ustadz, muballigh, ulama, maka pemahamannya pun berbeda-beda pula. Adalah naïf mengait-ngaitkan tindakan, perbuatan seseorang dengan orangtuanya, saudaranya, gurunya, idolanya.

Mencari jejak misteri bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon

Termasuk kategori bom canggih atau biasa. Berdaya ledak tinggi atau rendah. Menggunakan biaya rakit besar atau kecil. Dirakit oleh tenaga profesional atau amatiran. Dilakukan oleh kelompok atau perorangan. Sasarannya kelompok atau pribadi. Motivasinya apakah ideolgis atau balas dendam. Apakah suatu karya atau rekayasa.

Silakan temukan siapa, sasarannya. Apakah ini aktivitas teroris ataukah anarkis. Apakah punya dalang, aktor intelektual, di dalam atau di luar negeri. Apakah punya jaringan atau lokal.

Bom buku

Bom buku bisa berarti bom yang dibingkis, dibungkus, dikemas dengan menggunakan buku, seperti yang dikirimkan, dipaketkan untuk Islam Liberal, Pendukung Pancasila, Densus 88, Pentolan Yahudi pada Selasa, 3 Maret 2011. Daya ledaknya tergantung dari unsur, bahan bom itu sendiri. Sampul buku yang dikirim berjudul “Mereka harus dibunuh karena dosa-dosa mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin”. Apakah isi, materi buku tersebut mengenai analisa kritis terhadap “Fiqih Jihad”, lagi didalami oleh pihak berwajib.

Bom buku juga bisa berarti isi (ide, konsep, gagasan) buku yang dapat menggoncangkan pola pikir pembacanya, sebagaimana halnya bom. Lima enam puluh tahun yang lalu Robert B Downs mengarang/menulis “Book that changed the world” (“Buku-Buku Yang Merubah Dunia”, terjemahan Drs Asroel Sani, terbitan PT Pembangunan, 1959, Pustaka Sardjana, No.27). Di dalamnya terdapat sekitar sepuluh buah buku yang menggoncang, meledakkan dunia, lebih dahsyat dari tsunami. Menggoncang pola piker. Menggoncang dunia budaya. Menggoncang dunia politik. Menggoncang dunia ekonomi. Dan lain-lain. Daya gancangannya lintas sektoral, lintas wilayah. Ada karya Yahudi dan ada karya anti Yahudi. Di antaranya “Il Prince” (Sang Pangeran) Nicco Machiavelli. “Mein Kampf” Adolf Hitler, “Relativiteit Theory” Albert Einstein, “Origin of Spices” Charles Darwin, “Das Kapital” Karl Marx, “Das Ich und das Es” Sigmund Freud, dan lain-lain.

Adakalanya pena penulis lebih dahsyat daya ledaknya dari senapan militer. Ide, ideologi itu lebih dahsyat daya ledaknya dari bom konvensional apa pun, lebih dahsyat dari pada yang terjadi di Hirosyima enam puluh lima tahun yang lalu.

(written by sicumpaz@gmail.com in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1103170800)

Seruan kepada pengemban jihad

Jihad itu merupakan cabang, bagian dari aktivitas dakwah. Jihad itu memerlukan kesabaran yang tinggi. Tak terburu-buru, tak tergesa-gesa melihat, menyaksikan hasil dakwah. Dakwah itu berproses, bertahap, tumbuh berkembang secara evolusi. Hasil dakwah bisa saja terlihat setelah bertahun-tahun, atau bisa pula setelah berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun kemudian. Yang perlu tetap konsisten melakukan dakwah. Hasilnya serahkan kepada Allah. Kapan matang dan berhasilnya pun serahkan kepada Allah. Sabar adalah salah satu senjata orang mukmin. Sabar dalam berjuang. Sabar dalam berjihad.

Kepada pelaku bom jihad

Para pelaku bom jihad seyogianya senantiasa memohon ampun kepada Allah. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS 3:133). Dan mohon ma’af kepada para keluarga korban yang tak bersalah.

Para pelaku bom jihad seyogianya senantiasa berdoa memohon kepada Allah agar hasil ijtihadnya dan aktivitas jihadnya berada pada jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah.

Para pelaku bom jihad seyogianya senantiasa tetap bertawakkal kepad Allah. “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami dan dari pada Tuhan yang telah menciptakn kami, maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja” (QS 20:72).

Para pelaku bom jihad seyoginya menyadari bahwa raga boleh saja mati, nyawa boleh saja hilang, namun semangat, ruh jihad memperjuangkan berlakunya hukum Allah di bumi sebagai hukum positif tetap saja langgeng abadi sepanjang masa. “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesunguhnya waktu yang dijanjikan Allah itu, pasti datang” (QS 29:5).

(BKS 081050630)

Himbauan kepada calon pelaku teror bom bunuh diri

Bunuh diri itu, haram. Bahkan seseorang yang berperang dengan semangat keras, namun ia bunuh diri karena tak tahan menderita luka, maka ia termasuk ahli neraka (Simak “AlLukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, Bab “Haram Bunuh Diri”, hadis no.69-73, 1695, 1699).

Status haram sesuatu, memang bisa saja berubah jadi halal, mengacu kepada kaidah usul fiqih. Tetapi tergantung pada zaman (tempo), makan (loco) dan sikon. Yang berwewenang menentukan peralihan status hukum tersebut adalah ulama yang berwawasan luas. Tetapi antara ulama yang satu denagan ulama yang lain bisa saja berbeda pendapat (ikhtilaf), karena berbeda kwalitas keilmuannya dan sudut pandangnya. Kearifan diperlkan untk memilih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut.

Namun untuk kontek Indonesia masa kini, status hukum bunuh diri fi sabilillah masih tetap haram, belum bisa berubah jadi halal. Yang diperlukan masa kini di Indonesia adalah meingkatkan aktivitas dan kwalitas dakwa di semua sektor dan di semua lini.

Imam Ibnu Nuhas, salah seorang ulama yang syahid pada 814H membahas tentag in-ghmas” (jibaku, mengorbankan, menceburkan diri ke medan perang fisik) dalam satu bab dalam bukunya “Masyari’ul Asywaq” yang memuat lebih dari 15 hadis/atsar tentang operasi jibaku. Inti dari seluruh hadis/atsar tersebut mengisahkan tentang peristiwa nyata tentang jibaku.

Berjibaku, menceburkan diri ke medan perang fi sabilillah menurut Abu Ayub alAnshari bukanlah tindakan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan. Menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan adalah mengumpulkan kekayaan dan kemewahan dunia sehingga takut menghadapi perjuangan; cinta dynia dan takut mati (Simak tafsiran ayat QS 2:195, dalam “Tafsir AlAzhar” Prof Dr Hamka, juzuk II, 1983:142, “Berjuang Pada Jalan Allah”).

Jumhur Fuqaha memandang bahwa keselamatan nyawa didahulukan atas keselamatan agama, bila keselamatan nyawa terancam. Keselamatan nyawa digunakan untuk menjaga keselamatan agama (Simak “Sirah Nabawiyah” Dr Muhammad Said Ramadhan alButhy, Buku Kesatu, 1992:100, “Ibrah Dakwah Secara Rahasia”).

Terhadap aksi jibaku (Bara bin Malik), para sahabat bersikap diam (sukut). Abu Hurairah ra menanggapi aksi jibaku seseorang sahabat dengan membacakan ayat QS 2:207 “Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah”. In-ghimas (jibaku) dipahami Abu Hurairah ra sebagai “mengorbankan diri untuk mencari keridhaan Allah”.

Di kalangan pelaku bom syahid dikenal terminology istimata (mencari mati) dan istisyhad (mencari syahid). Namun di antara ulama terdapt perbedaan pendapat (ikhtilaf). Ada yang berpendapat bahwa istimata atau istisyhad itu dapt dikategorikan sebaggai in-ghimas (aksi jibaku). Ada pula yang berpendapat bahwa istimata atau istisyhad itu tak dapat dikategorikan sebagai in-ghimas (aksi jibaku) (Silakan temukan “in-ghimas” menggunakan mesin Google).

Segeralah Anda hentikan/batalkan rencana, aktivitas, kegiatan untuk melakukan teror bom bunuh diri. Tak usah mencari-cari alasan, dalil, hujjah untuk pembenaran aksi teror bom bunuh diri. Pentolan pelaku teror 37 tahun yang lalu (1972) seperti Baader-Meinhof dengan Fraksi Tentera Merah (RAF)nya hanya melakukan penangkapan, penembakan, pembunuhan, pembajakan terhadap lawannya (dari kalangan polisi, tentara, pengusaha, pejabat, politisi, dan lan-lain) (Simak PANJI MASYARAKAT, No.235, 15 Nopember 1977, hal 29, “Teror di Jerman Barat). Tak ada yang mengorbankan nyawanya sendiri.

Teror berfungsi hanya sekedar untuk menakut-nakui lawan, agar lawan mau, bersedia memenuhi tuntutannya yang diajukan kepadanya. Setelah tuntutan terpenuhi tak perlu lagi meneruskan aksi terror. Baik yang meuntut, mapun yang dituntut sebenarnya sama-sama menginginkan hidup dalam kedamaian, ketenteraman. Tak ada mansia yang benar-benar berwatak jahat, yang menginginkan hidup selalu dalam kekacuan, kerusuhan.

(BKS0908251215)

Do’a bagi subjek-objek bom

Subjek, pelaku bom harus diperingatkan bahwa haram menumpahkan darah orang Muslim. Subjek, pelaku bom seyogianya dido’akan. Jika ia berniat dengan perbuatannya itu agar masuk surga, semoga Allah menyapaikan niatnya itu. Sebaliknya, jika ia bukan berniat untuk mask surga, semoga Allah mengampuni kesalahannya.

Objek, korban bom serta keluarganya seyogianya juga dido’akan. Jika ia dan keluarganya ridha menerima takdir Allah, semoga Allah memasukkan mereka ke dalam surga. Sebaliknya, jika mereka tak ridha menerima takdir Allah, semoga Allah mengampuni kesalahan mereka.

Hentikan saling kutuk-mengutuk. Islam tak membenarkan saling kutuk-mengutuk itu.

Hentikan sikap snis terhadap pencari syahid, pencari surga. Jangan jadi pengikut orientalis Wahington Irving yang sangat benci terhadap Islam itu. Ia menyifati Islam sebagai “ajaran yang mendorong orang-orang bodoh ke medan perang secara buas. Mereka diimingi-imingi, kalau hidup mendapat rampasan perang, kalau mati mendapat surga” (Muhammad Husain Haekal : “Sejarah Hidup Muhammad”, 1984:693).

Diharapkan ada yang bersedia terjun menjadi mediator, yang menjembatani antara negara, pemerintah dan pelaku terror, musuh negara. Jika negara, pemerintah bersedia menerapkan syari’at Islam, maka pelaku terror harus bersedia pula menghentikan aksi terornya dan menyerahkan diri untuk mejalani hukuman menurut hukum Islam. Atau jika pelaku teror bersedia menghentikan aksi terornya dan menyerahkan diri, maka negara, pemerintah berjanji akan menghukumnya seringan-ringannya.

(BKS0908150600)

Wajib militer semur hidup

Terdapat sebuah HR Muslim dari Abi Hurairah yang terjemahannya “Barangsiapa mati sebelum berperang, dan tidak pernah berniat untuk berperang, maka ia mati dalam bagian kemunafikan” (“Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, Bab “Jihad”, hadis no.57). Juga HR Muslim dari Abu Bakar bin Abu Musa alAsy’ari yang terjemahannya “Sesungghnya pintu-ntu surga itu di bawah naunga pedang” (idem, hadis no.18).

Apakah makna dan maksud dari hadis tersebut. Apakah Rasulullah mengiyaratkan bahwa Islam akan senatiasa menghadapi serangan musuh Islam, karenanya setiap umat Islam harus senantiasa siap siaga untuk berperang, mempertahankan Islam dari musuh-musuh Islam.

Apakah isyarat tersebut juga menghendaki adanya mobilisasi umum, untuk mengikututi wajib militer seumur hidup.

(BKS0908131730)

Noda persatuan

Tak ada yang suka dikatakan salah. Namun harus dikatakan bahwa yang salah itu salah.

Seorang Master dari Lembaga Dakwah AsySyams Bekasi, H Nur Zamzam MA, jadi khatib Idul Fitri 1430H di pelataran parker Grand Mall Hypermart Bekasi. Sang Master mengusung tema “Persatuan Umat”. Dalam khutbahnya, Sang Master mengajak jama’ah untuk menciptakan, merajut, memelihara, mejaga persatuan umat, serta menghindari, mencegah timbulnya perpecahan umat. Sungguh, khutbah yang bertemakan persatuan umat itu sangat berbobot.

Namun sayangnya, tanpa disadari, Sang Master menodai ajakan persatuan umat yang diusungnya. Karena noda setitik, maka bisa-bisa hilang makna persatuan. Tanpa disadari bisa-bisa diperalat musuh.Ia terjebak, tererangkap menyampaikan pesan sponsor anti Islam. Sang Master mengajak jama’ah agar berbaikan dengan kafir Amerika. Kafir Amerika itu orang baik-baik, bukan musuh Islam. Dan mencaci maki mereka-mereka yang dituding teroris. Mereka dicap zhalim, tak berperikemanusiaan. Orang zhalim itu tempatnya di neraka bukan di surga.

Berbeda dengan Sang Master, Abubakar Baasyir dari kalangan Ansharut Tauhid memandang kafir Amerika, juga kafir lain adalah kafir. Kafir itu musuh Islam. Musuh itu harus diperlakukan sebagai musuh. Ayat QS 2:130 tentang permusuhan kafir terhadap Islam tak pernah mansukh (dihapus, dibatalkan).

Mengenai cara memperlakukan musuh sebagai musuh, Abubakar Baasyir berbeda dengan mereka-mereka yang dicap teroris. Dalam pandangan Abubakar Baasyir, mereka itu adalah objek dakwahyang harus didakwahi. Meskipun berbeda dengan mereka-mereka yang dicap teroris, namun Abubakar Baasyir tak pernah mencaci-maki mereka-mereka yang dicap teroris itu, tak pernah mencap mereka zhalim, tak berperikemanusiaan, ahli neraka.

Ini masalah ijtihad. Mesipun mereka salah, tapi mereka bisa saja mendapat pahala (nilai baik) di sisi Allah. Wallahu a’lam. Serahkan kepada Allah. Tak usah kita ikut-ikut menghakimi.

Ismanto, ayah Urwah (Bagus Budi Pranoto) yang tinggal di Kudus, yang anaknya tewas dalam penggerebekan di Mojosongo, Surakarta (Kamis, 17 Sepember 2009) berujar “Saya berharap anak saya mati syahid” (KORAN TEMPO, Jum’at, 18 September 2009, hal A4, “Tewasnya Anak Didik Azhari”). Kebencian melahirkan ketidakadilan. Jenazah mereka yang dituding teroris tak diizinkan dimakaman di kampung halamannya. Sungguh ketidakadilan meresap ke dalam diri bangsa ini.

(BKS0909201700)

Tinggalkan komentar

Filed under Tak Berkategori

Belajar memahami Hukum Islam

Belajar memahami Hukum Islam

Cara (Metoda) yang ditempuh oleh Ulama Fiqih (Pakar Hukum Islam) dalam menentukan kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) secara sederhana adalah sperti berikut : 1. Menela’ah sumber syar’iyah (Sumber Hukum Islam). 2. Merumuskan kaidah-kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) dari sumber syar’iyah 9Sumber Hukum Islam). 3. Menyusun ketentuan hukum (Hukum Islam) dari kaidah-kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam). 4. Memeriksa ketentuan hukum (Hukum Islam) dengan sumber syar’iyah (Sumber Hukum Islam). 5. Merumuskan kembali kaidah-kaidah ushul (Prinsip hukum Islam).

Mengacu pada pandangan(Teori Hukum) Imam Syafi’i dalam kitabnya “ArRisalah”, maka para ulama fiqih (Pakar Hukum Islam) mengemukakan bahwa sumber syar’iyah (Sumber Hukum Islam) itu terdiri dari Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas.

Diantara kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) yang dikemukakan oleh ulama fiqih (Pakar Hukum Islam) berbunyi bahwa “Yang menjadi pegangan (‘ibarat) adalah kekhususan (parsial) sebabnya, bukan keumuman (total) lafadznya (ungkapannya), disamping “Yang menjadi perhatian (‘ibarat) adalah keumuman (total) tujuan katanya, bukan kekhususan (parsial) sebab terjadinya” (Simak antara lain : ALMUSLIMUN, No.191, Februari 1986, hal 23; Prof Dr Hamka : “Tafsir AlAzhar”, juzuk II, 1983, hal 77; Abdul Hamid Hakim : “AlBayan”, hal 61).

Dalam Ilmu Mantiq (Logika) disebutan bahwa lafadz (ungkapan) itu ada yang kulli (total) dan ada pula yang juz^I (parsial). Meskipun lafadznya itu bersifat kulli (total), namun makna (mafhum, ‘ibarat) nya bisa bersifat juzi (parsial) (Simak antara lain Drs M Umar dkk : “Fiqih-Ushul Fiqih-Mantiq untuk Madrasah Aliyah”, Depag RI, 1984/1985, hal 130-132).

Dalam wilayah, daulah, negara yang berpenduduk Muslim, maka konsekwensi logisnya yang layak diberlakukan adalah Hukum Islam (Simak antara lain KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, Pedomaan Ilmu Jaya, 1992, hal 32-33. Sayangnya KH Firdaus AN tak memiliki kemampuan (kepemimpinan, leadership) untuk mewujudkan, merealisasikan idenya agar “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Tak Berulang lagi”).

Mengenang Piagam Jakarta

Dalam rangka mengenang kembali Piagam Jakarta yang dikhianati, seyogianya sepanjang bulan Juni digalakkan upaya pengungkapan kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan perihal Piagam Jakarta, seperti yang pernah dirintis, dilakukan oleh KH Firdaus AN dengan tulisannya “22 Juni yang Keramat” dalam majalah HARMONIS, No.410, Oktober 1989 (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh berulang Lagi”, 1992, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta).

Dalam pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata laian telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

Rakyat Indonesia sangat mendambakan, mengharapkan pemerintahan yang memiliki Sistim pencekalan pengangguran, Sistim pencekalan kemiskinan, Sistim pencekalan pornografi, Sistim pencekalan kezhaliman, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang diamanatkan oleh Piagam Jakarta, yang kemudian dipungut sebagai Pembukaan UUD-1945.

Selama Pancasila dan UUD-45 menjadi nomor satu dalam negara RI; Islam, AlQur^an dan AsSunnah jadi nomor dua, itu berarti semangat jihad kaum Muslimin belumlah optimal. Dan itu aalah hal yang cukup memalukana dalam suatu negara yang penduduknya hamper 90% memeluk agama Islam. Itu satu bukti bahwa iman dan kesadaraan beragama terlalu lemah dan melempem (KH Firdaus An : “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Yang Tak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi”, Pustaka AlKautsar, Jakarta, 1999:190).

Yang ideal, di Indonesia cukup memiliki dua buah partai politik, Yaitu Partai Islam dan yang satu lagi Partai Pancasila.Di negara-negara besar yang matang demokrasinya cuma ada dua partai politik. Dengan itu rakyat mudah menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan. Bagi yang tidak setuju ideology Islam silakan masuk partai Pancasila, dan yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam (idem, hal 186). Dengan demikian bisa pula diatasi gerakan jihad yang dicap sebagai teroris. Semua yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslim diberikan kesempatan berjuang secara demokratis (musyawarah mufakat) dalam sidang DPR/MPR, seperti yang pernah ditawarkan oleh Soekarno pada sidang BPUUPKI pada 1 Juni 1945 yang dikenal dengan hari Lahirnya Pancasila.

Written by Asrir Sutanmaradjo at BKS
(look also at http://asrirs.blogspot.com https://sicumpas.wordpress.com
http://sikumpas.blogspot.com http://kamimenggugat.blogspot.com http://kami-menggugat.blogspot.com http://islamjalanlurus.truefreehost.com http://sicumpaz.truefreehost.com http://sicumpas.multiply.com http://fauziah_sul.livejournal.com http://pontrendiniyahpasir.wordpress.com )

Tinggalkan komentar

Filed under Islam