Monthly Archives: Mei 2011

Kembalikan ideologi Pancasila sebagai Dasara Negara saja

Kembalikan Pancasila sebagai Dasar Negara saja

Sesuai dengan ide, gagasan Ir Soekarno yang disampaikannya dalam pidatonya “Lahirnya Pancasila” dalam sidang BPUUPKI pada 1 Juni 1945, bahwa Pancasila itu hanya sebatas “Philosophische grondslag”, “Weltanschauung”, Dasar Negara Indonesia Merdeka, maka kembalikanlah Pancasila itu hanya sebagai Dasar Negara saja, bukan sebagai Dasar Moral. Nasionalisme, demokratisme, sosialisme, komunisme, Islam adalah “Weltanschauung”.

Selama empat belas tahun pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1958, hampir boleh dikatakan bahwa Pancasila dikenali hanya terbatas sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Pada awalnya Pancasila itu adalah formulasi (perumusan) dari gagasan Ir Soekarno yang diperkenalkannya pada hari keempat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka yang kemudian diterima dalam Piagam Jakarta, dan yang selanjutnya direvisi dalam Pembukaan UUD-45.

Baru sejak tahun 1978 secara sistimatis dan terencana, dikembangkan konsep Pancasila sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai Asas Moral bagi kehidupan bangsa Indonesia. Mulai dari kehidupan berpolitik, berekonomi, sampai kehidupan pribadi dan berkeluarga diatur, berapa jumlah anak, bagaimana isi dakwah setahap demi setahap diarahkan, diatur, ditata oleh negara.

Setelah ditetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal, maka disini pancasila berperan mengatur sikap dan tingkah laku orang Indonesia masing-masing dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa (Ketuhanan Yang maha Esa), dengan sesama manusia (Kemanusiaan yang adil dan beradab), dengan tanah air dan nusa bangsa Indonesia (Kebangsaan atau Nasionalisme), dengan kekuasaan dan pemerintahan negara (Kerakyatan), dan dengan negara sebagai kesatuan sosial dalam rangka realisasi kesejahteraan (Keadilan Sosial). Dalam hubungan ini sementara pengamat mempertanyakan apakah negara/pemerintah, MPR berhak mengatur, membina hati nurani masing-masing individu ?

Dalam wilayah, daulah, negara yang berpenduduk Muslim, maka konsekwensi logisnya yang layak diberlakukan adalah Hukum Islam (Simak antara lain KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, Pedomaan Ilmu Jaya, 1992, hal 32-33. Sayangnya KH Firdaus AN tak memiliki kemampuan (kepemimpinan, leadership) untuk mewujudkan, merealisasikan idenya agar “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Tak Berulang lagi”).

Dalam hubungan ini, menurut pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata lian telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

Selama Pancasila dan UUD-45 menjadi nomor satu dalam negara RI; Islam, AlQur^an dan AsSunnah jadi nomor dua, itu berarti semangat jihad kaum Muslimin belumlah optimal. Dan itu aalah hal yang cukup memalukana dalam suatu negara yang penduduknya hamper 90% memeluk agama Islam. Itu satu bukti bahwa iman dan kesadaraan beragama terlalu lemah dan melempem (KH Firdaus An : “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Yang Tak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi”, Pustaka AlKautsar, Jakarta, 1999:190).

Yang ideal, di Indonesia cukup memiliki dua buah partai politik, Yaitu Partai Islam dan yang satu lagi Partai Pancasila. Di negara-negara besar yang matang demokrasinya cuma ada dua partai politik. Dengan itu rakyat mudah menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan. Bagi yang tidak setuju ideology Islam silakan masuk partai Pancasila, dan yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam (idem, hal 186). Dengan demikian bisa pula diatasi gerakan jihad yang dicap sebagai teroris. Semua yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslim diberikan kesempatan berjuang secara demokratis (musyawarah mufakat) dalam sidang DPR/MPR, seperti yang pernah ditawarkan oleh Soekarno pada sidang BPUUPKI pada 1 Juni 1945 yang dikenal dengan hari Lahirnya Pancasila.

(BKS11105301630)

Tinggalkan komentar

Filed under Ideology, Islam, Laws, Morals, Politics, Social

Istiqamahlah selalu

Istiaqmahlah selalu

Senantiasalah berupaya meningkatkan pengetahuan, meluaskan wawasan. Senantiasalah istiqamah memegang Islam, tetap bersemangat menyampaikan, mendakwahkan kebenaran Islam.

Ingatlah selau bahwa musuh senantiasa mengintai, berupaya menghancurkan Islam dengan berbagai cara. Bisa dengan menciptakan isu bahwa Islam itu teroris. Tafsir Quran, buku jihad itu adalah barang bukti teroris. Dengan mengaburkan, menyelewngkan pengertian jihad, shyari’ah, khilafah. Bagi pejuang, mujahid Islam, hidup mati itu adalah kemenangan.

Ingatlah selalu bahwa keruntuhan Khilafah Islamiyah pada 3 Maret 1924 dilakukan oleh kospirasi musuh-musuh Islam.

Waspadahlah selalu terhadap yang mengatasnakan rakyat, yang mengatasnamakan demokrasi. Semuanya hanya berusaha memeras. menguras, memperalat rakyat. Atas nama rakayat, atas nama demokrasi, mereka ciptakanlah berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka.

Ingatlah selalu yang lima sebelum datang yang lima. manafa’atkanlah hidup sebelum mati. Sehat sehat sebelum sakit, Kaya sebelum miskin, Sempat sebelum sempit. Muda sebelum tua 9Simak MEDIA UMMAT, Edisi 59, 20 Mei – 2 Juni 2011, hal 2-3, “Salam Redaksi, “Media Pembaca”0.

(BKS1105291430)

Tinggalkan komentar

Filed under Morals

Persekutuan Negara-Negara Muslim

1 Persekutuan Negara-Negara Muslim
Katholik mengenal Paus. Syi’ah mengenal Imamah. Sunni mengenal Khilafah. Dalam imaginasi Syekh Khalid Muhammad Khalid dalam ‘Forum Here We Start’ “Agama (Islam ?) adalah keramahan, kecintaan, kebahagiaan, kemanusiaan, kemajuan, progressif, demokratif, sedangkan kependetaan (Ulama, Mufti, Qadhi, Imam ?0 adalah egoistik, totaliter, reaksioner (Maryam Jameelah : ‘Islam & Modernisme’. Al-Ikhlas, Surabaya, 1982, hal 209).
Dalam bukunya ‘Islam dan Khilafah’ (1985:267-277), Dr Muhammad Dhiya:ad-Din ar-Rais (Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Kairo), mengajukan gagasan lembaga Persekutuan Negara-Negara Muslim sebagai bentuk (mocel) kekhilafahan yaang sesuai dengan masa kini.
Kekhilafahan pada masa modern ini haruslah memiliki bentuk yang dinamis dan seirama dengan kemajuan, baik politik maupun konstitusional yang muncul di masa kini.
Bentuk kekhilafahan modern tidak terpusat pada satu tangan, melainkan berada dalam suatu sistem persatuan, demokratis, bercorak musyawarah dan persekutuan (federasi ?).
Kekhilafahan Islam telah ditegakkan oleh kaum Muslimin semenjak wafatnya Rasulullah saw, saat mereka memilih Abu Bakar Shiddik ra, sebagai pengganti beliau, kemudian dilanjutkan dengan persetujuan mereka terhadap pengangkatan Umar ibn al-Khaththab ra, sebagai Amirul Mukminin. Selanjutnya kehilafahan ini terus berjalan sepanjang kehidupan ummat Islam, sepanajang lebih dari seribu tigaratus tahun samapi menjelang abad ke-empat belas Hijriyah, saat ia terhapus dari Turki.
Para ulama Islam telah sepakat bahwa khilafah atau imamah merupakan salah satu di antara kewajiban dasar agama, bahkan merupakan kewajiban utama dan teramat penting, lantaran ia berkaitan dengan pelaksanaan seluruh syari’at dan perealisasian kemashlahatan kauam Muslimin.
Menurut Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais, khilafah itu adalah adanya kepemimpinan umum ummat Islam yang mewakili kesatuan mereka, memelihara eksistensinya dan melindunginya dari ancaman bahaya, serta merealisasikan kemashlahatan bersama dan memberlakukan prinsip-prinsip Islam.
Dalam kehilafahan, syari’at Islam ditempatkan sebagai sumber perundang-undangan, disertai dengan ijtihad dalam berbagai medan yang bertujuan merealisasikan kemashlahatan umum.
Bentuk kekhilafahan yang sesuai dengan masa kini menurut Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais adalah lembaga Persekutuan Negara-Negara Muslim.
Negara-Negara Muslim adalah negara-negara yang dibangun sesuaia dengan prinsip-prinsip Islam : musyawarah, kedaulatan ummat dan tanggungjawab pemerintaha dihadapannya, dan yang bertujuan meningkatkan moral individu dan masyarakat, lalu menempatkan meratanya keutama-utamaan dan perjuangan menghadapi kebobrokan sebagai tujuannya.
Politik dalam negeri Negara-Negara Muslim hendaknya selaras dengan prinsip-prinsip dan ide yang diberikan oleh Islam.
Negara-Negara Muslim harus berusaha sebisa mungkin mewujudkan kekuatan guna menghadapi musuh-musuh. Antara Negara-Negara Muslim harus ada kerjasama yang kontinu dan kokoh. Persaudaraan dan kasih sayang mestilah menjadi corak pemerintahan dalam Negara-Negara Muslim.
Islam selamanya menganjurkan persaudaraan, kemanusiaan, kebajikan, kasih sayang, dan keadilan kepada semua warganya, kendatipun berbeda akidah.
Islam adalah Risalah Langit yang amat luhur yang bisa mengurangi pertentangan-pertentangan di dunia saat ini.
Persekutuan Negara-Negara Muslim merupakan organisasi internasional yang memiliki kepemimpinan yang bercorak internasional pula, keputusan-keputusannya diambil dengan musyawarah dan bersifat mengikat.
Persekutuan ini bukanlah organisasi keagamaan yang sempit, melainkan sebagai organisasi politik, kebudayaan dan pendidikan Islam.
Persekutuan Negara-Negara Muslim dibangun atas asas musyawarah, pemilihan dan kerjasama antara Negara-Negara Muslim. Persekutuan ini memikul tugas umum, bertindak selaku khalifah (kolegial-kolektif ?).
Persekutuan merealisasikan makna kekhilafahan dan menjalankan fungsinya, namun dalam bentuknya yang baru : bentuk permusyawaratan, kerjasama, organisasi dan konstitusional, yang dibangun atas ideologi khusus dengan pembagian kerja dan persamaan pandangan (viszi dan persepsi ?).
Persekutuan mewujudkan kepemimpinan umum bagi ummat Islam. Kepemimpinan yang mencerminkan persatuan dan solidaritas mereka.
Persekutuan ini haruslah memiliki sifat kepemimpinan yang dapat mencerminkan aspirasi seluruh ummat Islam, yang sekaligus menjadi aturan negara, yang kepemimpinannya bersifat koperatif, keputusannya diambil secara musyawarah yang melibatkan semua negara dan bangsa Muslim, dan yang keputusan-keputusannya memiliki kekuatan untuk dita’ati oleh negara dan bangsa-bangsa Muslim.
Persekutuan ini berkewajiban memelihara kemashlahatan bersama, menggariskan kebijaksanaan umum dalam politik dan menggariskan batas-batas hubungan bangsa-bangsa Muslim dan bangsa-bangsa non-Muslim.
Kedudukan pusat Persekutuan, bisa dipilih dari negara-negara anggota dan pemilihannya diserahkan kepada semua negara anggota. Yang penting tugasnya, soal tempat bukan masalah. Yang penting adalah pelaksanaan dan realisasinya, sehingga tidak ada pertentangan atau sengketa dalam hal yang berkenaan dengan persoalan-persoalan Islam.
Persekutuan ini bertujuan guna menghimpun kesatuan pandangan kaum Muslimin, mengikat negara-negara mereka, dan menyatukan langkah dan kebijaksanaan politiknya.
Tujuan Persekutuan Negara-Negara Muslim ini secara garis besar menurut Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais adalah sebagai berikut :
1 Persekutuan Negara-Negara Muslim ini didirikan untuk perdamaian, dan bukan untuk peperangan dan permusuhan.
2 Persekutuan Negara-Negara Muslim ini berlingkup internasional. Persekutuan ini memiliki hubungan baik dan bekerjasama dengan PBB dan organisasi-organisasi internasional lainnya dalam upaya memelihara perdamaian dunia yang disertai dengan keadilan.
3 Persekutuan ini bertujuan membela tanah air dan hak-hak kaum Muslimin, serta menentang setiap usaha yang mengancamnya. Persekutuan ini memberikan perlindungan kepada kaum Muslimin dan tanah air mereka dari ancaman musuh.
4 Persekutuan ini menggalang satu kekuatan persatuan menentang musuh-musuh khususnya Zionis dan Kolonialis.
5 Persekutuan memelihara agama Islam dan berusaha merealisasi prinsip-prinsipnya dan menjadikannya sebagai asas kehidupan sosial.
6 Persekutuan ini membangkitkan kehidupan umat Islam dalam semua aspek tuntunan moral dan ilmu pengetahuan.
7 Persekutuan ini mengedepankan, menyampaikan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia internasional guna menyebarkan prinsip-prinsipnya yang luhur itu kepada semua bangsa di dunia.
8 Persekutuan ini menyerukan persatuan ummat manusia dalam satu masyarakat dunia sebab Islam adalah risalah universal yang menganjurkan persatuan akidah dan kemanusiaan.
9 Persekutuan ini menentang fanatisme suku dan penindasan satu bangsa atas bangsa lainnya.
10 Persekutuan berusaha menciptakan pemerintahan dunia atau sistem internasional yang ditaati oleh semua orang guna merealisasikan keadilan, perdamaian dan persaudaraan.
Semua negara Muslim hendaknya ikut bergabung sebagai anggota di dalam Persekutuan Negara-Negara Muslim. Setiap Negara memiliki perwakilan tetap. Merewka haruslah orang-orang yang memiliki kwalifikasi politis dan cendekiawan Muslim.
Persekutuan Negara-Negara Muslim hendaknya memiliki Alat-Alat Perlengkapan berupa lembaga/majlis/dewan (counsil), seperti : 1. Kongres atau Konperensi (semacam Majlis Umum/General Assembly dalam PBB/UNO), 2. Maajlis Eksekutif (semacam Dewan Keamanan/Security Counsil dalam PBB/UNO), 3. Sekretariat atau Kepaniteraan (Secretary), 4. Dewan Politik (Lajnah Hikmah), 5. Dewan Perundang-undangan atau judikatif (Dewan Hukum), 6. Dewan atau Biro militer, 7. Dewan Pendidikan Sosial, 8. Dewan Dakwah (Dewan Penerangan).
1 Kongres atau Konperensi (semacam Majlis Umum/General Assembly dalam PBB/UNO). Secara periodik Kongres menyelengarakan pertemuan-pertemuan sedikitnya tiga bulan sekali, ataua bila ada persoalan-persoalan yang mendesak. Kongres ini diketuai oleh seorang Ketua secara bergiliran yang dipilih oleh wakil-wakil setiap negara anggota untuk periode (masa sidang) yang ditentukan. Kongres yang diselenggarakan boleh pula sampai pada tingkat Kepala Negara atau Menteri Luar Negeri guna menelorkan solusi-solusi bagi persoalan-persoalan penting yang muncul.
Kongres merupakan organ yang bersifat kepemimpinan, pengarahan dan permusyawratan, sebab ia mewakili suara seluruh ummat Islam di berbagai penjru dunia. Keputusan-keputusan yang ditetapkan Kongres merupakan undang-undang yang mesti dilaksanakan dan dita’ati. Persekutuan memiliki hak untuk memberikan sanksi atau menjatuhkan hukum kepada pihak yang menyimpang dari keputusan-keputusan yang diambilnya serta keluar dari Persekutuan.
Kepemimpina Persekutuan dipuituskan berdasarkan kesepakatan dan kopeatif. Persekutuan memiliki kepemimpinan pusat dalam hal-hal yang bersifat umum yang menjadi kepentingan bersama, atau berkenaan dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan kemashalahatan umum, nasib dan masa depan ummat, terutama dalam menghadapi ancaman-ancaman terhadap ummat atau salah satu negara anggotanya.
Persekutuan menaruh perhatian dan menetapkan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan masalah pembelaan dan kerjasama menghadapi ancaman dari luar. Sedangkan masalah-masalah regional, sepenuhnya diserahkan kepada negara negara yang bersangkutan untuk diatur secara intern.
Masing-masing negara anggota berkewajiban menjaga eksistensinya. Mereka memiliki hak untuk bertindak dalam masalah-masalah khusus yang bersifat intern. Jika masalah itu secara langsung berkaitan dengan kepentingan seluruh ummat Islam atau berpengaruh besar terhadap posisi dan persatuan mereka, serta memacetkan terlaksananya prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan bersama dalam Persekutuan menjadi kewajiban dan tanggungjawab Persekutuan.
2 Majlis Eksekutif (semacam Dewan Keamanan/Security Council dalam PBB/UNO). Anggotanya terdiri sejumlah pimpinan yang tidak lebih dari sepuluh orang yang dipilih Kongres/Konperensi. Mengadakan pertemuan periodik sebulan sekali, dan setiap sa’at mengadakan pertemuan serupa jika diminta oleh negara anggotanya mencakup semua masalah yang menyangkut kepentingan bersama dunia Islam, serta menyampaikan persoalan-persoalan yang tidak bersifat mendesak kepada Kongres yang untuk selanjutnya diambillah keputusan-keputusan melalui konsensus dan voting, jika terjadi perbedaan pandangan.
# Dalam Majlis Eksekutif tidak dikenal apa yang disebut ‘hak veto’.
# Liputan masalah yang ditanganinya tidaklah hanya terbatas pada masalah perang dan upaya perdamaiannya, melainkan mencakup semua bentukj permasalahan yang ada.
# Majlis ini merupakan Dewan Pelaksana bagi kepentingan semua negara anggota.
# Majlis juga bertanggungjawab melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh Kongres melalui kerjasama dengan Sekretaris Jenderal Persekutuan.
3 Sekretariat atau Kepaniteraan (Secretary). Negara-Negara anggota Persekutuan memilih seorang Sekrearis Jenderal (Secreary-General) untuk mengepalai Sekretariat. Ia sebaiknya adalah seorang pemimpin ummat yang alim, menguasai persoalan-persoalan agama, berakhlak mulia, menguasai persoalan-persoalan hubungan berbagai bangsa secara internasional, sekaligus orang yang telah dikenal memiliki gairah kegamaan yang tinggi serta menaruh perhatian terhadap masa depan ummat Islam. Ia, semestinya haruslah orang yang berpengaruh dan memiliki wibawa besar di dunia internasional, serta mampu melaksanakan tugasnya demi kemashlahatan ummat Islam.
Sekretaris Jenderal Persekutuan dipilih oleh Persekutuan dari yang dipandang paling menonjol yang akan bertindak mewakili Persekutuan bila berhadapan dengan pihak luar. Ia memiliki hak memberi advis dan petunjuk, dan bekerjasama dengan Persekutuan untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang ditetapakan bersama seakan-akan ia merupakan wakil Islam dan ummatnya di mata bangsa-bangsa non-Muslim.
Persekutuan menunjuk Sekretaris Jenderal untuk menduduki jabatan itu untuk selama periode tertentu, tujuh atau sepluh tahun misalnya, setelah itu dipilih lagi pejabat baru untuk menggantikannya. Persekutuan memegang hak untuk mengganti pejabat ini kapan saja dipandang perlu, bila ada alasan untuk itu. Sekretaris Jenderal ini boleh merangkap sebagai Kepala Negara pada salah satu negara anggota, sepanjang persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan semisal adil, berakhlak mulia, cendekiawan, memiliki semangat besar untuk memajukan ummat, dan menaruh perhatian terhadap nasib dan masa depan Islam, dapat terpenuhi.
4 Dewan Politik. Berurusan dengan persoalan-persoalan politik. Sebagian tugasnya berkaitan dengan maslah-masalah politik.
5 Dewan Perundang-undangan atau judikatif. Anggotanya terdiri dari para ulama yang memiliki spesialisasi dalam masalah hukum dan sarajana-sarjana hukum internasional yang menaruh minat pada syari’at Islam, serta dikenal sebagai muslim-muslim yang ta’at. Dewan ini menjadi penasehat Persekutuan dalam persoalan yang berkenaan dengan undang-undang yang akan dikeluarkan dan mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Ia juga bertugas menyampaikan makalah-makalah dan saran-saran kepada Majlis Umum dan Majlis Eksekutif.
6 Dewan atau Biro Militer. Anggotanya terdiri dari pada komando militer yang berpengaruh luas. Ia terlibat dalam tugas pembelaan tanah air, peang, pengorganisasian dan penyediaan kekuatan bersenjata. Semua negara anggota wajib mentaati ketentuan yang ditetapkannya dengan semangat kerjasama yang tulus dan bahu membahu.
7 Dewan Pendidikan Sosial. Ia antara lain berurusan dengan masalah pengajaran, penyediaan sarana pendidikan, semisal buku-buku, dan perlengkapan-perlengkapannya, serta penyediaan informasi. Dewan ini melayani kebutuhan semua negara anggota, terutama bidang pendidikan yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip dan tujkuan Islam.
Dewan ini berkewajiban melindungi masyarakat Islam dalam bidang moral di seluruh wilyah Daulat Islamiyah. Juga berkewajiban mengeluarkan fatwa-fatwa syari’at Islam untuk melindungi mereka dari dekeadensi akibat mengikuti kebudayaan asing, serta propaganda musuh Islam yang menyebarkan kekacauan, kesesatan dan penyimpangan guna melemahkan kekuatan moral ummat Islam.
8 Dewan Dakwah. Bertugas menyebarkan dakwah Islam ke negara-negara non-Muslim.
Diharaakan OKI dapat berperan sebagai embriyo bagi terwujudnya Persekutuan Negara-Negara Muslim sebagai pelaku Khalifah (Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais : ‘Islam dan Khalifah’ 1985:250-277, “Khilafah Pada Masa Modern”, Prof Dr T M Hasbi ash-Shiddieqy : ‘Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam’, 1991:73).

2 Negara dalam Tatahukum Islam
# Pengertian imamah. Abu Hasan al-Mawardi berkata : Imamah itu ialah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti kenabian dalam urusan memelihara agama dan mengendalikan dunia. Ringkasnya : Imamah adalah pelaksana pengganti kenabian dalam tugasnya memelihara agama dan politik duniawi.
Pengertian ini mengandung tiga unsur : 1. Imamah itu adalah tidak lain dari mengganti kedudukan Nabi. 2. Objek imamah ialah menjaga agama. 3. Mengendalikan masyarakat.
Dengan pengertian ini terkandung bahwa tugas kepala anegara, ialah “memelihara dan melindungi agama, bahkan meluaskan dan mengembangkannya”. Masuk ke dalam pemeliharaan ini, keharusan kepala negara membuktikan dengan amal perbuatannya, bahwa dia adalah “pemelihara agama”, lagi memperhatikan urusan-urusannya.
Dalam pengertian ini juga terkandung bahwa imamah bukanlah hak seseorang, atau hak segolongan saja, atau merupakan hak istimewa bagi seseorang. Yang dikehendaki dari imamah itu ialah tertunainya tugas yang harus ditunaikan, yang telah dinashkan, bukan adanya seseorang, atau beberapa orang.
# Keharusan adanya imamah
1 Ijma’ul ummah. Ijmak para shahabat untuk memilih dan mengangkat khalaifah sesudah Rasulullah saw wafat.
2 Menolak bencana-bencana yang ditimbulkan oleh kacau balau keadaan. Tanpa pemimpin akan timbul kekacauan yang akan mengakibatkan bencana.
3 Melaksanakan tugas-tugas keagamaan. Pelaksanaan syari’at memerlukan negara. Al-Ghazali berkata dalam al-Iqtishad fil I’tiqad : Dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak terkecuali dengan adanya penguasa yang dita’ati. Oleh karenanya orang mengatakan : “Agama dan penguasa, dua saudara kembar”. Dan karenanya pula orang mengatakan : “Agama adalah sendi, sedang penguasa adalah pengawal”. Sesuatu yang tak ada sendi, akan hancur. Dan sesuatu yang tak ada pengawal akan sia-sia.
4 Mewujudkan keadilan yang sempurna, berdasar hukum Allah.
# Tujuan pembentukan imamah. Maksud yang umum dari tegaknya negara dalam Islam , ialah supaya pemerintahan itu menjadi suatu media yang dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tertentu.
Negara bekerja untuk mencapai dua tujuan utama :
1 menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.
2 menegakkan sistem berkenaan dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, menyebarkan kebaikan, dan kebajikan dan memerintahkan yang makruf, mencegah kemunkaran, memberikan kemudahan kepada rakyat untuk menyembah Allah, memungkinkan setiap rakyat untuk hidup dalam sistem Islam dan melaksanakan urusan-urusan berdasarkan undang-undang Islam, melindungi kepentingan rakyat dan masyarakat dengan sistem yang telah digariskan oleh Allah swt, menjamin kepentingan ummat di dunia dan di akhirat, menegakkan sistem kehidupan Islami dengan sempurna, memerintahkan segala yang makruf (meberkan kebaikan), mencegah kemunkaran (membasmi kejahatan dan kerusakan), menciptakan sistem keagamaan yang murni.
# Kehendak umum. Pemilihan Kepala Negara haruslah dengan mubaya’ah yang benar dan bebas, dan haruslah pemilihan itu mendapatkan persetujuan umum melalaui permusyawaratan. Persetujuan umum ialah yang dihasilkan oleh kehendak umum (volunte generale/publik opini) yang merdeka.
Ibnu Khaldun berkata : Adalah mereka apabila membai’atkan seseorang Amir dan mengikatkan perjanjian, mereka meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk menguatkan perjanjian. Hal itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena aitu dinamakanlah dia bai’at (akad, kontrak, ikrar, janji).
# Kewajiban umum :
1 menegakkan pemerintahan Islam seagai yang dikehendaki oleh agama.
2 mengadakan mahkamah (pengadilan) dan memperhatikan segala perbuatan-perbuatan penganiayaan yang terjadi di dalam masyarakat.
3 jihad, memerangi kezaliman, memelihara kemerdekaan, melepaskan manusia ari belenggu perbudakan.
4 menyuruh makruf dan mencegah munkar, mengawasi berjalan tidaknya undang-undang, membasmi segala jalan-jalan kejahatan, melindungi masyarakat dari segala tipu daya, menjalankan hak kontrol (kebeasan mengemukakan kritikan).
5 mengembangkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia (sain-teknologi-budaya).
6 bantu membantu dalam masyarakat (ta’awun), sehingga tidak ada yang tidak mendapat kebutuhannya : a. bantuan agar setiap orang mampu berdikari, b. bantuan agar setiap orang dapat mencari sarana hidup. Imam Ibnu Hazmin berkata : “Kewajiban para hartawan dalam negara Islam adalah menolong orang yang melarat. Negara bahkan boleh memaksa berbuat demikian, jika sekiranya Baitulmal atau zakat tidak mencukupi keperluan itu. Bantuan hendaklah berupa makanan pokok dan pakaian, serta tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan dan panas, dan gangguan lainnya”.
# Perlengkapan imamah : 1.Wazir (menteri), 2. Amir (Kepala Daerah), 3. Pimpinan tentara, Qadha (mahkamah dan kejaksaan agung), 4. Hakim daerah, pengutip pajak daerah, pengutip zakat daerah, 5. Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ahlul Ikhtiyar, Ahlus Syura, Majlis Syura).
Khalifah Umar ibnul Khaththab mengangkat ‘Abdullah ibnu ‘Utbah menjadi pegawai hisbah di kota Madinah (semacam polisi ekonomi atau peawai kotapraja) untuk melaksanakan tugas menyuruh makruf, menegahkan munkar.
Khalifah Umar ibul Khaththab juga menyusun dewan-dewan (jawatan-jawatan), mendirikan Baitulmal, menempa mata uang, membentuk tentara, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun hijrah, disamping mengadakan hisbah (pengawasan terhadapo pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata tertib dan susila, pengawasan terhadap kebersihan jalan dan sebagainya).
Khalifah Mu’awiyah mengadakan dinas pos, mendirikan kantor cap (percetakan mata uang). Khalifah Umar ibnul Azis memperbaiki dinas pos.
# Dasar-dasar pemerintahan Islam :
1 Kekuasaan perundang-undangan Ilahi, Ketaaaaaaauhidan, Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid).
2 Keadilan sosial yang merata antara manusia (‘adalah ijtima’iyah) : a. Persamaan antara kaum muslimin. Persamaan Hak (Kedudukan) di hadapan undang-undang. Persaudaraan dan Persatuan (ikhwah diniyah). C. Keadilan dan Kemakmuran. C. Keadilan bagi golongan yang bukan Muslim.
3 Pertanggungjawaban sosial bersama (takaful ijtima’I). Amr bil-ma’ruf nahyu ‘anil munkar, memberi nasehat (kritik dan kecaman yang benar serta jujur) kepada kepala neara dan pembesar-pembesar, mengeritik dan mengecam dengan cara-cara yang tepat dan dibenarkan, mengawas terlaksananya undang-undang, membasmi segala jalan-jalan kejahatan.
4 Permusyawaratan (Syura, Kedaulatan Rakyat).
5 Ketaatan dalam hal kebajikan.
6 Terlarang berusaha mencari kekuasaan untuk diri sendiri.
# Cara pengangkatan imamah :
1 Pemilihan umum yang dilakukan wakil-wakil rakyat, kemudian setelah itu seluruh rakyat ikut menyetujuinya (membai’atnya). Abu Bakar Shiddik dipilih dan diangkat oleh tokoh-tokoh sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’adiyah di Madinah. Bai’ah Abu Bakar mula-mulanya diangkat oleh lima orang yang terdiri dari : Umar ibn Khaththab, Abu Ubaidah, Usaid ibn Hudhair, Basyir ibn Sa’ad, dan Salim maula Abi Hudzaifah. Al-Ghazali mengemukakan : “Andaikan Abu Bakar hanya dibai’atkan oleh Umar saja, sedang orang lain menantang, tentulah pengangkatan itu tidak dipandang sah.
2 Pemilihan dilakukan oleh Kepala Negara yang akan diganti dengan mengajukan calon yang akan menggantikannya setelah menyelami pendapt rakyat. Khalaifah Abu Bakar mengajukan Umar bin Khaththab sebagai calon Khalfah. Hal ini diterima baik, dan kemudian oleh calon Khalifah. Hal ini diterima baik, dan kemudian dibai’at oleh kaum Muslimin. At-Tabrani berkata : Abu Bakar tidak meneryahkan imamah kepada Umar, terkeculai sesudah bermusyawarah dengan para shahabat. Mereka semua menyetujui Umar ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar. Sesudah cukup bermusyawarah barulah Abu Bakar mengemukakan pendapatnya kepada umum dan disambut oleh mereka dengan sam’na wa atha’na.
3 Pembentukan komisi (formatur, daftar calon) untuk dipilih salah seorang dari mereka untuk dibai’at oleh kaum Muslimin sebagai Khalifah. Pembentukaan komisi dilakukan oleh kepala negara yang akan diganti. Hasil kesepakatana disampaikan kepada rakyat untuk disahkan (dibai’at) Khalifah Umar bin Khaththab menyerahkan pencalonan Khalifah baru kepada ahlus sssyura (yang terdiri dari enam orang) supaya mengangkat salah seorang di antara mereka dengan persetujuan yang lima orang lagi untuk diajukan kepada kaum Muslimin agar dibai’at seagai Khalifah baru. Hal ini dibenarkan oleh para sahabat. Kelompok enam ini kemudian memilih Utsman bin Affan dan mengajukan kepada kaum muslimin, kemudian mereka membai’atnya.
# Ahlul Ikhtiyar. Ahlul ikhtiyar atau Ahlul halli wal Aqdi (Perwakilan) adalah sekumpulan orang-orang yang diserahkan kepadanya memilih Kepala Negara, yang melakukan akad (mengikat).
# Syarat-syarat ahlul ikhtiyar. Al-Mawardi menerangkan syarat-syarat yang \harus dipenuhi oleh ahlul ikhtiyar : 1. Dikenal sebagai orang yang adil. Keadilan yang memiliki segala syarat-syaratnya. 2. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan orang yang berhak dan memenuhi syarat menjadi kepala negara. 3. Mempunyai pikiran yang sempurna dan kecakapan. Mempunyai kebijaksanaan, akal yang kuat, kecerdikan, tajam penyelidikan, dan mempunyai pandangan jauh.
# Syarat-syarat imam : 1. Mempunyai pengalaman dan kemampuan berijtihad. Mempunyai kecerdasan dalam bidang politik, peperangan (militer), dan pemerintahan umum (manajemen). Mempunyai keadilan, ketakwaan dan wara’. 4. Mempunyai kebranian, rasa tanggungjawab, sabar dan tabah mempertahankan negara dan memerangi musuh. 5. Sehat jasmani, rohani dan sosial. 6. Seorang Muslim, merdeka, lelaki, baligh, berakal.
# Kewajiban-kewajiban pemimpin. Pada garis besarnya kewajiban pimpinan hanya dua, yaitu : 1. Menegakkan agama Islam. 2. Mengatur urusan agama dalam batas hukum agama. Al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkamul Sulthaniyah menyebutkan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh khalifah (kepala negara) sebagai beikut : 1. Menjaga ajaran-ajaran pokok agama dalam bentuk yang benar. 2. Melaksanakan hukum yang adil di antara ummat yang bersengketa atau berselisih. 3. Menjaga keamanan dalam negeri, supaya ummat dapat mengurus kehidupannya dengan aman. 4. Menerapkan hukum bagi yang melanggar hukum-hukum Allah. 5. Menjaga keamanan negara dari gangguan negara asing dengan mempersiapkan kekuatan, mengadakan hubungan luar negeri, dan juga menyatakan perang dan damai. 6. Jihad bagi yang menentang Islam. 7> Memungut zakat, sedekah, pajak, dan lain-lain, sebagaimana yang telah diwajibkan oleh ketentuan agama, dan menghukum atau memerangi bagi orang yang mengingkarinya. 8. Memberikan penghargaan dan jasa bagi yang berhak dari baitulmal (perendaharaan negara) dengan imbalan yang sederhana. 9. Melimpahkan dan mempercayakan tugas-tugas negara kepada orang-orang dan tokoh-tokoh yang loyal terhadap pemerintah. 10. Secara langsung mengamati keadaan ummat yang berhubungan dengan kepentingan dan pelaksanaan agama mereka.
# Amar bil Ma’ruf, Nahyu ‘anil Munkar. Pertanggungjawaban Kepala Negara di dalam Islam ialah : 1. Pertanggungjawaban di hadapan rakyat. 2. Pertanggungjawban di hadapan Tuhan. Kepala Negara menerima kekuasaan dengan melalui bai’at yang diberikan rakyat kepadanya. Rakyat memberikan kepada Kepala Negara hak memerintah dan mengendalikan kekuasaan. Kepala Negara tidak lain hanyalah wakil rakyat. Rakyat berhak meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Negara. Rakyat berhak pula memakzulkan Kepala Negara apabila diperoleh sebab-sebab untuk itu. Rakyat bertindak mengawasi tindak tanduk Kepala Negara, memberikan nasehat (teguran dan kecaman yang membangun). Tegasnya Rakyat mempunyai hak mengangkat dan memakzulkannya. Rakyat melakukan tindakan sosial kontrol, mengawasi pelaksanaan undang-undang, membasmi segala jalan-jalan kejahatan.
# Permusyawaratan. Sunnah amaliyah Rasulullah penuh dengan bukti-buktu yang menunjukkan bahwasanya Rasul selalu bermusyawarah dengan shahabat. Nabi bermusyawarah tentang tempat yang baik diduduki oleh tentara Islam dalam Perang Badar. Beliau bermusyawarah tentang tawanan-tawanan yang ditawan dalam pertempuran itu.
# Hal-hal yang dimusyawarahkan. Hal-hal yang dapat dimusyawarahkan oleh ummat meliputi beberapa bidang urusan negara, dan juga dalam bidang hukum ijtihadiyah yang tidak ada nash atau nash tidak jelas. Ringkasnya Kepala Negara harus bermusyawarah dalam masalah agama dan dunia dengan ummat melalui wakil-wakilnya (Prof Dr TM Hasbi Ash-Shiddieqy : “Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam”, 1991, Zaini Ahmad Noeh : “Bercermin Fiqih al-Mawardi”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 52-60)

Tinggalkan komentar

Filed under Islam, Politics

Jalur Menuju Daulah Islamiyah

Jalur menuju daulah Islamiyah
(Wacana Ideologi Daulah Islamiyah)

Mengacu pada Dr Yusuf ardawi (“AlHallul Islamy”, Pedoman Ideologi Islam, Gema Risalah, bandung, 1988), maka untuk menuju Daulah Islamiyah yang pernah diwacanakan ada beberapa jalur. Pertama, dengan dekrit pemerintah, pengemuman pemerintah. Kedua, dengan kekuatan militer, dengan kekuatan senjata. Ketiga, dengan pendidikan dan bimbingan (tarbiyah dan taklim). Keempat, dengan pengabdian masyarakat (aksi sosal, tabligh).

Hasan alBannan dengan Ikhwanul Musliminnya di Mesir, maududi dengan Jama’ah Islamiyahnya di Pakistan, Hasan Turabi di Sudan, dan lain-lain menempuh jalur politik, jalur parlemen dan jalur dakwah. Nabhani dengan Hizbut Tahrirnya juga menempuh jalur politik dan jalur dakwah. Sedangkan Abu Bakar Baasyir menempuh jalur dakwah dan jalur jihad. Berbeda dengan sema itu Kartosuwirjo sangat komit dengan Islam menempuh jalur perjuangan bersenjata dengan memproklamirkan berdirinya Negara karunia Allah, Negara Islam Indonesia (NII) pada 27 Agustus 1948.

Lain lagi dengan Prof Raijiah Garaudy (Roger Garaudy), mantan pakar strategi Marxis (anggota politburo Partai Komunis Perancis) dalam teori penegakan Islamnya mengemukakan, bahwa agar syari’at berguna untuk diterapkan di berbagai masarakat manusia, maka Islam harus menjadi milik golongan tertindas (kelas proletar ?) dan harus memberi ruh harapan dan semangat hidup bagi semua.

Upaya penegakan daulah Islamiyah kandas, terhalang, terhadang oleh Jaringan Trio Fir’aunisme-hamanisme-Qarunisme (Globalisasi/nternasionalisasi dalam sistim Politik, Militer, Hukum, Ekonomi, Bank, Asuransi, Industri, Sains, Teknologi, Informasi, Komunikasi). Semuanya dibawah kendali, dibawah control Amerika Serikat danpendukungnya dari ahudi (Yudaism) dan Nasrani (Christioanism). Semuanya direkayasa, dirancang, diciptakan, didominasi untuk kepentingan mereka dan pendukungnya.

(Asrir BKS1009060600 wrtten by sicumpaz@gmail.com)

Tinggalkan komentar

Filed under Tak Berkategori

Khilafah antara cita (idea) dan fakta

Khilafah antara cita (idea) dan fakta

Eujud Perjuangan Kaum Muslimin di neger-negeri Islam yang tidak terjadi perang (fisik) – menurut juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) M Ismail Yusanto – adalah berusaha keras menegakkan kembali institusi pelaksana syari’ah Islam jakni Khilafah Islamiyah.

Perjuangan menegakkan syari’at dan khilafah ini berlangsug melalui perang pemikiran, tanpa amenggunakan fisi.

Dakwah untuk penerapan syari’ah dan penegakkan khilafah harus bisa menggambarkan dengan gamlang sistem Islam secara utuh.

Pemahaman tak bisa berubah dengan pemaksaan (MEDIA UMAT, Edisi 59, 20 Mei – 2 Juni 2011, hal 7, “Perlawanan Tak Kenal Padam, oleh Mujianto) (Ide tak pernah mati. Persepsi tak pernah sama mutlak).

“Tegaknya khilafah adalah janji Allah swt dan RasulNya, serta merupakan keniscayaan faktual” (idem, hal 8) ? (Sementara pihak menyatakan bahwa AlQuran dan Sunnah tidak pernah berbicara tentang Negara Islam, idem, hal 19).

Penerapan syari’at adalah suatu hal. Dan penegakkan khilafah adalah suatu hal lain. Tak pernah ada kesemaan persepsi, pemahaman terhadap kedua hal tersebut. Ada yang setuju, mendukung, dan ada pula yang menolak, menantang. Selalu saja ada yang menolak, menantang formalisasy syari’at Islam, terutama datangnya dari pendukung sinkretisme (talbis), sekularisme, pluralisme, liberalisme, pancasilaisme. Bahkan pada tahun 40-an, Haji Agus Salim dalam PEDOMAN MASYARAKAT telah menolak, menantang penegakkan kembali Khilafah Islamiyah.

Haji Agus Salim dalam bulanan PEDOMAN MASYARAKAT, tahun 1940 menulis tentang kedudukan Khalifah di dalam Islam. Bagi Haji Agus Salim, berdasarkan data historis : Kekuasaan kekhalifahan itu berdasarkan kekuatan senjata. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tak disepakati oleh seluruh umat Islam. Tak ada hubungan yang tegas antarra agama dengan urusan khalifah (negara). Kekhalifahan itu sudah berakhir.

Unsur Kekhilafahan terdiri dari piranti lunak (software) berupa Quran dan Sunnah Rasulullah saw, serta piranti keras (hardware) berupa Khalifah dan aparat Kekhalifahan. Meskipun sama-sama berpegang merujuk, mengacu pada Quran dan Sunnah, namun tetap saja muncul perbedaan pemahaaaaaaaaaaaaaman, persepsi. Sengketa antara kelompok Ali dan kelompok Mu’awiyah, antara firqah-firqah, antara madzhab-madzhab, antara aliran-aliran mengindikasikan bahwa unsur piranti keras dalam kekhilafahan tak pernah solid. Dengan kata lain, bahwa khilafah dalam perjalanan sejarahnya tak pernah memberikan jaminan sebagai satu-satunya solusi, sistem terbaik. Namun begitu, dari sudut pandang cita (idea), khilafah tetap saja sebagai solusi, sistem yang paling ideal, meskipun dari sudut faktual (aplikasi, implementasi, penerapan) tetap saja memunculkan pertanyaan.

Seluruh kaum Muslim haruslah ditempatkan, diposisikan sebagai potensi, objek dakwah yang harus disadarkan (idem, hal 7). (Namun kondisi riil umat ini benar-benar bagaikan buih di lautan, tak punya daya apa-apa, jadi pecundang, bukan pemenang, jadi bulan-bulanan lawan dimana-mana).

Berbagai macam teori, gagasan, konsep telah diusung untuk mengembalikan kejayaan Khilafah yang diruntuhkan oleh konspirasi lawan pada 8 Maret 1924, namun impian hanya tinggal tetap jadi impian, dambaan.

Dalam bukunya “islam dan Khilafah” (1985:267-277), Dr Muhammad Dhyiya’ad-Din ar-Rais (Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Kairo), mengajukan gagasan lembaga Persekutuan Negara-Negara Muslim sebagai bentuk (model) kekhilafahan yang sesuai dengan masa kini.

Kekhilafahan pada masa modern ini haruslan memiliki bentuk yang dinamis dan seirma dengan kemajuan, baik politik maupun kosntitusional yang muncul di masa kini. Bentuk kekhilafahan modern tidak terpusat pada satu tangan, melainkan berada dalam suatu sistem persatuan, demokratis, bercorkmusyawarah dan persekutuan.

(BKS1105271400)

Tinggalkan komentar

Filed under Islam, Politics

Pendidikan kejujuran

Pendidikan Kejujuran

Seluruh mata pelajaran, bidang studi dari SD sampai PT, baik IPS maupun IPA seyogianya dimanfa’atkan untuk memberikan Pendidikan Kejujuran. Siswa, anak didik dididik, diasuh, dibina, digembleng agar senantiasa berperilaku jujur, benar, tulus, amanah, tidak nberperilaku curang, culas, khianat, dusta, bohong, manipulatif. Anak didik harus tahu tentang bahaya dari ketakjujuran, baik teoritis maupun praktis, baik dari data historis maupun fakta empiris. Bahaya dari ketakcermatan, ketaktelitian, ketakakuratan. Bahaya dari kebohongan, kedustaan. Bahaya dari manipulasi, rekayasa, penggelapan. Bahaya terhadap diri, keluarga, masyarakat. Bahaya fisik, bahaya psikis.

Anak didik harus tahu bahwa yang baik itu baik, dan yang buruk itu buruk. Kebaikan adalah apa saja yang dinyatakan baik oleh Allah swt dan RasulNya saw. Sedagkan yang buruk itu adalah apa saja yang dinyatakan buruk oleh Allah swt dan RasulNya saw. Standar baik-buruk itu adalah pandangan Islam (Simak MEDIA UMAT, Edisi 59, 20 Mei – 2 Juni 2011, hal 30, “Meretas Jalan Kebaikan”).

Anak didik harus ingat, sadar akan lima hal sebelum datangnya lima hal pula. Ingat, sadar akah hidup sebelum mati. Sehat sebelum sakit. Kaya sebelum miskin. Sempat sebelum sempit. Muda sebelum tua. Manfa’atkanlah yang lima itu secara optimal sebelum datang yang lima (idem, hal 3, “Ingatlah Lima Perkara”).

Ketakjujuran melahirkan kepura-puraan, penyimpangan, penyesatan, pengaburan, penguburan makna. Pendukung jihad, syar’iyah, khilafah dikategorikan sebagai aktivis radikalisme, ekstremisme, terorisme. Kitab tafsir Quran (terutama tafsir Sayyid Qutub), buku jihad (antara lain buku Abul A’la alMaududi) disebut sebagai barang bukti terorisme (idem, hal 3 “Bukan Memerangi Islam ?”).

“Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan. Dan kebaikan itu membawa ke sorga. Sedangkan dusta membawa kepada lancing. Dan lancing membawa ke neraka” (Simak HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Benar).

(BKS1105280900)

Tinggalkan komentar

Filed under Morals

Negara dan/nan Islam

Negara dan/nan Islam

Muhammadiyah merasa perlu (menjelaskan dengan) mencantumkan pengertian, bahwa Ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah keimanan kepada Allah swt (tauhid). Bertolak dari penjelasan tersebut, Muhammadiyah dituntut menjelaskan rincian “Pengertian Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam kehidpan berbangsa dan bernegara” baik konseptual maupun faktual.

Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsional, secara operasional dan secara konkrit, riil bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berPancasila dan UUD-45 menjadi masyrakat yang adil makmur sejahtera, bahagia, material dan spiritual yang diridhai Allah swt (KH Sahlan Rosidi : “Ke-Muhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi muhammadiyah”, 182, jilid I, hal 110).

Catatan : Menurut KH Sahlan Rosidi/Muhammadiyah, bahwa ajaran Islam dapat berserikat/bersekutu dengan ajaran Pancasla mengatur masyarakat Indonesia. Pertaanyaan : Apakah mungkin Islam dan yang bersifat man-made (sekularisme/almaniyah) dikompromikan/direkonsiliasikan?

Menurut almarhum Abul A’la al-Maududi bahwa suatu rekonsiliasi, suatu perpaduan dan pertemuan antara Islam dan sekularisme adalah mustahil. Bahwa suatu bagian dari Syar’iyah mustahil dapat ditempelkan (disubordinasikan) pada suatu ideologi atau isme tertentu. Masyarakat Islam tidak mungkin mengambil system kehidupan selain Syar’iyah. Masyarakat Islam yang menganut sistim lain, pasti bukan masyarakat Islam lagi (Dr HM Amien Rais : “Hubungan Antara Politik dan Dakwah”, dalam “Panduan Umum Musyawarah Wilayah Muhammadiyah/Aisyiyah, Dki Jakarta, 1995-2000, hal 49,53,54).

Asas adalah merupakan roh atau jiwa organisasi. Tanpa asas Islam bukan lagi merupakan organisasi Islam. “Beraqidah Islam dan berasas Pancasila” adalah rumusan aneh. Orang Islam yang hakiki akan beraqidah Islam dan juga berasas Islam. Aqidah dan asas tak bisa dipisah-pisahkan. Bagi ideology mujahid adalah aneh bila ada yang beraqidah Islam, tetapi berasas Pancasila (KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang lagi”, 1992, hal 32,40,41).

Dr HM Amien Rais bersama almarhum Mr Mohammad Roem mengingatkan bawa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dala negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 (“Panduan Umum”, hal 56).

Catatab : Sikap ini apakah brdasarkan kaidah shul “Keadaan darurat membolehkan yang dilarang” dan “menghindari keburukan didahulukan daripada meraih kebaikan” ?

Struktur pemerintahan yang berdasarkan UUD-1945 dan Pancasla sudah sesuai dengan prinsip politik Islam, dan sudah merupakan bentuk final negara Indonesia (KIBLAT, No.18/XXX, 5-20 Februari 1983; MEDIA DAKWAH, Agustus 1993, hal 45).

Ketika mengomentari Laporan (TEMPO, 14 Juni 1986) Utamanya Syu’bah Asa, Abu Afzalurrahman mencatatkan kesimpulan “Asas Tunggal itu sah, otomatis tidak perlu Negara Islam, serta-merta Negara RI berdasarkan Pancasila ini final” (ALMUSLIMUN 198, September 1986).

M Syafi’I Anwar berpendapat, bahwa ketika Pancasila sudah ditetapkan menjadi satu-satu asas (Asas unggal), maka gagasan “Negara Islam” telah tertutup. Menurut Dawam Rahardjo, upaaaaya mengembangkan Islam, justru lebih memperoleh nuansa dinamis di bawah bendera Pancasila (REPUBLIKA, 30 Juni 1993, hal 6, “Radikalisme Islam”, Realitas Politik dan Dimensi Kebangsaan”).

Hasbullah Bakry mengemukakan bahwa”tidak ada alas an bagi umat Islam Indonesia untuk menolak Pancasila sebagai ASAS YANG PALING DISUKAI (asas satu-satunya), karena “PANCASILA mengandung ajakan dan ajaraan yang tak diragukan dapat dianggap juga sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”. “Menerima Pancasila berarti secara tidak langsung mendekatkan yang belum islam pada Islam, dan makin menguatkan ajaran Islam bagi yang sudah Islam” (PELITA, Oktober 1983).

Catatan : Rupanya menurut Hasbullah Bakry selain ajaran islam ada lagi ajaran lain yang juga tak diragukan.

Harun Nasuton, Dahlan Ranuwihardjo, Syafi’I Ma’arif dalam makalah berdamanya mengemukakan, bahwa “Republik Indonesia yang berdasarkan Pacasla dan Undang-Undang Dasar 1945 ini adalah sejalan dengan ajaran Islam”. “Bahwa di Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 ini, ajaran Islam jauh lebih banyak dilaksanakan dari pada di dunia Islam lainnya. Bakan hidup keagamaan umat Islam di Indonesia tampak lebih bersemarak dari pada hidup keagamaan umat di bagian tertentu dunia Islam. Yang penting bukanlah nama, tetapi adalah dlaksanakannnya ajaran Islam dalam masyarakat (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1985).

Catatan : Apakah ajaran Islam dapat dilaksanakan dengan semarak dalam masyarakat yang bukan berdasarkan Islam ?

Dalam bukunya “Islam dan Tatanegara”, Munawir Syadzali berpesan “kita bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, patut bersyukur kepada Allah swt bahwa para pendahulu kita, para pendiri Republik Indonesia ini sebagai sasaran akhir dari aspiasi politik kita, dan bkan sekedar sasaran antara atau batu loncatan kea rah sasaran yang lain”. Meskipun telah membahas dengan analisa yang cukup padat tentang negara Islam sejak zaman Nabi sampai kini, akan tetapi Munawir Syadzali sama sekali tidak tertarik kepada negara Islam. Yang sangat menggelitik hati Munawir Syadzali adalah Negara Pancasila Indonesia. Demikian ungkap KH Firdaus AN (ALMUSLIMUN, 258, September 1991).

Ketua Laboratorium IKIP Malang (179) menyebutkan bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara itu digali dari Pandangan Hidup bangsa Indonesia. Dar hasil penggalian Pandangan Hidup bangsa Indonesia itu, antara lan adalah bahwa Pancasila itu sebagai Sumber dari segala Sumber Hukum (Sumber Tertb Hukum) dari Negara Republik Indnesia (Prof Dardji Darmodihardjo SH : “Orinetasi Singkat Pancasila”, 1979, hal 11,18).

Menurut almarhum Abul A’la alMaududi, bahwa kehendak Allah yang harus dijadikan sumber hukum alam suatu masyarakat Islam, bukanlah kehendak manusia”. hukum-hukum berdasarkan wahyu pada hakikatnya jauh lebih unggul, lebeh superior dari pada hukum-hukum buatan manusia (man-made), ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 48,53).

Dalam Syari’at terdapat bagian-bagian yang tidak dapat diubah dan bersifat permanent, dan ada pula bagian-bagian yang bersifat fleksibel, agar dapat memenuhi tuntutuan perubahan zaman yang dinamis. Masalah-masalah yuridis, politik, ekonomi, administrasi, militer dan lain-lain adalah masalah furu’ (cabang yang dapat dipecahkan berdasrkan akal dengan berpedoman pada etik, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang ditegakan oleh Islam. Sementara itu diingatkan bahwa al-Quran sangat fleksibel, dan memiliki kemampuan adaptif bagi pemecah masalah-masalah kehidupan maanusia, tanpa bergeser dari prinsip-prinsip abadi yang diteapkan Allah swt (“Panduan Umum”, hal 48,51,54).

Pertanyaan : Kalau al-Quran hanya berfungsi sebatas sumber hukum, maka tak mungkin ada hukum yang bersifatpermanen, semuanya bersifat situasional. Dengan demikian al-Quran ditafsirkan secara situsional.

Kerajaan Inggeris lebih Islami daari pada Kerajaan Saudi Arabia. Sebab Kerajaan Inggeris memberikan kedaultan kepada rakyat an penguasa dipilih oleh rakyat secara periodic. Sedangkan Kerajaan Saudi Arabia, raja dan para pangeran adalah pemilik-pemilik negara secara turun temurun dan tidak perlu bertanggungjawab kepada rakyat. Secara tersirat diintrodusir bahwa di negara petrodollar “Keadilan” dalam tanpad kutip (“Panduan Umum”, hal 48,52).

Catatan : Dalam pandangan Amien Rais, Islam atau tidaknya suatu pemerintahan terletak pada ada tidaknya kedaulatan dan pertnggungjawaban kepada rakyat, serta ada tidaknya pemeilihan pemegang kekuasaan. Pertanyaan : Dengan criteria demikian, kerajaan Nabi Sulaiman itu apakah dapat dikategorikan Islami ataukah bukan ?

Suatu pemerintahan yang didirikan oleh masyrakat Muslim haruslah mengindahkan dasar-dasar yangtelah diberkan oleh Islam, ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 54).

Catatan : Jadi yang harus diindahkan masyyarakat Muslim adalah dasar-dasar yang diberikan oleh Islam, dan bukan hasil/buah/karya renungan manusia (man-made),

Kadangkala Islam malah disubordinasikan pada suatu ideologi buatan manusia (man-made). Pandangan ini merupakan pandangan sekularistis, yang tdak dapat menerima Islam secara utuh (kaffah), ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 53).

Pertanyaan : Bila aspirasi hukum Islam sepenunya ditapung dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945, maka apakah yang disubordinasikan pada ideologi Pancails ?

Negara dan masyarakat harus dibangun atas dasar Islam. Negara ditegakkan di atas dasar keadilan, musyawarah dan persaudaraan/ukhuwah, ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 51,52).

Masalahnya : Keadilan menurut siapa ? Apakah menurut rakyat, penguasa ataukah menurut Khaliq ? Apakah yang jadi acuannya ? Apakah ideologi lokal/nasional ataaukah ideologi internasional/universal ?

Adil. Adil yang bagaimana ? tandas Hartono (waktu itu Kepala Staf TNI-AD), sambl menambahkan, untuk mendapatkan penilaian yang obyektif, kita harus memasukkan kondisi yang ada (KOMPAS, Rabu, 8 januari 1997, hal 14).

Apa itu adil ? Sebagai pernyataan verbal, asas keadilan, rasa keadilan mash tetap diberlakukan, namun diraskan semakin senjang dari kenyataan. demikian disimak dari “Tajuk Rencana” KOMPAS, Kamis, 16 Januari 1997, hal4.

Apa criteria dari adil itu ? Kepada siapa seharusnya keadilan itu diminta yang dapat diterima semua pihak ? Keadilan itu mutlak kepunyaan Tuhan. Dia yang berhak menghidupkan. Dan Dia pula yang berhak mematikan. Seandainya manusia yang memegang keadilan pastilah di jadi pembunuh. Jangan cari keadilan. Di dunia tak ada keadilan. Yang harus dicari dalam hidup adalah kebenaran, bukan keadilan. Dengan kebenaran pula mencari diri. Berbahagialah yang sudah mendapat hakikat kebenaran. Setelah peristiwa kepergian, kematian, Roh Kebenaran datang membawa kebenaran, menerangkan perihal dosa, keadilan, hukum (Yohannes 16:8-12).

Kepentingan umum tidak ditentukan oleh kemauan penguasa, juga tidak ditentukan oleh opini masyarakat, melainkan telah digariskan pokok-pokoknya oleh Syari’ah, tegas Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 54).

Catatan : Demikian pula, keTuhanan, kemanusiaan, persaudaraan/persamaan, kerakyatan/permusyawaratan, keadilan ditentukan oleh Syar’iyah, dan bukan oleh opini masyarakat.

Harun Nasution, Dahlan Ranuwihardjo, Syafi’I Ma’arif berupaya meyakinkan bahwa “tidak ada ayat-ayat dalam al-Quran yang dengan tegas membicarakan soal pembentukan negara dan yang dengan tegas pula menjelaskan sistim pemerintahan yang harus berlaku dalam Islam”. Untuk sampai ke sini diyakinkan lebih dahulu, bahwa “al-Quran tidaklah mengandung segala-galanya”. Analisa politiknya dikaitkan pada Ali Abdul Raziq, kelompok/golongan Najadah dari Khawarij, dan Hatim bin al-‘Ashim dari Mu’tazilah (MEDIA PEMBINAAAN, N0.5-9, 1986).

Ali Abdul Raziq menyangkal bahwa khilafah, pengadilan, jabatan-jabatan kehakiman itu berasal dari Islam. Semuanya hanyalah urusan duniawi semata (temporal), yang tak ada kaitannya dengan slam sedikitpun. Tak ada pokok-pokok Islam yang mengatur khilafah. Khilafaha hanyalah masalah kebiasaan (konvensi/consensus). Tak ada kaitan ideologi dengan Islam. Demikian pandangan Ali Abdul Raziq (“Pertarungan Antara Alam Pikiran Islam Dengan Alam Pikiran Baraat”).

Dalam sebuah kesempatan, sya – kata Amien Rais – pernah menyatakan bahwa di dalam al-Quran dan Sunnah tidak ada perintah yang menyatakan “Dirikanlah Negara Islam”. tidak ada perintah dalam al-Quran dan Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah). Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan Negarra Islam, maka al-Quran dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan, sistim perwakilan rakyat, hubungan antara badan-badan legislative, eksekutif dan yudikatif, sistim pemilihan umum dan detil-detil lain yang terinci. Pernyataan tersebut – papar Amien Rais – segera saya ikuti dengan pernyataan berikutnya, antara lain bahwa Islam – sebagai agama wahyu – memberikan etik yang terlalu jelas bagi pengelolaan seluruh kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara dan berpemerintahan (“Panduan Umum”, hal 49,50). (Bandingkan dengan Abdul Qadir Audah : “Islam di antara kebodohan Ummat dan kelemahan Ulama”, 1985:49-61. Tak benar bahwa “Islam tidak ada hubungann antara hukum dan negara”).

Dalam tulisannya “Pemimpin Islam Belum Siap Mengisi Kebangkitan Islam ?”, menurut Abdul manna Salam “suara-suara sumbang justru datang dari kaum intelektual Muslim sendiri. Misalnya sebagaimana dikatakan oleh Dr Amien Rais, bahwa tidak ada negara Islam dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dan pendapat inipun mendapat dukungan dari bapak Mr Muhammad Roem (KIBLAT, No,10, Th.XXXI, 5-20 Oktober 1983, hal 23).

Revolusi Iran 1975 misalnya, merupakan contoh yang paling spektakular dari Dunia Islam dalam berusaha membebaskan diri dari kungkungan dan dominasi Amerika Serikat sebagai eksponen bBrat yang paling utama, ungkap Amien Raais (“Panduan Umum”, hal 47).

Dr Amien Rais, penyanjung Syi’ah Iran mengatakan bahwa para pejuang Mujahidin Afghanistan itu tidak memiliki persepsi yang sama mengenai bagaimana membangun Afghanistan di masa depan. Pernyataan bernada dengki semacam ini banyak dilontarkan oleh kelompok yang selalu menampilkan segi-segi negatif dari keberhasilan atau kemenangan Muslimin di negeri-negeri Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya, bagi mereka Iran yang Syi’ah sama sekali tidak bercacat (ALMUSLIMUN, No.267, Juni 1992, hal 9, “Tadzkirah”).

Pada tahun 1912-1926 Muhammadiyah tidak pernah menetapkan sikap resmi terhadap keterilbatan para anggotanya dalam SI/PSII, Budi Utomo dan lain-lain. Pada tahun 1927-1937 Muhammadiyah tidak menentukan sikap resmi terhadap anggota yang melibatkan diri atau menjadi anggota partai politik.Pada tahun 1938-1942 Muhammadiyah tidak pernah menentukan sikap resmi terhadap eksistensi Partai Islam Indonesia yang didirikan tahun 1938 oleh para pemuka JIB dan Muhamamdiyah sendiri. Pada tahun 1942-1945 Muhammadiyah tetap tidak merupakan bagian dari Masyumi yang semua bernama MIAI yang didirikan oleh Muhammadiyah sendiri bersama-sama dengan organisasi Islam lainnya (pada tahun 1937). Pada tahun 1966-1968 muhammadiyah bersama-sama dengan ormas-ormas Islam lainnya membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). partai ini akanmerupakan tempat untuk menyalurkan aspiasi politik anggota-anggota Muhamamdiyah. Namun Muhammadiyah tetap memiliki independensinya (“KeMuhammadiyahan”, hal 106-108).

Catatan : Tampaknya Muhamadiyah dengan sadar dan sengaja membiarkan tumbuh berkembangnya perbedaan persepsi dalam politik para tokohnya, yang sekalipun membuat bingung para anggotanya. Terakhir terlihat pada pemilu 1997 yang secara transparan ada yang memihak Golkar dan ada pula yang memihak PPP. hanya tak terlihat apa ada yang memihak PDI.

Saya pertan bertanya – ungkap Amien Rais – kepada seorang politikus-kiai, ataau kiai-politikus, tentang kepindahannya dari satu parpol ke parpol lainnya. Saya bertanya, apakah langkah beliau itu tidak membingungkan pengikutnya (“Panduan Umum”, hal 40).

Catatan : Pertanyaan senada bisa dihadapkan kepada Muhammadiyah : Apakah kebijaksanaan Muhammadiyah yang tidak berupaya menyamakan persepsi politik tokohnya, tidak akan membingugkan anggotanya ?

Kata Negara Islam di sebagian dunia Muslim merupakan sesuatu yang konroversial. Kehidupan politik yang Islami tidak memberikan tepat bagi seklarisasi. Islam menolak seklarisasi, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Manusia seklaris menggunakan sistim berpikir dan sistim sosial yang sepenuhnya bersifat man-made dan bersandar pada etik situsional. dalam pandang sekularistis, Islam hanya subordinasi dari ideologis buatan manusia (man-made). Demikian papar Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 42,43,47,49,53)

Pandangan sekularistis memunculkan pendapat semisal bahwa Islam tidak punya konsep ketatanegaraan, Islam tidak punya preskripsi-preskripsi dasar tentang pengelolan ekonomi, Islam hanyalah agama yang memberikan tuntunan moral saja, hukum-hukum Islam yang bersusmber padaal-Quran perlu direvisi, supaya sesuai dengan konteks masyarakat modern dan sebagainya, papar Amien Raais (“Pandua Umum”, hal 43).

Pandangan tersebut beraar dari bawa tidak ada nash yang tegas yang mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pertanyaan : Pandangan yang menyatakan bahwa di dalam al-Quran dan Sunnah tidak ada perintah untuk mendirikan Negara Islam, dan yang menyatakan bahwa al-Quran hanya sebagai sumber hukum, yang hukum-hukumnya dapat direvisi sesuai dengan konteks masyarakat, apakah tidak termasuk pandangan sekularistis ?

Istilah “Negara Islam” bisa ditafsirkan secara sangat beragam, jelas Yusril Ihza Mahendra. stilah itu dipakai secara amat sangat berbeda oleh Partai Masjumi dan oleh Jama’at Islami (Pakistan). Ketika gagasan itu mau dialihkan menjadi ideologi politik dan ingin diterapkan dalam realitas politik, perbedaan itu menjadi jauh lebih besar lagi. Khusus dalam konteks Indonesia pada forum penyusunan UUD-45 terjadi pengkubuan yang tajam. Ada kubu yang menghendaki negara Islam, seperti dengan jelas disuarakan oleh Ki Bagus Hadikusumo. Kubu lain seperti yang diwakili oleh Soepomo, tidak ingin negara berdasarkan Islam, tapi dia juga tak mau negara berdasarkan sekularisme. Akhirnya sampai pada gagasan negara integralistik (perpaduan, persekutuan, perserikatan Islam dengan sekularisme ?) (REPUBLIKA, Senin, 3 Oktober 1994, hal 8, Suplemen TEKAD/GALERI).

Islam jangan dipenggal-penggal (menerima sebagian ajaran Islam dan menolak sebagian lain). Terimalah Islam itu secara utuh (Kaffah, totalitas) atau tinggalkan/tanggalkan sama sekali. Ajaran Islam mencakup aspek/dimensi politik, hankam, sosial, budaya, ekonomi, hukum, moral, ideologi, iptek. Jangan cari-cari teori politik dalam al-Quran. Al-Quran bukanlah buku teori politik tentang tindak aplikasi politik.

Politik adalah merupakan salah satu aspek saja dari kehidupan manusia atau masyarakat, ungkap KH Sahlan Rosidi (“KeMuhammadiyahan”, hal 105).

Politik pada hakekatnya merupakan bagian (inheret ?) dakwah, ungkap Amen Rais (“Panduan Umum”, hal 41).

Dakwah Islam – menurut Amien Rais – adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang Islami. Moralitas dan etika kegiatan dakwah dalam bidang apapun bersumber pada tauhid.

Seluruh dimensi kehidupan Muslim harus bertumpu pada tauhid. Tauhid harus menjiwai dan mewarnai seluruh bidang dan kegiatan hidup kaum Muslimin. Tak satu punajaran Islam, baik prinsipnya maupun prakteknya yang terlepas daari dimnsi sosial. Seluruh kegiatan Muslim berpangkal pada ikrar bahwa salat, ibadat, hidup dan mati diabdikan hanya kepada Allah Tuhan Alam Semesta (QS 6:162). Seluruh kegiatan dalam berbagai dimensi kehidupan diabdikan kepada Allah swt. Duna dimanfa’atkan sebagai sarana untuk akhirat.

Dalam berbagai kesempatan dalam tulisannya, aAbul A’la alMaududi pernah mengemkakan pengertian Tauhid dalam Politik. Muhammadiyah merasa perlu (menjelaskan dengan )mencantumkan pengertian, bahwa kTuhanan Yang maha Esa adalah keimanan kepada Allah swt (Tauhid). Tugas dakwah haruslah menghadirkan nilai-nilai agama ke tengah kehidupan politik, ungkap Amien Rais (Bulletin Jum’at USWATUN HASANAH, No.015/Th.I, Jum’at ke-IV, Jumadil Akhir/Januari 1989).

Dari ayat QS Yusuf 12:42-43,47,50 dipahami bahwa Nabi Yusuf menggunakan sebutqan “Rabb” terhadap “Malik” (raja Mesir). Dari pemahaman ini, maka pernyataan Fir’aun “Akulah rabbmu tertinggi” dalam ayat QS Nazi’aat 79:24, berarti “Akulah penguasatertinggi”. Demikian juga yang terdapat dalam QS Dukhan 44:31. Maka yang dimaksudkan oleh Fir’aun dengan pernyataannya itu – menurut Maududi – adalah bahwa ia adalah penguasa ata pemimpin tertinggi di Mesir. Pernyataan Fir’aun itu tampak jelas dalam ayat QS Zukhruf 43:51 yang maksudnya “Whai bangsa Mesir, apakah negeri ini bukan milikku di mana sungai-sungai mengalir di bawah kekuasaanku ?”. Nabi Musa diutus Allah kepada Fir’aun dan kaumnya agar menyadari bahwa yang berdaulat, yang berkuasa tertinggi itu hanyalah Allah swt, bukan yang lain, agar tidak membangkang terhadap perintah Allah, agar tidak merasa tertinggi, seperti termuat dalam ayat QS Dukhan 44:19. (Abul A’la alMuadudi : “Bagaimana Memahami Quran”, 1981, hal 65,67).

Catatan : Dari tugas Nabi Musa dan Nabi yang lain kepada kaumnya, dapat dipahami bahwa dakwah itu mengajak gar menyadari sepenuhnya akan kedaulatan, kekuasaan tertinggi itu hanyalah milik Allah swt semata.

Alhamdulillah Amien Raais/Muhammadiyah telah merintis mendakwahkan-menjelaskan secara sistimatis model masyarakat Islam (masyarakat adil makmur yang dridhai llah swt, masyarakat yang dikendalikan-diatur oleh ajran Allah swt). Amien Rais berupaya menangkis serangan musuh Islam yang mengkritik hukum Islam, kedudukan wanita dalam Islam. Di awal dan di akhir tangkisannya itu, Amien Rais menyatakan “Kalau yang dimaksud dengan konsep Negara Islam hanya-Cuma berkisar di seputar masalah tersebut (maksudnya hudud dan hijab), penulis (Amien Rais) sudah lama murtad-keluar dari Islam” (“Panduan Umum”, hal 47,49).

Catatan : Apa perlunya pernyataan tersebut ? Apakah tidak lebih tepat menyatakan “Meskipun kalau yang dimaksud dengan konsep Negara Islam hanya-Cuma berkisar seputar masalah tersebut (hudud dan hijab), penulis tak akan pernah murtad-keluar dari Islam”. Terasa aneh membela hudud dan hijab, tapi disertai pernyataan yang kontradiktif.

Bidang politik harus diterjuni secara professional, dan tidak selayaknya dimasuki secara amatiran. pilitik memerlukan pengetahuan dan keahlian sendiri. masalah-masalah politik tidak dapat digarap secara sambil lalu dan tanpa pengetahuan yang cukup, papar Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 45).

Catatan : Apakah karena merasa bukan ahlinya, maka Muhammadiyah menghindari kegiatan politik praktis sebagai arena, sarana, alat dakwah ? Kenapa Muhammadiyah tidak serius menyiapkan kader politisi professional yang memiliki wawasan, keahlian serta pengetahuan politik yang cukup, yang menguasai persoalan politik serta katannya dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya, psikologi dan lain-lain, yang siap memegang jabatan-jabatan politik seperti sebagai anggota paarlemen, pejabat eksekutif dan lainnya.

Islam sebagai agama wahyu, bagi setiap Muslim menjadi kerangka acuan paripurna untuk seluruh kehidupannya. Kedua sumber Islam (al-Quran dan Sunnah) memberikan skema kehidupan yang sangat jelas. Skema atau kode kehidupan yang diberikan Islam untuk mengatur kehidupan itu dalam Syar’iyah.

Syar’iyah adalah sema kehidpan yang lengkap dan suatu tata sosial yang serba mencakup. Dalam Syar’iyah terapat bagian-bagian yang tidak dapat diubah dan bersifat permanent, dan ada pula bagian-bagian yang bersifat fleksibel, agar dapat memenuhi tuntutan perubahan zaman yang dinamis. Masalah-masalah yuridis, politik, ekonomi, administrasi, militer dan lain-lain adalah masalah-masalah furu’ (cabang) yang dapat dipecahkan berdasarkan akal dengan berpedoman pada etik, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang telah ditegaskan oleh Islam.

Syar’iyah tidak berbicara mendetil mengenai aspek-aspek kelembagaan, teknik dan prosedur pengelolaan suatu negara. Tapi Islam memberikan etika dasar nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditegakkan, prinsip-prinsip umum dan referensi baku. Seluruh bidang dan kegiatan hidup kaum Muslimin harus bertumpupada tauhid. Ada nilai-nilai atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintahan (negara), seperti syura, keadilan, kebebasan/kemerdekaan, persamaan dan pertanggungjawaban di hadapan Rakyat. ntuk melaksanakan penerapan hukum (Syar’iyah) diperlukan kekuatan, kekuasaan politik yang disebut dengan negara.Negaraberfungsi sebagai penjaga Syar’iyah agar tidak mengalai penyelewengan. Demikian papar Amie Eais (“Panduan Umum”, hal 49-56).

Meminjam bahasa Firdaus AN, meskipun telah bersusah payah meyakinkan bahwa seluruh bidang kegiatan hidup manusia merupakan lahan, arena, sarana, alat dakwah, dan bahwa hukum-hukum yang berdasarkan wahyu itu jauh lebih unggul, lebih superior dari pada hukum-hukum buatan manusia (man-made) mana pun (“Panduan Umum, hal 44,48), namun Amien Rais tak tertarik mendakwahkan untk menjadikan ajaran wahyu itu (Islam) sebagai dasar hidup berbangsa, bernegara dan berpemerintahan secara murni, bersih dari dominasi ideologi buatan manusia.

Dalam wilayah, daulah, negara yang berpenduduk Muslim, maka konsekwensi logisnya yang layak diberlakukan adalah Hukum Islam (Simak antara lain KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, Pedomaan Ilmu Jaya, 1992, hal 32-33. Sayangnya KH Firdaus AN tak memiliki kemampuan (kepemimpinan, leadership) untuk mewujudkan, merealisasikan idenya agar “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Tak Berulang lagi”).

Dalam pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata lain telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

Rakyat Indonesia sangat mendambakan, mengharapkan pemerintahan yang memiliki Sistim pencekalan pengangguran, Sistim pencekalan kemiskinan, Sistim pencekalan pornografi, Sistim pencekalan kezhaliman, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang diamanatkan oleh Piagam Jakarta, yang kemudian dipungut sebagai Pembukaan UUD-1945.

Selama Pancasila dan UUD-45 menjadi nomor satu dalam negara RI; Islam, AlQur^an dan AsSunnah jadi nomor dua, itu berarti semangat jihad kaum Muslimin belumlah optimal. Dan itu adalah hal yang cukup memalukan dalam suatu negara yang penduduknya hampir 90% memeluk agama Islam. Itu satu bukti bahwa iman dan kesadaraan beragama terlalu lemah dan melempem (KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Yang Tak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi”, Pustaka AlKautsar, Jakarta, 1999:190).

Yang ideal, di Indonesia cukup memiliki dua buah partai politik, Yaitu Partai Islam dan yang satu lagi Partai Pancasila. Di negara-negara besar yang matang demokrasinya cuma ada dua partai politik. Dengan itu rakyat mudah menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan. Bagi yang tidak setuju ideologi Islam silakan masuk partai Pancasila, dan yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam (idem, hal 186). Dengan demikian bisa pula diatasi gerakan jihad yang dicap sebagai teroris. Semua yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslim diberikan kesempatan berjuang secara demokratis (musyawarah mufakat) dalam sidang DPR/MPR, seperti yang pernah ditawarkan oleh Soekarno pada sidang BPUUPKI pada 1 Juni 1945 yang dikenal dengan hari Lahirnya Pancasila.

(BKS9707171400)

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Muslim lawan Muslim (Persepsi antar Muslim)

Muslim versus Muslim (Silang Pandang Persepsi Sesama Muslim)

Pada hakekatnya Islam memberikan kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendapat secara luas, karena kebenaran itu sangat jelas, sangat nyata, sangat gamblang (QS 2:256). Terserah, apakah akan menerima kebenaran ataukah akan menolaknya (QS 18:29).

Dalam bingkai, kerangka kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendapat ini, Islam menyeru umatnya agar saling nasehat-menasehati, saling ingat-mengingatkan, saling koreksi –mengoreksi, saling krtik-mengkritik (QS 103:3). Tapi semuaaaanya dalam batas-batas yang benar. Tak sampai pada membicarakan, mempersoalkan tentang Allah. Tak sampai pada amerusak persatuan, menimbulkan persengketaaan, pertengkaran, perselisihan, permusuhan (QS 3:103).

Dalam menyampaikan tausiyah, nasehat, korreksi, kritik pun harus memperhatikan kondisi, keadaan orang yang dinasehati, yang dikoreksi, dikritisi. “Berbicaralah kepada manusia menurut kadar kecerdasan mereka masing-masing”.

Semangat saling nasehat-menasehati, saling ingat-mengingatkan, salingkoreksi-mengkoreksi, saling kritik-mengkritik di kalangan umat Islam melahirkan berbagai pandangan, pendapat, pikiran, paham, aliran. Ada paham skolatisme Ibnu Hazm, Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah. Ada paham Rasionalisme AlFarabi, Ibu Sina, Ibnu Rusyd. Ada paham Tradisionalisme Muhammad Iqbal, Hasan Albanna, Badiuzza Said Nursi, Sayyid Qutub, Abul A’la alMaududi. Ada paham Modernisme Thaha Husain. Ada paham Nasionalisme Musthafa Kemal.

Sepajang masa selalu terjadi pergolakan antara Liberalis dengan Literalis, antara Kontekstualis dengan Tekstualis, antara Deformalis dengan Formalis, antara Aqliyin dengan Naqliyin, antara Rasionalis dengan Tradisionalis.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid : Orang-orang yang menganggap orang-orang Kristen sebagai “warisan kolonial” yang harus dicurigai dan harus dilawan adalah orang-orang yang tingkat intelektual Islamnya masih “dangkal”. Dengan demikian dalam pandangan Nurcholish Madjid : para pahlawan bangsa penantang kolonial adalah ulama yang tingkat edukasinya rendah, yang kemampuan teknisinya minim. Juga dalam pandangan Nurcholish Madjid : Islam mempunyai sikap yang ambivalen terhadap Kristen. Islam mendukung dan memuji ajaran tentang Kasih dalam Kristen, namun Islam mengikuti pluralisme agama-agama sebagai kelanjutan dari agama-agama sebelumnya yang dianggap sama sebagai agama (SUARA PEMBARUAN, Jakarta, Kemis, 17 September 1992, hal X, kol 1-2).

Nurcholish melihat kegagalan tokoh Islam mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar negara dalam siding Konstituante, 1956 lebih disebabkan karena paraaa tokoh-tokoh Islam “kurang memahami antroplogi Indonesia” (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993).

Dalam pandangan dan pemikiran Dr Taufiq Abdullah, peranan umat slam dalam peristiwa-peristiwa intens begitu dominan. tetapi kemudian, umat slam (Kelompok Solidaritas Islam) selalu tersingkir dari percaturan kekuasaan, Dan ironisnya keadaan ini senantiasa berulang. Kegagalan ini banyak disebabkan oleh lemahnya Kelompok Solidaritas Islam terhadap kesadaran sosiologis anthropologis, gagal memahami bahwa bangsa Indonesia bersfat pluralistis (majemuk) (RISALAH, Bandung, No.10, Th.XXII, Januari 1985, hal 18,19, Wawancara dengan Dr Taufik Abdullah oleh Emha Zainal Emteqiu). Apakah memang ummat Islam Indonesia sedemikian dungu sehingga harus memahami bahwa Islam itu bukalah untuk masyarakat majemuk (pluralistis) ?

Umat Islam sering muncul sebagai pihak yang kalah setiap pemilihan umum diadakan (KH Firdaus : “Dosa-dosa yang tak boleh berulang lagi”, hal V, “Sekapur sirih”). Menurut Prof Dr Hamka, karena kesadaran politik di alam menegakkan agama Islam tidak tegas dan jelas, maka kaum Muslimin yang gagah berani itu kebanyakan hanya dipergunakan tenaganya guna membina kekuasaan orang lain. Setelah orang lain berkuasa, kaum Muslimin itu disingkirkan dan dilarang keras atau dihambat-hambat agar jangan sampai menuntut haknya yang suci (“Tafsir AlAzhar”, juz IV, 1983, hal 181). Apakah memang Islam tidak mampu mengatur masyarakat majemuk (pluralistis) ?

Dalam pandangan dan penilaian M Syafe’I Anwar, bahwa dalam siding-sidang BPUPKI dapat dikatakan para tokoh Islam sama sekali “tidak siap” untuk berbicara mengenai konsep kenegaraan menurut Islam. Mereka praktis menerima usulan Bung Karno mengenai Pancasila. Dari jumlah 60 orang anggota BPUPKI, 45 suara (75%) memilih dasar kebangsaan dan 15 suara (25%) memilih dasar Islam (REPUBLIKA, Jakarta, Jum’at, 29 januari 1993, hal 6, kol 4, “Idealisme Islam, Realitas Politik dan Dimensi Kebansaan”).

Menurut Ahmad mansur Suryanegara, meskipun dalam karya Muhammad Yamin pidato-pidato dari kalangan Islam dalam siding BPUPKI 29 Mei – 1 Juni 1945 (Ki Bagus H Hadikusumo, KHM Mansur, Sukiman, Wahid Hasyim, kahar Muzakkir, Agus Salim) tidak ada, sehingga sukar diketahui authentiknya, namun demikian dari pidato-pidato Bung karno dapat dibaca tentang gambaran seluruh pikiran yang pernah dikemkakan oleh semua perwakilan(PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.183, 15 September 1975, hal 32, “Mentuna Politiknya Umat Islam Indonesia”).

Dalam pidatonya, Ir Soekarno antara lain menyebutkan : alangkah benernya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagus hadikusumo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham untuk mendirikan suatu negara Indonesia Merdeka, berpangkal pada persatuan orang dan tempat (“Lahirnja Pantja Sila”, edisi 1947, hal 23,24,25).

Kala BPKI (Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia membicarakan rancangan pertama UUD pada 13 Juli 1945, Wahid Hasyim mengajukan 2 usul. Pertama agar pada pasal 4 ayat 2 rancangan UUD diteaapkan bahwa yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kedua agar pasala 29 berbunyi : Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya masing-masing (ESTAFET, Jakarta, No.12, Th.II, Oktober 1986, hal 25, “Yang Muda Pada masanya”, oleh Dasril).

Pada masa persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, kelompok Islam sudah memilki dan mengajukan konsepsi rancangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, antarra lain disampaikan oleh Moh Saleh Suaidy, ada yang secara lansung kepada ketua dan anggota badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan ada pula yang dikrimkan per pos tercatat ke rumah mereka.

Kira-kira sesudah seminggu dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Moh Saleh Suaidy menyusun suatu Konsepsi Rancangan Undang-Undang Dasar Republik Islam Indonesia. Konsepsi itu terdiri dari 20 halaman kertas folio dengan tik rapat. Konsepsi itu diserahkan kepada Ketua dan sebagian anggota BPUPKI secara lansung ketempat kediaman masing-masing dan ada pula dikirimkan per pos tercatat ke rumah mereka. Abikusno mengatakan akan mempergunkanan konsepsi tersebut jadi bahan pidato dalam sidang BPUPKI (SYI”AR ISLAM, Jakarta, No.4, Th.V, Juni 1976, hal 2-6, “Catatan Sejarah : Konsepsi Konstitusi Islam diajukan ke Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan”).

Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam siding Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno memanjukan gagasan (ide) nya yang dapat disebut Pancasila, atau Trisila, ataupun Ekasila. Ir Soekarno di waktu mudaanya telah belajar memahami marxisme, nasionalisme dan juga tentang Islam. Dari hasil pemahamannya terhadap ketiga paham tersebut, Ir Soekarno memajukan gagasan (ide) tentang Pancasila, atau Trisila, atau Ekasila.Menyadari aan potensi umat Islam di Indonesia, Ir Soekarno dengan sengaja melengkapi gagasannya pada penutupnya dengan sila Ketuhanan. Agar gagasan (ide) nya tersebut dapat diterima oleh Umat Islam Indonesia, Ir Soekarno juga dengan sengaja membukakan pintu kesempatan berperannya ummat Islam Indonesia, dengan memberikan ulasan tentang sila demokrasi yang memikat ummat Islam Indonesia. Tertarik akan pikiran Ir Soekarno itulah ummat Islam Indonesia yang diwakili oleh tokoh-tokohnya menerima gagasan (ide) Ir Soekarno tersebut dengan terlebih dahulu meluruskan makna Sila Ketuhanan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang mewajibkan umat Islam menjalankan syari’at agamanya. Rumusan Pancasila yang tertuang pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itulah yang diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia untuk dapat dit3erma oleh semuanya.

Sidang BPKI yang kedua membahas kata-kata dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Wongsonegoro menyatakan, anak kalimat itu mungkin menimbulkan fanatisme karena seolah memaksa menjalankan syari’at bagi Umat Islam. Wahid hasyim beranggapan lain, bahwa anak kalimat itu tidak akan mempunyai akibat setajam yang dibayangkan Wongsonegoro (ESTAET, Jakarta, No.`12, oktober 1986, hal 25).

Menurut M Syafe’I anwar, kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak disetujui oleh Prof Dr Soepomo, Prof Hoesein Djayadiningrat, Wongsonegoro dan para pendukung dasar kebangsaan lainnya (REPUBLIKA, 29 januari 1993, hal 6, kol 4).

Menurut M Natsir, seorang utusan dari Indonesia bagian Timur dari ummat Kristen datang menyampaikan pesan melalui komandan tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta, kepada Dwi Tunggal Bung karno dan Bung Hatta, agar 7 kata yang tercantum dalam Muqaddimah Undang-Undang dasar Republik yang berbunyi : “dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, harus dicabut. Ini berupa ultimatum, kalau tidak diterima, maka Ummat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia, yang baru diproklamirkan itu (ALMUSLIMUN, Bangil, No.234, hal 20-21, “Ihwal Khas : Tanpa toleransi taakkan ada kerukunan”, oleh M Natsir).

KH Firdaus AN menyebutkan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, datang telepon dari seorang jepang pembantu Laksamana Meda, bahwa sebentar lagi akan datang menemui Bung Hatta seorang opsir angkatan laut Jepang akan menyampaikan pesan seorang tokoh Nasrani dari Indonesia Timur, bahwa tokoh nasrani itu keberatan dengan delapan kata yang jelas tercantum dalam Piagam Jakarta, yaki “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sampai tahun 1984 tokoh itu masih misterius bagi sejarawan maupun politisi. barulah setelah Cornel University di Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia, barulah dapat informasi, bahwa tokoh itu bernama Dr Sam ratulangi, seorang politisi Kristen dari Manado, Sulawesi Utara.

KH Firdaus memberkan komentar. Kenapa setelah rumah sudah, tokok masih berbunyi lagi ? Kenapa dengan mudah mencoret suatu piagam yang dihasilkan oleh sidang-sidang yang berkali-kali dengan mengeluarkan tenaga dan air mata ? Kenapa tidak protes ? Dcoret atau tidaknya delapan kata yang amat saral itu, mereka pasti akan mendrikan negara lain dari Republik, yang ternyata kemudian tegaknya Negarai Indonesia Timur (NIT) (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang lagi”, cetakan pertama, hal 46,47,48).

Menurut Dawam Rahardjo, upaya mengembangkan Islam justru lebih memperoleh suasana dinamis di bawah bendera Pancasila (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993, hal 6, kol 9). Apakah memang demikian yang logis-rasionil ? Menurut Usran dari Sulawesi Selatan, guncangan hebat yang melanda beberapa organisasi Islam terjadi pada saat penggodokan kemerdekaan Indonesia yakni dengan hilangnya tujuh perkataan kunci pada pembuka UUD-45 kemudian terkenal dengan sebutan “tujuh perkataan Piagam Jakarta”. Hilangnya tujuh perkataan Piagam Jakarta itu, menurut Dr Ahmad Syafe’I Ma’arif merupakan titik awal dari serangkaian evolusi lebih lanjut dan kekalahan-kekalahan umat Islam selanjutnya. Kenyataan tersebut semakin terbukti dengan semakin lunturnya visi (pandangan) juang dalam menghadapi tantangan dari golongan lain yang tidak menyukai Islam (SUARA ‘AISYIYAH, Yogyakarta, No.08, Th ke-68, Agustus 1993, hal 20, “Api Islam”, oleh Usran).

Abdul Manan Salamun dalam tulisannya “Pemimpin Islam Belum Siap Mengisi Kebangkitan Islam ? “menyatakan keprihatinannya bahwa “suara-suara sumbang justru datang dari kaum intelektual Muslim sendiri. Misalnya sebagaimana dikatakanoleh Dr Amien Rais, bahwa tidak ada negara Islam dalam alQuran dan asSunnah. Dasar pendapat ini pun mendapat dukungan dari bapak Mr Mohammad Roem” (KIBLAT, No.10.Th.XXXI, 5-20 Oktober 1983, hal 23).

Dr H Amien Rais bersama almarhum Mr Mohamamd Roem mengingatkan bahwa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 (“Hubungan Antara Politik dan Dakwah”).

Penerbit “Bulan Bintang”, Jakarta, tahun 1977 menerbitkan buku kecil yang memuat dua karangan. Yang pertama, karya Haji A Salim yang telah dimuat di Majalah Islam Populer “HIKMAH” 1953. Dan yang kedua, pidato Dies natasil Mr Mohammad Roem di Universitas Islam Sumatera Utara, Medan pada tanggal 9 Januari 1969. Buku tersebut berjudul “Ketuhanan YME & Lahirnya pancasila”.

Haji Agus Salim dalam bulanan PEDOMAN MASYARAKAT, tahun 1940 menulis tentang kedudukan Khalifah di dalam Islam. Bagi Haji Agus Salim, berdasarkan data histories : Kekuasaan kekhalifahan itu berdasarkan kekuatan senjata. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tak disepakati oleh seluruh umat Islam. Taak ada hubungan yang tegas antarra agama dengan urusan khalifah (negara). Kekhalifahan itu sudah berakhir.

Ali Abdul Raziq menegaskan bahwa Khalifah itu adalah sekuler, bukan sesuatu yang agamis. Karena itu institusi, aktivitas ekonomi, politik dan hukum Umat Islam harus dibimbing oleh kepentingan duniawi tanpa asanya pertimbangan agama (Ziauddin Sardar : “Dominasi Taqlid”, SUARA MASJID, No.162, Maret 1988, hal 86). Untuk mengesahkan nasionalisme an sekularisme, Ali Abdul Raziq mengusung teori, bahwa Islam itu sendiri mutlak tidak ada hubungannya dengan negarra, bahwa tidak ada sedikitpun kaitan dengan masalah kekhalifaan. Kekhalifahan Islam yang muncul dalam sejarah, menurut Ali Abdul raziq bukanlah bercorak Islam (keagamaan), melainkan merupakan kerajaan Arab (kerajaan duniawi).

Selain Nurcholish Madjis (dengan “Tak da Negara Islam”nya), di antara yang aktif membudayakan Pancasila adalah Munawir Syadzali (“Islam dan Tatanegara”), harun nasution, Dahlan Ranuwihardjo, Syafe’i Ma’arif (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1986), Syafe’i Anwar, Dawam Rahardo (REPUBLIKA, 30 Juni 1993), Hasbullah Bakry (PELITA, Oktober 1983), Abdurrahman Wahid (PANJI MASYARAKAT, No.528, hal 73-74), dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai tokoh-tokoh pembaharu.

Dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 18 Agustus 1945 diputuskan mengadkan beberapa perubahan dalam preambul Pembukaan) dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Pertama, kata “Mukaddimah” diganti kata “Pembukaan”. Kedua, anak kalimat dalam Preambul (Piagam) Jakarta “Berdasarkan kepada Keuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, pasal 19 ayat 1, Negara berdasarkan atas KeTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Negara berdasarkan KeTunan Yang maha Esa” (ESTAFET, No.12, Oktober 1986, hal 25).

Terhadap sikap kaum nasionalis yang menunjuk pada Piagam Jakarta dan pasal undang-undang yang menyatakan persamaan semua warga negara terhadap undang-undang, maka anggota Muzakkir menjadi makin marah sehingga ia mengebrak, memukul meja dan mengusulkan untuk mencoret saja tiap-tiap sebutan yang menunjuk kepada Tuhan atau slam dari Undang-Undang Dasar (“Keterangan-eterangan baru tentang terjadinya Undang-Undang Dasar Indonesia 1945”, oleh Prof JHA Logemann, 1983, hal 21).

M Syafe’i Anwar berpendapat, bahwa ketika Pancasila sudah ditetapkan menjadi satu-satunya asas (Asas Tunggal), gagasan “Negara Islam” telah tertutup (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993, hal 8, kol 7). Dalam hal ini Pasal 37 UUD-1945 diapayakan semaksimal mungkin hanya untuk dilihat dan dibaca saja, misalnya dengan ide referendum (UU No.5 Th 1985 tentang referendung).

Tujuan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dibentuk di Yogyakarta 7 Nop 1945 adalah ; Terlaksananya ajaran dan hukum islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi. tjuan Nahdatul Ulama yang dibentuk th 1926 adalah mempertahankan syari’at Islam. Kapan orsospol islam kembali pada ikrar 7 Nop 1945 yang sepakat menjadikan Masjumi sebagai satu-satunya parpol Islam ?

Menurut orang yang beriman (mukmin), bagi kebenaran itu hanya terbentang satu arah, bukan jalan yang bercabang-cabang dan mempunyai berbagai macam arah. Mereka akan tetap istiqamah menempuh jalan tersebut apapun risionya (diintimidasi, diteror, dikucilkan, dipasung, dipenjarakan, disiksa, dianiaya, kehancuran, kegagalan, kekalahan) (“Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah”, oleh Khalid Muh Khalid, 1983, hal 699-700)

Dari sejumlah cendekiwan Islam yang namanya disebut Dr Zamachsyari Dhofir dalam sebuah ceramahnya di gedung Stovia Jakarta, belum seorang pun yang membuat tafsir alQuran, atau karya pemikiran Islam yang utuh. karya cendekiawan islam Indonesia masih berkisar pada kesibukan memfotocopy (budaya koor rekaman membeo ?) pikiran Mu’tazilah, Ali Shari’ati, Muthahari, Fazlur Rahman, Sayyid Quthub (Abu Jihan, BLA, PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.601, Tahun XXX, 1-10 Februari 1988, hal 38, Kolom Kecil).

Hasan Albanna, Sayyid Qutb dengan Ikhwanul Muslimunnya serta maulana Abul A’la alMaududi dengan Jama’ati Islamnya menganggap bahwa Islam juga mengatur masalah system ketatanegaraan maupun politik. Sebaliknya Ali Abdul Raziq, Thaha Husin, Bung Karno berpendapat bahwa Islam tidak ada sama sekali kaitannya dengan aturan atau system kenegaraan (REPUBLIKA, 29 januari 1993, hal 6, kol 4).

Setiap kita tak lebih dari pemamah biak (muqallid) dari pandangan, pendapat, pemikiran (ijtihad) orang-orang yang dahulu dari kita. Alasan, argument (hujja) yang kita kemukakan mengacu (taqlid) pada yang dikemukakan orang-orang dahulu itu. Di antara kita adayang mengacu 9taqlid0 pada Hasan albanna, Sayyid Qutub, Abul a’la almaudidi yang menganggap bahwa Islam juga mengatur masalah system ketatanegaraan maupun politik. Dan ada pula di antara kita yang mengacu pada Ali Abdul Raziq, Thaha Husein yang berpendapat bahwa Islam tidak ada sama sekali kaitannya dengan aturan atau system kenegaraan.

M Luthfi asySyaukani berkata : “Beranikah kita menggunakan hasil pemaaaaaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luarkita ? Misalnya brhadapan dengan Sayyid Qutub, alBanna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd alWahhab, Ibnu Tainiyah, alGhazali, Imam Syafi’i, alBkhari, para Sahabat dan bahkan juga nabi Muhammad sendiri” (www.islamlib.com; Budi Handiaanto : “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia”, 2007:211).

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pihak penguasa (Pemegang tampuk kekuasaan) lebih berpihak kepada pandangan bahwa Islam tidak ada kaitannya sama sekali dengan sistem kenegaraan. pihak penguasa cenderng pada kebebasan tanpa batas. Pihak penguasa memandang Islam sebagai ancaman terhadap kebebasannya. Kemenangan kelompok nasionalis lebih banyak disebabkan oleh campur tangan (keterlibatan, ketidaknetralan) wasit (yang berpihak pada kelompok nasionalis).

Dalam rangka mengenang kembali Piagam Jakarta yang dikhianati, seyogianya sepanjang bulan Juni digalakkan upaya pengungkapan kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan perihal Piagam Jakarta, seperti yang pernah dirintis, dilakukan oleh KH Firdaus AN dengan tulisannya “22 Juni yang Keramat” dalam majalah HARMONIS, No.410, Oktober 1989 (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh berulang Lagi”, 1992, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta).

Dalam pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata lain telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

(BKS0708050915)

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Jalur Pembudayaan Pancasila

Jalur Pembudayaan Pancasila
Pancasila sebatas Dasar Negara
Selama empat belas tahun pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1958, hampir boleh dikatakan bahwa Pancasila dikenali hanya terbatas sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Pada awalnya Pancasila itu adalah formulasi (perumusan) dari gagasan Ir Soekarno yang diperkenalkannya pada hari keempat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka yang kemudian diterima dalam Piagam Jakarta, dan yang selanjutnya direvisi dalam Pembukaan UUD-45.

Pada bagian akhir pidatonya, atas petunjuk seorang ahli bahasa, Ir Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai nama bagi rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka yang dikemukakannya. Tapi para pendiri Negara Republik Indonesia tak pernah memutuskan memberikan nama Pancasila bagi Dasar Negara Republik Indonesia.

Ide (gagasan) ini dipungut Ir Soekarno dari ajaran Ernest Renan, tto Bauer, a Baars, Gaandhi, Sun Yat Sen, Jean Jaaures, dan bukan dipungut dari Nagara kertagama, Sutasoma, Sriwijaya, Majapahit.

Pancasila mulai dikeramatkan

Pada masa Orde lama (1959-1965) Manipol dianggap sebagai pengamalan Pancasila. Sejak awal Orde Baru, Pancasila mulai dikeramatkan sebagai kekuatan sakti yang ampuh, semangat, jiwa, spirit yang tangguh. Sebagai mithos, Pancasila diintrodusir sebagai Jiwa Bangsa Indonesia, sebagai Kepribadian bangsa Indonesia, sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, sebagai Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia, sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia, sebagaia Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia, sebagai Falsafah Hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia.

Ini merupakan hasil temuan Laboratorium Pancasila. Untuk sampai ke sini dikaitkan, diberikan acuan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Sang Saka Dwi Warna, Garuda, Palapa pada jaman Hindu-Budha, pada kejayaan nenek-moyang di jaman Maajapahit Siwa-Budha. Padahal masa/jaman kejayaan, keemasan majapahit adalah jaman feodal, jaman jahiliyah, jaman kesesatan, jaman syirik. Pancasila dikembangkan menjadi Pancakarsa. sejak tahun 1978 diperkenalkan bahwa Pancasila perlu dihayati dan diamalkan.

Ketua Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Dardji armodihardjo SH (yang waktu itu juga Rektor Universitas Brawijaya di Malang), dalam bukunya “Orientasi Singkat Pancasila”, terbitan tahun 1979 (LP UNBRA) mengemukakan bahwa istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman majaapahit pada abad XIV, yaitu terdapat di dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca dan buku Sotasoma karangan Tantular.

Pancasila Krena (Pancasila Sutasoma Tantular)

Dalam kakawin Sutasoma disebutkan terdapat Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Mengaitkan Pancasila pada Tantular tampaknya terlalu dipaksakan. Pancasila Sutasoma Tantular yang disebut Pancasila Karena bukanlah mengenai dasar falsafah negara (rechts-ideologi), tetapi mengenai ajaran moral (kesusilaan) yang wajib diamalkan oleh Upasaba (Bhudayawan) agar tidak melakukan lima larangan, yaitu tidak melakukan kekerasan (ahimsa), mencuri, berjiwa dengki, berbohong, mabuk (minuman keras).

Meskipun berupaya mengaitkan pancasila pada Tantular, namun tidak ada keseriusan untuk tidak melakukan mo-limo, yaitu tidak melakukan madon/lacur/zina, maling/curi, main/judi, madat/narkotik, minum/miras/mabuk (TERBIT, 14 November 1996).

Sedangkan Bhinneka Tunggal Ikanya Sutoasoma Tantular bukanlah semboyan Persatuan, Kebangsaan (Nasionalisme), “E Pluribus Unum”, tetapi mengenai konsep religi Siwa-Budha, bahwa meskipun zat/wujudnya Siwa dan Budha berbeda, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai “Keesaan Yang Maha Kuasa” dalam bentuk Siwa-Budha.

Mirip ajaran Trinitas yang mengajarkan bahwa meskipun zat/wujudnya/manifestasinya tiga oknum, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai Satu di antara Tiga Tuhan, “Tsalatsu Tsalatsah”.

Pancasila menjadi Asas Tunggal

Sejak tahun 1978 secara sistimatis dan terencana, dikembangkan konsep Pancasila sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai Asas Moral bagi kehidupan bangsa Indonesia. Mulai dari kehidupan berpolitik, berekonomi, sampai kehidupan pribadi dan berkeluarga diatur, berapa jumlah anak, bagaimana isi dakwah setahap demi setahap diarahkan, diatur, ditata oleh negara.

Setelah ditetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal, maka disini pancasila berperan mengatur sikap dan tingkah laku orang Indonesia masing-masing dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa (Ketuhanan Yang maha Esa), dengan sesama manusia (Kemanusiaan yang adil dan beradab), dengan tanah air dan nusa bangsa Indonesia (Kebangsaan atau Nasionalisme), dengan kekuasaan dan pemerintahan negara (Kerakyatan), dan dengan negara sebagai kesatuan sosial dalam rangka realisasi kesejahteraan (Keadilan Sosial). Dalam hubungan ini sementara pengamat mempertanyakan apakah negara/pemerintah, MPR berhak mengatur, membina hati nurani masing-masing individu ?

Pancasila dinyatakan sejalan Islam

Di kalangan yang bukan Islam, inilah jalan/jalur pembudayaannya, yaitu jalur/pendekatan sejarah (jaman Siwa-Budha). Di kalangan yang Islam, jalur pembudayaan yang ditempuh ialah jalur/pendekatan agama. Dikemukakan bahwa “di bawah bendera Pancasila, upaya mengembangkan Islam, justru lebih memperoleh suasana dinamis”. Bahwa “Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 ini adalah sejalan dengan ajaran Islam”. Bahwa di Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 ini, ajaran Islam lebih banyak dilaksanakan dari pada di dunia Islam lainnya”. “Bahkan hidup keagamaan umat Islam di Indonesia tamak lebih bersemarak dari pada hidup keagamaan ummat di bahagian tertentu dunia Islam”.

“Yang penting bukanlah nama, tetapi adalah dilaksanakannya ajaran Islam dalam masyarakat”. “What is in a name ? That we called a rose. Shall by any other name Smell as sweet” ungkap Shaespeare. Bahwa “tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak Pancasila sebagai ASAS YANG PALING DISUKAI (asas satu-satunya) bagi persatuan bangsa dan perjuangan memaakmurkan bangsa”, karena “PANCASILA mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap juga sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”.

“Menerima Pancasila berarti secara tidak langsung mendekatkan yang belum Islam pada Islam, dan makin menguatkan ajran Islam bagi yang sudah Islam”. “Hendaknya kita ummat Islam Indonesia menerima negara Republik Indnesia ini sebagai sasaran akhir (sasaran final) dari aspirasi politik kita, dan bukan sekedar sarana antara atau batu loncatan ke arah sasaran yang lain”. Bahwa “adanya persamaan dan semangat AlQuran dengan Pancasila”. Untuk sampai ke sini diyakinkan lebih dulu, bahwa “AlQuran tidaklah mengandung segala-galanya”.Diintrodusir semboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan belakangan dilanjutkan dengan “Islam Yes, Negara Islam No”, dimantapkan dengan “Tak Ada Negara Islam” dalam AlQuran dan AsSunnah.

Tokoh Pembaharu Islam

Di antara yang arif menggunakan jalur ini adalah Munawir Syadzali (“Islam dan Tatanegara”), Harun Nasution, Dahlan Ranuwihardjo, Syafi’i Ma’arif (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1986), Syafi’i Anwar, Dawam Rahardjo (REPUBLIKA, 30 Juni 1993), Hasbullah Bakry (PELITA, Oktober 1983), dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai tokoh pembaharu, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (PANJI MASYARAKAT, No.528, hal 73-74).

Teori politik Munawir Syadzali disanggah (disangkal, dibantah) Firdaus AN (ALMUSLIMUN 258, September 1991). Bagi Ideolog Mujahid adalah aneh bila ada yang berakidah Islam, tetapi berasas bukan Islam. Adalah aneh yang Islam lebih memilih yang bukan Islam, lebih tertarik kepada yang bukan Islam.

Sungguh tak etis seorang Muslim yang telah merenungkan AlQuran dengan pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidiki, akan berujar dengan lantang “tidaklah cukup dengan AlQuran”, ‘tidaklah benar segalanya ada dalam AlQuran”. Adalah suatu penghinaan menuduh Islam tidak punya konsep tentang negara”, bahwa “selain AlQuran ada lagi yang tak diragukan (la raiba fihi)”.

Seandainya “PANCASILA itu mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”, seandainya “Pancasila itu adalah seakan dengan ajaran Islam”, mustahillah muncul debat antara pihak Islam dengan pihak Nasionalis (Kebangsaan), baik pada sidang BPUPPKI, maupun di sidang Konstituante, dan mustahil pula pembubaran Konstituante pilihan rakyat (PANJI MASYARAKAT 698, 11 Oktober 1991).

Nasionalis disusupkan ke dalam Islam

Dalam hubungan ini dibawa-bawa nama Ali Abdul Raziq, kelompok minoritas Najadah dari Khawarij, Mu’tazilah. Ali Abdul raziq (1888-1966) menggunakan jalur agama untuk mengesahkan, melegalkan nasionalisme. dalam bukunya “Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam”, Ali Abdul Raziq melancarkan propaganda menentang adanya khilafah dan mengajak agar umat Islam mengambil sekularisme dan nasionalisme.

Untuk sampai ke sini disusunlah teori politik, bahwa Islam itu sendiri mutlak tidak ada hubungannya dengan negara, bahwa tidak ada sedikitpun kaitan antara Islam dengan masalah kekhilafahan. Kekhilafahan Islam yang muncul dalam sejarah, menurut Ali Abdul Raziq bukanlah bercorak Islam (keagamaan), melainkan merupakan kerajaan Arab (kerajaan duniawi).Dalam kaitan ini, Ali Abdul Raziq mengutipkan Matius 22 “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.

H Agus Salim termasuk di antara yang merasa keberatan dengan isu penegakkan kembali Khilafah Islamiyah. “Oeroesan Chalifah itoe semata-mata oeroesan negara, oeroesan kekoeasaan semata-mata” tulis Hadji A Salim (”Chalifah dan ‘Alam Islam”, PEDOMAN MASYARAKAT, Medan, hal 102-103).

Sekilas teori politik Ali Abdul Raziq mirip dengan teori politik Najadah dari Khawarij. Tetapi Najadah tidak mengingkari khilafah, sedangkan Ali Abdul raziq sama sekali menolak khilafah, menolak mengaitkan urusan negara (dunia) dengan Islam (diin). Tampaknya teori politik Ali Abdul Raziq ini dipasok/disupply oleh missionaris orientalis semisal Margolouth, Thomas Arnold.

Dhiya’ adDin ar Rais telah menyanggah (menyangkal, membantah) teori politik Margoliuth (“Teori Politik Islam”), Ali Abdul Raziq (“Islam dan Khilafah”). Sebelumnya yang menyanggah Al Abdul raziq adalah Muhamamd Syakir, Sayyid Rasyid Ridha, Muhammad Bukhait, Muhammad alKhadr Husain.

Mengenyahkan kekhilafahan Islam

Sebenarnya Ali Abdul Raziq hadir-tampil di tengah-tengah bersemaraknya persekongkolan persekutuan Salib Barat berupaya mengenyahkan kekhilafahan Islam Turki, di tengah-tengah munculnya gelombang nasionalisme untuk menghapus bekas pengaruh Islam, menghapus khilafah Islam, menumpas gerakan pendukung khilafah.

Di antara penganjur/pendukung nasionalisme modern di Mesir adalah Luthfi as Sayyid (dari Partai Rakyat Hizb Ummah), Sa’ad Zaghlul (pemimpin dan pejuang Mesir yang berpengaruh/kharismatik dari Partai Nasionalis Wafd) yang dengan gigih berupaya menghilangkan pengaruh Islam dari politik mesir, dengan slogan “Agama untuk Tuhan dan negara untuk rakyat”. “Mesir adalah bagian Eropah, pewaris/pelanjut peradaban Laut Tengah/Mediteranian” berkembang dan dikembangkan.

Penganjur/pendiri nasionalisme modern di Turki adalah Ziya Gok Alp, professor sosiologi jebolan Istambul, yang dengn gigih berupaya membersihkan Islam dari Turki. Kemal Ataturk, seorang pengagum berat nasionalisme yang setia, patuh menjalankan instruksi Perkumpulan Rahasia (Fremansonry) di Paris dan melaksanakan syarat-syarat Perjanjian Prdamaian lausane, swiss yang ditanda tangani bulan Juli 1923 yang mnghapuskan sistim kapitulasi (penguasaan daerah taklukan) di Turki, sehingga Turki melepaskan kedaulatannya atas negara-negara Arab, dan lenyapnya kekhilafahan Islam, tumpasnya gerakan pendukung kekhilafahan.

Terwjudlah salah satu langkah yang diambil barat Nasrani untuk menghancurkan, melenyapkan Timur Islam (setelah gagal dalam perang Salib) adalah dengan berupaya melenyapkan, memusnahkan khilafah Islam. Sebagai catatan : Sayyid Rasyid Ridha telah menyanggah kemal Attaturk dalam bukunya “Al Khilafah wal Islam al’Uzhm”.

Penyusupan nasionalisme di dunia Arab

Sejak pendudukan Napoleon (1798-1801) di Mesir terjadi perbenturan (persinggungan, pergeseran, pertarungan) antara barat Nasrani dan Timur Islam, baik mengenai pikiran dan kebudayaan maupun perbedaan kesosialan, serta juga buah hasil pengiriman missi-missi ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Yang paling berjasa menggarap Mesir adalah Lord Cromer (Sir Evelyn Baring), Konsul Jendral Inggeris (1884-1907), otaknya imperialis Inggeris di dunia Arab, yang memegang tampuk kekuasaan Mesir selama hamper 25 tahun. Nasionlisme di kalangan Arab bermula dirintis oleh dua sarjana Kristen, Nasif Yazeji (1800-1871) dan Butrus ustani (1819-1993) dengan motto “Cinta tanah air (patriotisme) sebagian dari iman”.

Gerakan nasionalisme Arab memperoleh dukungan terbesar di American University of Beirut yang didirikan oleh missionaries pada tahun 1866 dan yang semula dikenal dengan Syria Protestant College. Sarjana lulusan American Universty of Beirut ini disambut baik di Mesir, menyebarkan teori-teori dan buah pikiran orientalis guru mereka.

Pemuja nasionalisme

Di Barat, tokoh yang paling memuja paham nasionalisme serta patriotisme adalah Nicola Machiavelli (1469-1532) dengan karya tulisnya “Sang Pangeran”. dan yang menjadi penyebab meluasnya paham nasionalisme secular (yang berakar pada Helenisme Yunani) secara besar-besaran adalah penolakan yang dilakukan oleh para pemimpin Reformasi Protestan terhadap kekuasaan Paus dan bahasa latin.

Ini terjadi karena kekuasaan Paus, kekuasaan gereja sedemikian memuncak, berbuat semena-mena. Akibatnya muncul reaksi terhadap gereja. Muncullah ide pemisahan negara dari gereja. disebarkan pesan “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.

Nasionalisme melanda Indonesia

Di mana-mana nasionalisme mempunyai sikap yang sama, sekuler dan anti agama, mengagung-agungkan kejayaan nenek moyang. Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, pemuda Hatta menegaskan bahwa “bukan Indonesia Merdeka di bawah kerajaan Majapahit yang kita idamkan” (“Ke Arah Indonesia Merdeka”). Nasionalisme itu di luar Islam. A Hassan menukilkan hadis Nabi yang menyatakan bahwa “bukanlah dari kalangan Islam orang yang menyeru kepada kebangsaan, yang berpegang atas dasar kebangsaan, yang mati atas dasar kebangsaan” (“Islam dan Kebangsaan” (Sayid Qutb : “Masyarakat Islam”, 1983:71). Ketika masih berusia 24 tahun M Natsir (murid dan sekaligus sahabat A Hassan) dengan menggunakan nama A Muchlis dalam polemiknya dengan Ir Soekarno sudah menggugat paham nasionalisme dari sudut pandang Islam (“Tjinta Agama dan Tanah Air”, PANJI ISLAM, No.7, Th.VI, 13 Februari 1939, hal 137/4069-139/4071; “Persatoean Agama dan Negara”, idem No.27-28, Juli 1940)

Yang tak suka pemerintahan/negara diatur oleh Islam berupaya mengarang-ngarang teori politik bahwa tak ada kaitan antara pemerintahan/negara dan Islam. Mereka masih mengakui Islam, tapi lebih suka pemerintahan/negara diatur oleh bukan Islam. Dengan penolakan mereka terhadap Islam ini, apa lagi yang tersisa pada mereka dari Islam. Sama sekali tak ada. Islam itu telah keluar dari diri mereka. “Akan muncul anti yang keluar dari agama Islam bagaikan anak panah terlepas dari busurnya”.

Melenyapkan Islam dari ranah politik

Berbagai cara dan siasat untuk menghapus dan menghilangkan Islam dan jejak langkah Islam di Indonesia antara lain dengan melenyapkan partai-partai Islam secara perlahan (sistimatis) dari satu langkah kepada langkah yang lain. Kemudian berlanjut menyingkirkan Asas Islam. Padahal Asas Islam itu adalah rohnya organisasi Islam. Tanpa asas Islam itu organisasi atau partai Islam itu tidak ada artinya sama sekali, “bagai mayat yang tidak bernyawa lagi”.

Menghilangkan asas slam itu dari organisasi islam sama dengan membunuh organisasi atau partai itu secara halus. Demikian ungkap KH Firdaus AN (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang lagi”, hal 32, 73-74).

Islam janganlah dipenggal-penggal. Terimalah Islam itu secara utuh (kaffah, totalitas) atau tinggalkan/tanggalkan sama sekali. Ajaran Islam mencakup aspek/dimensi politik, hankam, sosial, budaya, ekonomi, hukum, moral, ideology, iptek. Jangan cari-carI teori politik dalam AlQuran, Quran bukanlah buku teori politik. Carilah tuntunan Islam yang beraspek/berdimensi politik tentang tindakan aplikasi politik.

Yang ideal di Indonesia kini menurut KH Firdaus AN cukup memiliki dua buah partai politik, yaitu Partai Islam dan yang satu lagi Partai Pancasila. Dengan itu orang mudah menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan.

Bagi siapa saja yang tidak setuju ideologi Islam, silakan masuk partai Pancasila, dan yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam.(“Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba yang Tidak Boleh Berulang Lagi Di Era Reformasi”, 1999:186-187).

BKS9612311030

Tinggalkan komentar

Filed under Artikel, Ideology, Islam, Morals, Politics

KH Firdaus AN bicara Budi Utomo

KH Firdaus AN bicara Budi Utomo

Perkumpulan Budi Utomo itu dipimpin oleh kaum Ambtenaar, yaitu ara pegawai yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Pertama kali Budi Utomo diketuai oleh Raden T Tirtokusomo, Bupati Karanganyar yang dipercaya Belanda. Ia memimpin Budi Utomo sejak tahun 1908 sampai dengan tahun 1911. Kemudian ia digantikan oleh Pangeran Arjo Notodirojo dari istana Paku Alam, Yogyakarta. Sebagai orang Keraton yang diberi gaji oleh Belanda, maka ketua Budi Utomo itu sangat patuh kepada induk semangnya (majikannya).

Dengan dipimpin oleh kaum bangsawan yang inggih selalu, tidak mungkin Budi Utomo akan dapat melangkah maju untuk mengadakan aksi massa, brjuang guna mengubah nasib mereka yang menderita dibawah telapak kaki penjajah Belanda. Dengan sifat kebangsaan yang pasif dan setia kepada Belanda itu, juga membaut Budi Utomo terjauh dari rakyat. Dan sifat aristokratis yang negatif itu adalah merupakan sifat dan cirri khas Budi Utomo sampai akhir hayatnya.

Budi Utomo bukan bersifat kebangsaan yang umum bagi seluruh Indonesia, tetapi bersifat regional, kedaerahan dan kesukuan yang sempit. Keanggotaannya selalu terbatas bagi kaum ningrat-aristokat elite cabang atas, tetapi juga hanya terbatas bagi suku bangsa tertentu, yaitu suku jawa dan Madura. Dengan itu, Budi Utomo adalah hanya perkumpulan yang sangat terbatas dan sangat fanatic kesukuan yang picik. Dan karenanya tidak tepat kalau dikatakan Budi Utomo, gerakan Nasional Indonesia. Sebab, selain orang-orang Jawa dan Madura, tidak boleh memasuki perkumpulan Budi Utomo tersebut.

Di samping itu Budi Utomo adalah kebelanda-belandaan yang tidak mencerminkan bahwa mereka adalah bangsa Indonesia yang jauh lebih besar daripada bangsa penjajah itu. Bukan saja dalam bahasa mereka sehari-hari lenyap sifat kebangsaannya, tetapi sampai-sampai kepada Anggaran Dasar Budi Utomo itu sendiri memakai bahasa Belanda kolonial itu. Apakah adil menilai Budi Utomo sebagai gerakan nasional teladan, padahal suku bangsa Indonesia yang lain dari suku Jawa dan Madura haram jadi anggota Budi utomo ? Jangankan demikian, orang-orang Jakarta sendiri di mana Budi Utomo itu dilahirkan tidak boleh ikut jadi anggotanya. Dengan begitu, siapakah yang tidak herankalau Budi Utomo yang chaufinistis regional dan lokal itu dan yang anggotanya terdiri dari pegawai Bslanda, lagi tidak pernah memperjuangkan Indonesia merdeka sepanjang hayatnya, tiba- tiba dijadikan tonggak sejarah bagi kebangkitan Nasional Indonesia, justru setelah revolusi rakyat mencapai kemerdekaannya yang gilang gemilang.

Budi Utmo juga dapat dipandang sebagai perkumpulan kaum intelek ningrat yang meremehkan atau anti-agama, terutama Islam; karena merea memandang agama itu sebagai alat belaka. Dengarlah Noto Suroto, seorang tokoh Budi Utomo dalam suatu ceramahnya tentang Gedachten van kartini alrichtsnoer voor de Indische Vereniging : “Sudah pasti bahwa soal agama adalah batu karang berbahaya, yang dalam kerjasama tidak mudah dihindari, meski bagaimanapun orang berhati-hati; oleh sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita jangan karam alam gelombang kesukaran”. Pepatah Belanda : “ieder meent zijn uil een volk te zijn”, sungguh-sungguh benar dalam soal agama”. Demikian penegasan Noto Suroto.

Seorang tokoh Budi Utomo yang lain membuka isi hatinya dengan kata-kata seperti ini “Apabila agama mengetuk pintu untuk masuk dalam komplotan ini (Budi Utomo), harus ditolak. Kita sungguh takut akan daya pemisah yang ada padanya …”. Selanjutnya ia berkata : “Apabila Sarekat Islam, perkumpulan kaum muslim sanggup menyiapkan bangsa Jawa untuk hidup berpolitik, kata “Islam” itu harus kita isi pengertian lain, yang tidak pernah ada di dalamnya”.

“Pengertian “tanah air” masih asing bagi kita”, demikian Gunawan Mangunkusumo dalam tulisannya alam Gedenboek Budi Utomo 20 Mei 1918 hal 109 (Prof Dr Slametmuljana, Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa, hal 123-124). Demikianlah kaum Budi tomo memandang agama sebagai momok, atau “Islam Phobi”. Dan akhirnya dengan gamblang Prof Slamet menambahkan pula pengakuannya sendiri dengan kalimat-kalimat yang berbunyi :

“Seorang pemeluk agama bercita-cita meluaskan agamanya di antara orang-orang sebangsa khususnya, tetapi seorang nasionalis akan memperalat agama untuk mencapai kekuasaan politik. bagi pemeluk agama adalah alat untuk memperkuat kekuasaan, Jadi bila agama tidak dapat memberi kesempatan untuk perluasan kekuasaan, agama harus ditinggalkan. Apa yang dikatakan alat bagi yangsatu, adalah tujuan bagi yang lain, dan kebalikannya” (Prof Slametmuljana, ibid, hal 124-125).

Lebih jauh dapat dilihat sifat anti-agamany (Islam) Budi Utomo dalam menyerang keyakinan Umat Islam seperti yang dipublikasikan dalam media-massa yang terkenal “Suara Umum” yang terbit di Surabaya di bawah asuhan Dr Sutomo yang dikutip oleh AHasan, Guru Besar Persatuan Islam dalam Majalah ALLISAN yang berkata antara lain : “Digul lebih utama daripada makkah”. Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya Kiblat” (M.S) ALLISAN, No.24, 1938.

Demikianlah kaum Budi Utomo itu tidak malu-malu mempertontonkan kepada umum sifat anti-agamanya dan meremehkan serta memandangnya sebagai angina lalu belaka. Dan dengan penghinaan yang terang-terangan kepada keyakinan umat Islam itu, kaum Budi Utomo menjadi sasaran kemarahan dan kutukan kaum Muslimin yang merasa terhina dan terluka. Akhirnya Budi Utomo (yang selama ini dipandang sebagai awal kebangkitan Nasional Indonesia yang dilahirkan di Jakarta pada ttanggal 20 Mei 1908) lenyap dari arena pergerakan Indonesia pada bulan Desember 1935 dan misinya dilanjutkan oleh Parindra.

Kini timbul pertanyaan : apakah suatu organisasi yang demikian coraknya itu serta sepak-terangnta yang menyakitkan hati, patutkah dijadkan contoh teladan, yang hari jadinya dijadikan pula sebagai patokan tonggak sejarah bagi kebangkitan nasional Indonesia yang penduduknya 90% terdiri dari kaum Muslimin. Bahkan tiga tahun sebelum Budi Utomo sudah lahir di Solo pada 16 Oktober 1905 Syarekat Dagang Islam di bawah pimpinan Haji Samanhudi yang kemudian berubah menjadi “Syarikat Islam” dengan sifat Nasional dan dasar Islam di bawah pimpinan trio politiknya yang terkenal : Cokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis.Syarikat Islamlah yang pertama kali menuntut dan memperjuangkan Indonesia Merdeka. Namun dengan memanipulasi sejarah, maka yang diperingati sebagai tonggak hari kebangkitan Nasional bukan Syarikat Islam tetapi Budi Utomo yang terkenal sebagai alat penjajah Belanda dan anti Islam. Sungguh mereka itu melukai perasaan umat Islam di samping membuat skandal dalam penulisan sejarah. Mereka mewariskan sesuatu yang tidak benar kepada generasi yang akan datang.(“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1992:62-65, dari PANJI MASYARAKAT, 11 November 1990).

(BKS1105182030)

Tinggalkan komentar

Filed under Politics