catatan serbaneka asrir pasir
Perbedaan penetapan awal bulan Qamariah
catatan kesatu :
Bagaimana cara kita mengetahui awal Ramadhan, awal Syawal ?
1. Patokan :
1. Satu bulan : minimum : 29 hari; maximmun : 30 hari.
2. Kesaksian saksi ahli yang menyatakan terbitnya bulan, lebih didahulukan dari keterangan yang menolak atau membantahnya.
2. Dengan menggunakan pengamatan sendiri :
1. Dalam keadaan biasa (normal). Dalam keadaan yang memungkinkan, seyogianya kita secara langsung menyaksikan terbitnya bulan (hilal) dengan mata sendiri pada saat sesudah terbenam matahari pada sore hari 29 Sya’ban. Itulah cara yang lebih memadai. Bilamana pada saat itu kita menyaksikan terbitnya bulan (hilal) maka awal Ramadhan mulai pada malam tersebut, dan bilamana tidak, maka awal Ramadhan mulai pada malam brikutnya (besoknya).
2. Dalam keadaan tak biasa (adnya gangguan, hambatan, rintangan). Dalam keadaan yang tak memungkinkan kita secara langsung menyaksikan terbitnya bulan (hilal) dengan mata sendiri, karena adanya beberapa factor hambatan, rintangan, halangan, gangguan, maka cukup memadai bagi kita dengan melakukan perhitungan, yaitu dengan memperhitungkan Sya’ban 30 Hari. Awal ramadhan dihitung mulai dari malam sesudah terbenam matahari sore hari 30 Sya’ban.
Faktor-faktor yang merintangi kita menyasikan terbitnya bulan :
– cuaca mendung, langit tertutup awan, diselaputi kabut.
– pandangan tertutup oleh bangunan gedung, hutan, bukit, gunung.
– lokasi wilayah sangat jauh disebelah khatulistiwa.
3. Dengan menggunakan pengamatan saksi ahli. Bilamana sudah ada saksi ahli yang dapat dipercaya menyatakan, bahwa terbitnya bulan (hilal) adalah pada malam sesudah terbenam matahari sore harai 29 Sya’ban, maka awal Ramadhan aalah pada malam tersebut, dan bilamana belum ada saksi ahli yang menyatakannya, maka awal Ramadhan dihitung pada malam berikutnya.
Saksi ahli : ahli rukyah, ahli hisab.
4. Kesimpulan :
1. Dengan mengikuti hasil pengamatan ahli rukyah, kecuali alau ahli hisab telah mengabarkan terbitnya bulan lebih dahulu.
2. Mengikuti hasil pengamatan ahli hisab, kecuali kalau ahli rukyah telah mengabarkan terbitnya bulan lebih dahulu.
Untuk mengetahui awal Syawal, silakan mengkiaskannya.
catatan kedua :
Penentuan 1 Syawal
Mengacu pada hadits-hadits tentang penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal, maka untuk menentukan 1 Syawal adalah dengan rukyat, dengan melihat bulan terbit di sebelah barat setelah matahari terbenam pada hari ke-29 Ramadhan. Yang telah melihat bulan terbit (1 Syawal) berhak sekaligus berkewajiban mengumumkannya kepada masyarakat (orang banyak). Bila waktu itu belum terlihat bulan terbit, maka Ramadhan digenapkan, dicukupkan 30 hari, sehingga 1 Syawal dihitung, ditetapkan besoknya.
Yang tak mampu melihat bulan terbit hendaklah mempercayai dan mengikuti yang telah melihat bulan terbit. Yang mengamati bulan terbit hendaklah mengetahui posisi derjat utara atau selatannya bulan. Untuk dapat tahu posisi derjat utara atau selatannya bulan, maka si pengamat hendaklah mengetahui Ilmu Falaq/Ilmu Hisab. Dengan Ilmu Falaq/Ilmu Hisab maka dapat diketahui posisi derajat utara/selatan bulan.
Terlihat tidaknya bulan terbit juga tergantung dari posisi bujur timur/baratnya lokasi si pengamat. Dengan demikian, maka 1 Syawal bisa saja berbeda di antara suatu daerah/wilayah yang berbeda bujur timur/baratnya. Sehingga 1 Syawal untuk Indonesia tak harus sama dengan untuk Saudi Arabia.
(Disimak dari ceramah kuliah subuh, Kamis, 25 Agustus 2011 di Masjid Jami’ Al-Muhajirin, Jalan Komodo Raya, Perumnas Satu, Bekasi).
catatan ketiga :
Fatwa Muhammadiyah Tahun 1998 : 1
PENETAPAN AWAL BULAN, METODE HISAB MUHAMMADIYAH DAN SHALAT IED DIAM-DIAM KARENA BERBEDA PENETAPAN 1 SYAWAL
Pertanyaan dari:
Saudara Asrir, Tenggiri 12/204 Bekasi Selatan 17144
Tanya:
Badan Rukyah dan Hisab Departemen Agama menetapkan 1 Syawal 1418 H pada hari Jum’at, 30 Januari 1998, sedangkan Badan Hisab Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1418 H jatuh pada hari Kamis, 29 Januari 1998. Sehubungan dengan penetapan awal bulan Syawal dan juga awal bulan Ramadan (surat al-Baqarah ayat 185 dan hadis-hadis tentang rukyatul hilal) perkenankanlah saya mendapatkan informasi perihal berikut:
1. Apakah terlihat-tidaknya bulan baru (rukyatul-hilal) merupakan syarat sahnya penetapan awal bulan baru? Atau dengan kata lain, apakah 29 atau 30 harinya bulan Ramadan (dan juga bulan Sya’ban) tergantung pada terlihat-tidaknya bulan baru (bulan sabit)?
2. As-Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah hanya menyebutkan penetapan awal bulan Ramadan dengan rukyatul hilal, dan sama sekali tidak ada menyebut-nyebut berkenaan dengan penetapan secara hisab. Sejak kapankah mulainya penetapan awal bulan Ramadan dengan menggunakan perhitungan hisab dan siapakah pelopornya serta berdasarkan hasil ijtihad siapa?
3. Data dan metode hisab berbeda dengan data dan metode astronomi, hasilnyapun akan berbeda. Demikian juga data dan metode hisab yang satu berbeda dengan data metode hisab yang lain yang hasilnya juga akan berbeda. Apakah data dan metode hisab yang berbeda-beda itu dapat dipulangkan ke pangkalnya? Dan di mana pangkalnya (sumbernya)? Atau dengan kata lain, apakah ada sumber/induk data dari semua data dan metode hisab yang berbeda-beda itu?
4. Perhitungan hisab Mansuriyah mengacu kepada data dan metode (tabel) Zaij Sultan Ulugbeik Samarkand (Sulam Nairayain). Data dan metode hisab Muhammadiyah mengacu kepada tabel siapa? Dan di mana pangkalnya/sumbennya? Apakah dapat dipulangkan pada data dan metode astronomi? Di mana pangkal/sumber data tabel Ulugbeik itu?
5. Dikemukakan bahwa berdasarkan kriteria bulan di atas ufuk, maka hampir seluruh dunia akan berhari raya pada 29 Januani 1998. Tetapi bila menggunakan kritenia rukyat, maka Indonesia kemungkinan besan akan berhari raya pada 30 Januari 1998. Perbedaan akan muncul ketika ada kelompok yang tidak lagi mengakui pemerintah (Menteri Agama beserta Majlis Isbat) sebagai pengambil keputusan tunggal dengan membuat pengumuman sendiri (Republika, Selasa, 23 Desember 1997, halaman 6 ‘Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal Ramadan dan Hari Raya” oleh Dr. T. Djamaludin). Pertanyaan saya: Sah-tidaknya perhitungan hisab apakah memerlukan syahid/dukungan hasil rukyat?
6. Saya —kata Imam Syafi’i— suka mereka (yang duluan berbuka puasa Ramadan) supaya mengerjakan salat hari raya bagi diri mereka sendiri dengan berjama’ah dan sendiri-sendiri, yang menutup diri. Saya —lanjutnya— melarang mereka bahwa mengerjakan salat hari raya itu dengan terbuka (kitab salat dua hari dalam al-Um as-Syafi’i). Apakah maksud ucapan Imam as-¬Syafi’i tersebut?
Jawab:
1. Rukyatul hilal, sebagai salah satu cara untuk menentukan awal bulan qamariah. Cara yang lain ialah dengan memperoleh berita tentang rukyat, menggenapkan bilangan bulan yang sedang berlangsung selama 30 hari (istikmal) dan dengan perhitungan/hisab. Jadi rukyatul hilal tidaklah menjadi satu-satunya cara untuk menetapkan awal bulan.
2. Penentuan awal bulan dengan hisab dimulai sejak kaum muslimin mengenal Astronomi, yaitu pada zaman Tabiin Besar yang dilakukan oleh mazhab Mutraf ibn Syuhair seperti dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid juz I halaman 196. Dalam kitab itu disebutkan: “Bila hilal sulit diobservasi maka yang dipegangi ialah hasil hisab, yang merupakan hasil perhitungan peredaran Bulan dan Matahari. Landasan dari hisab ini ialah firman Allah surat Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ [يونس (10): 5]
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) …”
3. Bila perhitungan hisab didasarkan kepada sistem dan me¬tode yang akurat, hasilnya tidak akan berbeda, kalaupun ada hanyalah pada menit dan detik saja. Hal itu disebabkan karena pembulatan bilangan di belakang koma. Sewaktu-waktu perbedaan itu dapat dikontrol melalui tabel-tabel dan rumus yang dipergu¬nakan. Hasil perhitungan hisab yang didasarkan kepada per¬hitungan yang akurat itu sudah diuji kebenarannya melalui teori-teori dan observasi, sehingga hasilnya sudah meyakinkan.
4. Sistem dan metode hisab yang dipergunakan oleh Muham¬madiyah didasarkan pada kitab Hisab Urfi dan Haqiqy yang disu¬sun oleh K.H. KRT Wardan Diponingrat dan dikembangkan de¬ngan sistem dan metode Newcomb, Brauwn, Jean Meus dan teori-¬teori astronorni modern yang lain. Metode yang dikembangkan oleh Ulug Beik as-Samarkandi itu bersumber pada Ptolomeus yang menyusun kitab Tabril Majesti. Kitab itu sudah ditinggalkan orang karena masih menganut teori geosentris. Sekarang orang sudah memegangi heliosentris.
5. Hasil hisab yang dijadikan pegangan pada saat hilal sulit diobservir adalah sah berdasarkan firman Allah dalam surat Yunus ayat 5 di atas dan sabda Nabi saw riwayat al-Bukhari, Muslim, an-¬Nasai dan Ibnu Majah:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya:“Bila bulan itu terhalang untuk dirukyat kadarkan¬lah.”
5. Maksud ucapan Imam as-Syafi’i ialah siapa saja yang berhari raya lebih dahulu supaya bersalat Iedul Fitri secara diam-diam, tidak dilaksanakan secara frontal. Ucapan ini merupakan kebijakan Imam as-Syafi’i sebagai imam dari para pengikutnya. Tetapi Muhammadiyah berpegang pada kaidah yang telah ditetapkan dalam Muktamar dan sudah berjalan bertahun-tahun. Jadi tidak ada keharusan merubah kaedahnya selama belum diadakan perubahan.
catatan keempat :
Re : “Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal Ramadhan dan Hari Raya”, oleh T Djamaluddin (REPUBLIKA, Selasa, 23 Desember 1997, hal6)
Tanya :
1. Apakah “tinggi bulan” secara astronomi besarnya sama pada setiap mathla’ (meridian/bujur) ?
2. Apakah keakuratan data dan metoda hisab dapat dilacak secara astronomi. Dan apakah data dan metoda hisab yang berbeda-beda itu dapat dipulangkan pada satu sumber data dan metoda hisab yang sama ?
3. Dimana dapat diperoleh data dan metoda hisab “Tabulae Longitunis et Latitudinis” yang disusun oleh Ulugh Beg (Samarkand 1394-1449) ?
Jawab : Dr T Djamaluddin, LAPAN, Bandung, 2 Januari 1998)
1. Tinggi bulan tidak akan sama pada suatu garis bujur tertentu karena posisi bulan belum tentu pada ekuator langit. Tinggi bulan yang teramtai dari suatu daerah tergantung pada lintang daerah tersebut. Berbeda lintangnya, walaupun satu bujur, akan berbeda tinggi bulannya.
2. Kekuratan data dan metoda astronomi bisa diteliti dengan membandingkan dengan pengamatan. Salah satu cara yang terbaik membuktikan keakuratannya adalah menguji pengamatan gerhana matahari total karena itu adalah ijtima’ (konyugasi) yang teramati. Saat ini ketelitian data astronomi dalam penentuan posisi bulan sudah sangat akurat. Metoda yang dikembangkan pusat-pusat data dunia semuanya sudah menghasilkan data posisi bulan yang hampir sama dengan akurasi yang tinggi.
3. Tentang data dan metoda hisab Ulugh Beg tidak mengetahuinya. Buku-buku hisab astronomi dan softwarenya bisa dipesan di Willmann-Bell, Virginia, USA.
catatan kelima :
Monon nasehat/petunjuk
Dalam terjemahan “ Al-Umm” Imam Syafi’i, oleh Prof TK H Ismail Yakub SH MA, terbitan Faizan, Semarang, 1981, jilid II, hal 97, Kitab Shalat Dua Hari Raya tercantum keterangan berikut :
“ Kalau naik saksi dua orang saksi atau lebih (bahwa mereka telah melihat rukyatul hilal ?), maka mereka boleh berbuka puasa. Saya suka amereka supaya mengerjakan shalat hari raya, bagi diri mereka sendiri dengan berjama’ah dan sendiri-sendiri, yang menutup diri. Saya memandang mereka bahwa mengerjakan shalat hari raya itu dengan terbuka.
Sesungguhnya saya menyuruh mereka supaya bershalat dengan tertutup dan melarang mereka bershalat dengan terbuka, supaya tidak mereka itu ditantang orang. Dan dharap oleh orang-orang yang suka memeah belah untuk menceraiberaikan kaum muslimin yang awam.
Begitu juga kalau naik saksi satu orang, lalu tidak diketahui adilnya, niscaya tidak diberi keluasan kepada oang itu selain berbuka. Dan ia sembunyikan berbukanya itu. Supaya tidak buruk sangka seseorang kepadanya. Dan ia sembahyang hari raya bagi dirinya sendiri. Kemudian ia hadir sesudahnya itu, kalau ia mau, shalat hari raya bersama orang banyak. Maka adalah itu sunat yang baik baginya. “
catatan keenam :
Terjadinya perbedaan dalam penetapan awal syawal
Apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam penetapan awal syawal :
– apakah karena perbedaan daftar, tabel yang digunakan dalam perhitungan hisab ? (rujukan, referensi, sumber data).
– ataukah karena perbedaan cara perhitungan hisab ? (metode, cara pengolahan data).
– ataukah karena perbedaan input, masukan data ?
– ataukah karena perbedaan hasil perhitungan hisab untuk ijtima’, irtifa’, jihat, mukuts, manzil ?
– ataukah karena perbedaan pemahaman tentang “ghumma ‘alaikum”, terhalang (oleh awan atau uang ?) ataukah tak terlihat ?
catatan ketujuh :
Mencari titik temu Hisab dan Asronomi
Terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan/Syawal pada tepat tertentu merupakan adanya indikasi perbedaan pemahaman dan latar belakang Ahli Rukyah, Hisab dan Astronomi. Antara sesama Ahli Rukyat barangkali tak sama memahami. Antara sesama Ahli Hisab pun barangkali tak sama memahami. Antara Ahli Hisab dan Astronomi juga barangkali tak sama memahami.
Masing-masing mempunyai rujukan, referensi, sumber data (data awal), cara pengolahan data tersendiri, yang satunya berbeda dengan yang lain. karena masukannya/inputnya (referensi, sumber data) berbeda dan cara pemoresannya (pengolahan dataanya) juga berbeda dan cara pemoresannya (pengolahan datanya) juga berbeda, maka dengan sendirinya, keluarannya/outputnya juga akan berbeda. Dengan demikian diperlukan adanya upaya agar antar Ahli Hisab dan Astronom dapat saling memahami, saling mengerti berkenaan dengan rujukan/referensi, sumber data (data awal), table/jadwal, dan cara pengolahan data.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108250700)