Monthly Archives: Agustus 2011

Terjadinya perbedaan penetapan awal bulan Qamariah

catatan serbaneka asrir pasir

Perbedaan penetapan awal bulan Qamariah

catatan kesatu :

Bagaimana cara kita mengetahui awal Ramadhan, awal Syawal ?

1. Patokan :
1. Satu bulan : minimum : 29 hari; maximmun : 30 hari.
2. Kesaksian saksi ahli yang menyatakan terbitnya bulan, lebih didahulukan dari keterangan yang menolak atau membantahnya.
2. Dengan menggunakan pengamatan sendiri :
1. Dalam keadaan biasa (normal). Dalam keadaan yang memungkinkan, seyogianya kita secara langsung menyaksikan terbitnya bulan (hilal) dengan mata sendiri pada saat sesudah terbenam matahari pada sore hari 29 Sya’ban. Itulah cara yang lebih memadai. Bilamana pada saat itu kita menyaksikan terbitnya bulan (hilal) maka awal Ramadhan mulai pada malam tersebut, dan bilamana tidak, maka awal Ramadhan mulai pada malam brikutnya (besoknya).
2. Dalam keadaan tak biasa (adnya gangguan, hambatan, rintangan). Dalam keadaan yang tak memungkinkan kita secara langsung menyaksikan terbitnya bulan (hilal) dengan mata sendiri, karena adanya beberapa factor hambatan, rintangan, halangan, gangguan, maka cukup memadai bagi kita dengan melakukan perhitungan, yaitu dengan memperhitungkan Sya’ban 30 Hari. Awal ramadhan dihitung mulai dari malam sesudah terbenam matahari sore hari 30 Sya’ban.
Faktor-faktor yang merintangi kita menyasikan terbitnya bulan :
– cuaca mendung, langit tertutup awan, diselaputi kabut.
– pandangan tertutup oleh bangunan gedung, hutan, bukit, gunung.
– lokasi wilayah sangat jauh disebelah khatulistiwa.
3. Dengan menggunakan pengamatan saksi ahli. Bilamana sudah ada saksi ahli yang dapat dipercaya menyatakan, bahwa terbitnya bulan (hilal) adalah pada malam sesudah terbenam matahari sore harai 29 Sya’ban, maka awal Ramadhan aalah pada malam tersebut, dan bilamana belum ada saksi ahli yang menyatakannya, maka awal Ramadhan dihitung pada malam berikutnya.
Saksi ahli : ahli rukyah, ahli hisab.
4. Kesimpulan :
1. Dengan mengikuti hasil pengamatan ahli rukyah, kecuali alau ahli hisab telah mengabarkan terbitnya bulan lebih dahulu.
2. Mengikuti hasil pengamatan ahli hisab, kecuali kalau ahli rukyah telah mengabarkan terbitnya bulan lebih dahulu.
Untuk mengetahui awal Syawal, silakan mengkiaskannya.

catatan kedua :

Penentuan 1 Syawal

Mengacu pada hadits-hadits tentang penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal, maka untuk menentukan 1 Syawal adalah dengan rukyat, dengan melihat bulan terbit di sebelah barat setelah matahari terbenam pada hari ke-29 Ramadhan. Yang telah melihat bulan terbit (1 Syawal) berhak sekaligus berkewajiban mengumumkannya kepada masyarakat (orang banyak). Bila waktu itu belum terlihat bulan terbit, maka Ramadhan digenapkan, dicukupkan 30 hari, sehingga 1 Syawal dihitung, ditetapkan besoknya.

Yang tak mampu melihat bulan terbit hendaklah mempercayai dan mengikuti yang telah melihat bulan terbit. Yang mengamati bulan terbit hendaklah mengetahui posisi derjat utara atau selatannya bulan. Untuk dapat tahu posisi derjat utara atau selatannya bulan, maka si pengamat hendaklah mengetahui Ilmu Falaq/Ilmu Hisab. Dengan Ilmu Falaq/Ilmu Hisab maka dapat diketahui posisi derajat utara/selatan bulan.

Terlihat tidaknya bulan terbit juga tergantung dari posisi bujur timur/baratnya lokasi si pengamat. Dengan demikian, maka 1 Syawal bisa saja berbeda di antara suatu daerah/wilayah yang berbeda bujur timur/baratnya. Sehingga 1 Syawal untuk Indonesia tak harus sama dengan untuk Saudi Arabia.

(Disimak dari ceramah kuliah subuh, Kamis, 25 Agustus 2011 di Masjid Jami’ Al-Muhajirin, Jalan Komodo Raya, Perumnas Satu, Bekasi).

catatan ketiga :
Fatwa Muhammadiyah Tahun 1998 : 1
PENETAPAN AWAL BULAN, METODE HISAB MUHAMMADIYAH DAN SHALAT IED DIAM-DIAM KARENA BERBEDA PENETAPAN 1 SYAWAL
Pertanyaan dari:
Saudara Asrir, Tenggiri 12/204 Bekasi Selatan 17144

Tanya:
Badan Rukyah dan Hisab Departemen Agama menetapkan 1 Syawal 1418 H pada hari Jum’at, 30 Januari 1998, sedangkan Badan Hisab Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1418 H jatuh pada hari Kamis, 29 Januari 1998. Sehubungan dengan penetapan awal bulan Syawal dan juga awal bulan Ramadan (surat al-Baqarah ayat 185 dan hadis-hadis tentang rukyatul hilal) perkenankanlah saya mendapatkan informasi perihal berikut:
1. Apakah terlihat-tidaknya bulan baru (rukyatul-hilal) merupakan syarat sahnya penetapan awal bulan baru? Atau dengan kata lain, apakah 29 atau 30 harinya bulan Ramadan (dan juga bulan Sya’ban) tergantung pada terlihat-tidaknya bulan baru (bulan sabit)?
2. As-Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah hanya menyebutkan penetapan awal bulan Ramadan dengan rukyatul hilal, dan sama sekali tidak ada menyebut-nyebut berkenaan dengan penetapan secara hisab. Sejak kapankah mulainya penetapan awal bulan Ramadan dengan menggunakan perhitungan hisab dan siapakah pelopornya serta berdasarkan hasil ijtihad siapa?
3. Data dan metode hisab berbeda dengan data dan metode astronomi, hasilnyapun akan berbeda. Demikian juga data dan metode hisab yang satu berbeda dengan data metode hisab yang lain yang hasilnya juga akan berbeda. Apakah data dan metode hisab yang berbeda-beda itu dapat dipulangkan ke pangkalnya? Dan di mana pangkalnya (sumbernya)? Atau dengan kata lain, apakah ada sumber/induk data dari semua data dan metode hisab yang berbeda-beda itu?
4. Perhitungan hisab Mansuriyah mengacu kepada data dan metode (tabel) Zaij Sultan Ulugbeik Samarkand (Sulam Nairayain). Data dan metode hisab Muhammadiyah mengacu kepada tabel siapa? Dan di mana pangkalnya/sumbennya? Apakah dapat dipulangkan pada data dan metode astronomi? Di mana pangkal/sumber data tabel Ulugbeik itu?
5. Dikemukakan bahwa berdasarkan kriteria bulan di atas ufuk, maka hampir seluruh dunia akan berhari raya pada 29 Januani 1998. Tetapi bila menggunakan kritenia rukyat, maka Indonesia kemungkinan besan akan berhari raya pada 30 Januari 1998. Perbedaan akan muncul ketika ada kelompok yang tidak lagi mengakui pemerintah (Menteri Agama beserta Majlis Isbat) sebagai pengambil keputusan tunggal dengan membuat pengumuman sendiri (Republika, Selasa, 23 Desember 1997, halaman 6 ‘Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal Ramadan dan Hari Raya” oleh Dr. T. Djamaludin). Pertanyaan saya: Sah-tidaknya perhitungan hisab apakah memerlukan syahid/dukungan hasil rukyat?
6. Saya —kata Imam Syafi’i— suka mereka (yang duluan berbuka puasa Ramadan) supaya mengerjakan salat hari raya bagi diri mereka sendiri dengan berjama’ah dan sendiri-sendiri, yang menutup diri. Saya —lanjutnya— melarang mereka bahwa mengerjakan salat hari raya itu dengan terbuka (kitab salat dua hari dalam al-Um as-Syafi’i). Apakah maksud ucapan Imam as-¬Syafi’i tersebut?

Jawab:
1. Rukyatul hilal, sebagai salah satu cara untuk menentukan awal bulan qamariah. Cara yang lain ialah dengan memperoleh berita tentang rukyat, menggenapkan bilangan bulan yang sedang berlangsung selama 30 hari (istikmal) dan dengan perhitungan/hisab. Jadi rukyatul hilal tidaklah menjadi satu-satunya cara untuk menetapkan awal bulan.
2. Penentuan awal bulan dengan hisab dimulai sejak kaum muslimin mengenal Astronomi, yaitu pada zaman Tabiin Besar yang dilakukan oleh mazhab Mutraf ibn Syuhair seperti dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid juz I halaman 196. Dalam kitab itu disebutkan: “Bila hilal sulit diobservasi maka yang dipegangi ialah hasil hisab, yang merupakan hasil perhitungan peredaran Bulan dan Matahari. Landasan dari hisab ini ialah firman Allah surat Yunus ayat 5:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ [يونس (10): 5]

Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) …”
3. Bila perhitungan hisab didasarkan kepada sistem dan me¬tode yang akurat, hasilnya tidak akan berbeda, kalaupun ada hanyalah pada menit dan detik saja. Hal itu disebabkan karena pembulatan bilangan di belakang koma. Sewaktu-waktu perbedaan itu dapat dikontrol melalui tabel-tabel dan rumus yang dipergu¬nakan. Hasil perhitungan hisab yang didasarkan kepada per¬hitungan yang akurat itu sudah diuji kebenarannya melalui teori-teori dan observasi, sehingga hasilnya sudah meyakinkan.
4. Sistem dan metode hisab yang dipergunakan oleh Muham¬madiyah didasarkan pada kitab Hisab Urfi dan Haqiqy yang disu¬sun oleh K.H. KRT Wardan Diponingrat dan dikembangkan de¬ngan sistem dan metode Newcomb, Brauwn, Jean Meus dan teori-¬teori astronorni modern yang lain. Metode yang dikembangkan oleh Ulug Beik as-Samarkandi itu bersumber pada Ptolomeus yang menyusun kitab Tabril Majesti. Kitab itu sudah ditinggalkan orang karena masih menganut teori geosentris. Sekarang orang sudah memegangi heliosentris.
5. Hasil hisab yang dijadikan pegangan pada saat hilal sulit diobservir adalah sah berdasarkan firman Allah dalam surat Yunus ayat 5 di atas dan sabda Nabi saw riwayat al-Bukhari, Muslim, an-¬Nasai dan Ibnu Majah:

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ [رواه البخاري ومسلم]

Artinya:“Bila bulan itu terhalang untuk dirukyat kadarkan¬lah.”
5. Maksud ucapan Imam as-Syafi’i ialah siapa saja yang berhari raya lebih dahulu supaya bersalat Iedul Fitri secara diam-diam, tidak dilaksanakan secara frontal. Ucapan ini merupakan kebijakan Imam as-Syafi’i sebagai imam dari para pengikutnya. Tetapi Muhammadiyah berpegang pada kaidah yang telah ditetapkan dalam Muktamar dan sudah berjalan bertahun-tahun. Jadi tidak ada keharusan merubah kaedahnya selama belum diadakan perubahan.
catatan keempat :
Re : “Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal Ramadhan dan Hari Raya”, oleh T Djamaluddin (REPUBLIKA, Selasa, 23 Desember 1997, hal6)

Tanya :

1. Apakah “tinggi bulan” secara astronomi besarnya sama pada setiap mathla’ (meridian/bujur) ?
2. Apakah keakuratan data dan metoda hisab dapat dilacak secara astronomi. Dan apakah data dan metoda hisab yang berbeda-beda itu dapat dipulangkan pada satu sumber data dan metoda hisab yang sama ?
3. Dimana dapat diperoleh data dan metoda hisab “Tabulae Longitunis et Latitudinis” yang disusun oleh Ulugh Beg (Samarkand 1394-1449) ?

Jawab : Dr T Djamaluddin, LAPAN, Bandung, 2 Januari 1998)

1. Tinggi bulan tidak akan sama pada suatu garis bujur tertentu karena posisi bulan belum tentu pada ekuator langit. Tinggi bulan yang teramtai dari suatu daerah tergantung pada lintang daerah tersebut. Berbeda lintangnya, walaupun satu bujur, akan berbeda tinggi bulannya.
2. Kekuratan data dan metoda astronomi bisa diteliti dengan membandingkan dengan pengamatan. Salah satu cara yang terbaik membuktikan keakuratannya adalah menguji pengamatan gerhana matahari total karena itu adalah ijtima’ (konyugasi) yang teramati. Saat ini ketelitian data astronomi dalam penentuan posisi bulan sudah sangat akurat. Metoda yang dikembangkan pusat-pusat data dunia semuanya sudah menghasilkan data posisi bulan yang hampir sama dengan akurasi yang tinggi.
3. Tentang data dan metoda hisab Ulugh Beg tidak mengetahuinya. Buku-buku hisab astronomi dan softwarenya bisa dipesan di Willmann-Bell, Virginia, USA.

catatan kelima :

Monon nasehat/petunjuk

Dalam terjemahan “ Al-Umm” Imam Syafi’i, oleh Prof TK H Ismail Yakub SH MA, terbitan Faizan, Semarang, 1981, jilid II, hal 97, Kitab Shalat Dua Hari Raya tercantum keterangan berikut :

“ Kalau naik saksi dua orang saksi atau lebih (bahwa mereka telah melihat rukyatul hilal ?), maka mereka boleh berbuka puasa. Saya suka amereka supaya mengerjakan shalat hari raya, bagi diri mereka sendiri dengan berjama’ah dan sendiri-sendiri, yang menutup diri. Saya memandang mereka bahwa mengerjakan shalat hari raya itu dengan terbuka.

Sesungguhnya saya menyuruh mereka supaya bershalat dengan tertutup dan melarang mereka bershalat dengan terbuka, supaya tidak mereka itu ditantang orang. Dan dharap oleh orang-orang yang suka memeah belah untuk menceraiberaikan kaum muslimin yang awam.

Begitu juga kalau naik saksi satu orang, lalu tidak diketahui adilnya, niscaya tidak diberi keluasan kepada oang itu selain berbuka. Dan ia sembunyikan berbukanya itu. Supaya tidak buruk sangka seseorang kepadanya. Dan ia sembahyang hari raya bagi dirinya sendiri. Kemudian ia hadir sesudahnya itu, kalau ia mau, shalat hari raya bersama orang banyak. Maka adalah itu sunat yang baik baginya. “

catatan keenam :

Terjadinya perbedaan dalam penetapan awal syawal

Apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam penetapan awal syawal :

– apakah karena perbedaan daftar, tabel yang digunakan dalam perhitungan hisab ? (rujukan, referensi, sumber data).
– ataukah karena perbedaan cara perhitungan hisab ? (metode, cara pengolahan data).
– ataukah karena perbedaan input, masukan data ?
– ataukah karena perbedaan hasil perhitungan hisab untuk ijtima’, irtifa’, jihat, mukuts, manzil ?
– ataukah karena perbedaan pemahaman tentang “ghumma ‘alaikum”, terhalang (oleh awan atau uang ?) ataukah tak terlihat ?

catatan ketujuh :

Mencari titik temu Hisab dan Asronomi

Terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan/Syawal pada tepat tertentu merupakan adanya indikasi perbedaan pemahaman dan latar belakang Ahli Rukyah, Hisab dan Astronomi. Antara sesama Ahli Rukyat barangkali tak sama memahami. Antara sesama Ahli Hisab pun barangkali tak sama memahami. Antara Ahli Hisab dan Astronomi juga barangkali tak sama memahami.

Masing-masing mempunyai rujukan, referensi, sumber data (data awal), cara pengolahan data tersendiri, yang satunya berbeda dengan yang lain. karena masukannya/inputnya (referensi, sumber data) berbeda dan cara pemoresannya (pengolahan dataanya) juga berbeda dan cara pemoresannya (pengolahan datanya) juga berbeda, maka dengan sendirinya, keluarannya/outputnya juga akan berbeda. Dengan demikian diperlukan adanya upaya agar antar Ahli Hisab dan Astronom dapat saling memahami, saling mengerti berkenaan dengan rujukan/referensi, sumber data (data awal), table/jadwal, dan cara pengolahan data.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108250700)

Tinggalkan komentar

Filed under Tak Berkategori

Tasauf

catatan serbaneka asrir pasir

Tasaufi

Menurut Abul A’la al-Maududi, Fiqih berkaitan dengan amal ibadah lahir (ritual ?). Sedangkan Tasauf berkaitan dengan amal ibadah batin (hati). Tasauf memperhatikan, membahas keadaan hati ketika menunaikan ibadah, tentang keikhlasannya, tentang ketulusannya, tentang kejernihan niat-motivasinya. Dalam pandangan Islam tidaklah akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti (ittiba’ ?) secara sempurna dan benar semua hukum syara’ dari sisi lahir dan batin.

Namun sayang, kemudian terjadi penyelewengan, penyimpangan, penyesatan dalam tasauf akibat masuknya pengaruh, penyusupan, infiltrasi dari ajaran-ajaran filsafat non-Islam dengan memakai label/topeng/simbol tasauf Islam, yang mengakibatkan tasauf terlepas (atau melepaskan diri) dari Islam. Abul A’la sendiri mengakui bahwa ia adalah penantang tasauf ini. Yaitu tasauf gadungan, yang menyimpang, yang menyeleweng dari Islam. Abul A’la al-Maududi memperingatkan bahwa “Orang yang tidak mengikuti Rasulullah saw secara benar dan tidak mengikat dirinya dengan jalan yang benar yang telah ditunjukannya, tidaklah berhak untuk menyebut dirinya sebagai sufi Islami. Sebab tasauf seperti ini sama sekali bukan bagian dari Islam”.

HAS al-Hamdani juga menggugat tasauf gadungan tersebut dengan bukunya “Sanggahan Terhadap Tashawuf & Ahli Sufi”, terbitan al-Ma’arif, Bandung, 1982. Al-Hamdani berupaya bersikap adil, berdiri di tengah-tengah. Membenarkan hal yang benar dan menolak hal yang batil. Sambil memberikan yang layak menerima pujian atau celaan. Prof Dr Hamka sengaja menulis buku panduan tentang tasauf berjudul “Tasauf Modern”. Dalam kaitannya fiqih dan tasauf ini, Cak Nun (Emha Anun Nadjib) secara halus menggiring kita (pembaca tulisannya) untuk bersimpati pada sufiah dan antipati terhdap fiqhiyah. (Simak “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, terbitan Mizan, Bandung, 1997, hal 397-398). Dalam tayangan pagi suatu stasiun telvisi dihadirkan pembahasan tentang buku “Mereguk Sari Tasauf” (Garden of Truth).Al-Kautsar menerbitkan “Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim sebagai “Pejabaran Kongkrit ‘Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in’). Darul Falah menerbitkan “Darah Hitam Tasawuf” Ihsan Ilahi Dhahir, sebagai “Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi”.

(Simak :
– ‘Abdul Qadir Isa : “Hakekat Tasawuf” (Haqa’iq at Tasawwuf), terbitan Qisthi Press, Jakarta, 2006, hal 444-446.
– Abul A’la al-Maududi : “Prinsip-prinsip Islam” (Mabadi al Islam), terbitan al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 126-129.
– Abul A’la al-Maududi : “Sejarah Pembaruan dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama” (Tajdiid ad-Diin wa Ihyaa-ihi), terbitan Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal 111-113).

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108280815)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Bagaimana memahaminya ?

catatan serbaneka asrir pasir

Bagaimana memahaminya ?

Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik cendekia : Allah sendiri itu Maha humor. Sudah enak-enak hidup sendiri kok bikin macam-macam makluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di surge, dibiarkan tercampak ke bumi. Kok lucu. Buah Quldi saja kok ndak boleh dimakan. Mbok ya biar. Apa sih ruginya Tuhan kehilangan sebiji Qldi ? Mbok biarkan Adam kawan sama hawa di surge, pengantinan dan pesta sampai anak turunannya sekarang ini. Kenapa makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh kesempatan bercengkerama mesara denganNya. Lucu. Pakai bikin Iblis-Setan segala (Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, bandung, 1997, hal 162, dari SUARA MERDEKA, 25 September 1992).

Penting pulakah Anda menanyakan kenapa Tuhan, melalui nabi Ibrahim, menentukan Ka’bah didirikan di tempat itu ? Adakah karena kebetulan sja kampong Ibrahim memang di situ ? Kenapa pula Tuhan menentukan Ibrahim lahir di negeri dan tanah itu, dan tidak di Timor Timur misalnya ? Bahkan kenaapa pula seluruh Nabi hanya muncul di Timur Tengah ? Kenapa tak dibagi : Cina punya satu Nabi, India punya satu Nabi, Jawa punya satu Nabi, dan seterusnya ? Ini pertanyaan bukan untuk “menggugat” Tuhan, melainkan justruuntuk membuka pintu rahasia ilmu dan kehendak-Nya (idem, hal 118, dari SUARA MERDEKA, 18 Juli 1992).

Barangkali saja kehidupan memang memiliki watak dan gayanya sendiri : manusia hidup dalam berbagai perbedaan, pertentangan, bahkan ketimpangan. Seolah-olah Tuhan sengaja menakdirkan seseorang menjadi kaya, sementara yang lain melarat, semelarat-melaratnya. seseorang bisa memiliki sekaligus ratusan perusahaan, yang diperoleh secara wajar, professional, maupun melakukan bocoran-boran brokratisme dan nepotisme, sehingga setiap saat bisa disewanya seribu pesawat untuk dimilikinya sendirian. Sementara seorang yang lain membeli ratusan map dan kertas surat lamaran kerja yang bertahun-tahun tak diterima oleh kantor perusahaan mana pun. Atau membanting tulang daging sehari penuh untuk beberapa ratus rupiah (idem, hal 58, dari SUARA MERDEKA, 30 Oktober 1991). (Sekedar ilustrasi, simak juga kasus Muhamamd Nazaruddin, Gayus Tambunan, pencuri tiga buah coklat, dan lain-lain).

Amir Hamzah menggambarkan betapa tak berdayanya, tak mampunya manusia dalam menghadapi kehendak/kekuasaan Tuhan. manusia dilukiskan seakan-akan hanalah merupakan permainan belaka, seumpama golek (boneka) dalam permainan wayang untuk menghibur (menyenangkan) sang dalang (Drs Samaun : “Napas Ketuhanan Dalam Puisi Indonsia Modern”, dalam GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, Nop.2, Tahun I, 1967, hal 11).

Salah satu dari ucapan Jaham ibnu Shafwan – pemimpin jabariyah – adalah sebagai berikut : Manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia tidak mempunyai “kesanggupan”. Dia hanya terpaksa dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada dirinya. dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-katung di udara, bergerak ke sana-sini menurut hembusan angin (Prof Dr A Syalabi : “Sejarah dan Kebudayaan Isla”, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1983, jilid II, hal 379).

Allah kasih manusia rejeki menurut kemashlahatan mereka. Ia mengkayakan orang yang memang laya memiliki kekayaan. Dan memiskinkan orang yang memang berhak jadi orang miskin. Allah lebih tahu apa yang bermashalahat bagi manusia, dan yang tidak bermashlahat bagi mereka (PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.537, hal 7, dari Al-LIWA al_ISLAM).

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS9801290700)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

MH (Emha) dan MH (Muhammadiyah)

catatan serbaneka asrir pasir

MH (Emha) dan MH (Muhammadiyah)

Menurut ijtihad seniman/budayawan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Muhammadiyah “kurang akrab dengan budaya sehingga menyebabkan kurang tanggap, padahal banyak sekali kekayaan disana yang patut untuk dikenali”. Saya rasa – kata Cak Nun – kita semua masih perlu banyak belajar. kita terlalu cepat mengambil kesimpulan, keputusan dan tudingan, akan tetap tidak mempelajari proses pengambilan datanya, proses analisisnya, proses simulasi sosial budayanya, sehingga kita terjebak dalam mempersoalkan hal yang kita sama-sama belum faham betul (SUARA ‘AISYIYAH, Yogyakarta, No.2/2011, hal 14, “Ijtihad Kesenian & Kebudayaan Merupakan Sunnatullah”.

Pada satu sisi, Cak Nun mengajari kita, bahwa “demokrasi di daam Islam bukan hanya demokrasi yang dikenal manusia, tetapi jin, setan dan makhluk gaib lainnya kenal dan diberi haknya masing-masing sesuai dengan posisinya. Demokrasi itu sekedar berposisi seperti nasi. Berasnya, benihnya dan sawahnya ada di mana-mana. Apalagi dalam Islam (Enha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, terbitan Mizan, Bandung, 1997, hal 240,243).

Tapi pada sisi lain menanamkan benih primordial, sektarianisme. Secara halus Cak Nun menggiring kita pembaca untuk berkesimpati pada sufiah dan antipati terhadap fiqhiyah. (Berhubungan dengan ini, simak juga Abul A’la a-lMaududi :”Tajdii-d ad-Din wa Ihyaa-ihi”[ Edisi Indonesia [“Sejarah Pembaruan dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama”, terbitan, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal 111-112; “Prinsip-Prinsip Islam”, terbitan al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 126-129; SA al-Hamdany : “Sanggahan terhadap Tashawuf & Ahli Sufi”, al-Ma’arif, Bandung, 1982).

Fiqih – jelas Cak Nun – tidak sama dan sebanun dengan agama. Agama tu karya Allah, fiqih itu karya manusia. Para pengajar dan penganjur agama terlalu fanatic untuk member tahu kita bahwa agama iktu dogma, bukan cakrawala (wawasan ?). Bahwa syari’at itu aturan, bukan ilmu. Bahwa fiqih itu pakem, bukan “dinamika kata kerja” (Idem, hal 397-398).

Fiqih – lanjut Cak Nun – mengurusi (membicarakan) wajib, sunat, mubah, makruh, haram, halal, sah, batal, bid’ah, sunnah, kaifiat shalat, shaum dan lain-lain yang sejenis. Yang baru pada taraf belajar, bahkan yang sudah pada thap terbiasa shalat dan shaum, bila merasakan rasukan aroma antipasti pada fiqhiyah akan berdampak merebak antipasti pada larangan bid’ah, setidaknya bersikap sinis.

Di dusun saya – kata Cak Nun – kami berbuka puasa begitu suara bedug berbunyi. Bedug sesuai dengan momentum dan konteksnya adalah bagian dari kenikmatan budaya keislaman kami. Tapi karena katanya (menurut sejumlah muballigh Muhammadiyah) bedug itu bid’ah, ya kami harus tak keberatan untuk membuangnya serta menggantukannya dengan pengeras suara dan kaset yang katanya juga tidak termasuk bid’ah. Kami merasakan kehilangan, meskipun tetap rela demi pemurnian Islam. Bahkan kami – lanjut Cak Nun – juga tak bisa berlagu-lagu pujian menjelang sembahyang. Juga tidak lagi melakukan wirid kolektif, melainkan sendiri-sendiri, sehingga akhirnya amat sedikit saja yang melakukan wirid. Tapi tak apa. Demi pemurnian Islam. Kita harus menjalankan sesuatu yang sungguh-sungguh diajarkan oleh Nabi. Ketika kemudian saya – Cak Nun melanjutkan – merantau ke Yogya, pusatnya Muhammadiyah, organisasi modern yang memurnikan umat Islam dari bid’ah-bid’ah, sya mencoba mencari pengganti estetika yang hilang itu, sebab saya yakin Muhammadiyah lebih memiliki kualaitas dan keterampilan modern untuk menggarap seni budaya Islam (idem, hal 388-389).

Yang pasti tak akan sampai mencari-cari pengganti “’ijil” (QS 7:148). Bahkan tak akan meminta-minta yang sejenis dengan yang diminta Ahli Kitab kepada Nabi Muhammad. Apalagi tak akan meminta-minta yang sejenis dengan yang diminta Ahli Kitab kepada nabi Musa (QS 4:153).

Suatu gerakan swadesi dalam Islam – kata Cak Nun – pernah ingin “membersihkan” (budaya) itu semua dan memilih suatu hal yang disebut “pemurnan” Islam atau “kembali kepada al-Quran dan Sunnah”. Sayang proses “perasionalan” kehidupan agama itu agak kurang dilandasi pemahaman dan kesadaran mengenai proses budaya manusia dan masyarakat. Maka yang diberantas pada umumnya adalah “bentuk-bentuk budaya dan bukannya pemahaman dan sikap terhadap bentuk-bentuk budaya” itu. Dengan kata lain : ingin membuang krikil dalam nasi dengan cara membuang seluruh nasi di piring, atau ingin menyembuhkan borok dengan memotong kaki. Tradisi-tradisi budaya atau seni keagamaan dihapus tanpa diberikan gantinya : akhirnya kaum Muslimin diseret oleh arus lain yang justru datang dari luar dirinya dan mengancam eksistensi akidah keislaman mereka. Paket-paket budaya Islam tradisional dipenggal begitu saja, bukan sekedar direduksi unsur-unsur bid’ah-khurafat atau kleniknya (idem, hal 209-210). (Pada kontek kekinian, perlu juga diperhatikan, ditanggapi, direspon oleh FPI dalam melakukan tindak preventif terhadap kemunkaran, kemaksiatan, kejorokan).

Padahal – kata Cak Nun – bebas merdeka menikmati tradisi budaya itulah yang mendatangkan kebahagiaan. Budaya mudik misal, berjejal-jejal di stasiun, di terminal, di gerbong-geerbong, di kepengapan bis dan di berbagai kendaraan lain bermuatan kebahagiaan, bukannya menyikas, meletihkan atau memuakkan (idem, hal 409). (Ajaran Islam bisa dipahami dari berbagai sudut pandang, dari sudut politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, spiritual, moral, etika. Simak “Ijtihad dalam Kesenian dan Kebudayaan Merupakan Sunnatullah”, SUARA ‘AISYIYAH, No.2/2011, hal 14).

Ini hanya sekedar komparasi picisan awam (asrir pasir) dari kecenderungan luasnya cakrawala budaya MH (Emha) dan kecenderungan sempitnya (?) cakrawala agama MH (Muhammadiyah). rasa-rasanya Muhammadiyah tak akan mampu menarikan pengganti budaya lomba pajang sajak di Pekan Raya kaz (gelanggang dagang, budaya, dan kebebasan berusara tanpa batasan).

Terserah pada kita (masing-masing), apakah bahagia di dalam atgaukah di luar Padang Bulan. Sekali-sekali bolehlah berguru pada Cak Nun mengenai cara-cara membersihkan “budaya” minuman yang ketumpahan “bid’ah” miras. semoga nanti tak akan membudayakan bid’ah, dan sekaligus juga tak akan membid’ahkan budaya? (Dalam konteks ini disebutkan bahwa ‘urf, ‘adat, kebiasaan yang shahih menurut agama adalah termasuk ke dalam muhakkamah, dasar/acuan hukum. Simak Drs M Umar, dkk : “Fiqih-Ushul Fiqih-Maantiq untuk Madrasah Aliyah”, Depag, Jakarta, 1985, jilid 3, hal 109-112, tentang “’Urf”).

(written by sicumpaz@gmail. com at BKS9802080600)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Seni dalam pandangan Ulama

catatan serbaneka asrir pasir

Seni dalam pandangan Ulama

Islam menetapkan bahwa semua aktivitas hidup di dnia ini harus selalu diarahkan untuk tujuan/maksud baik dan benar-benar ikhlas karena Allah, dan tidaklah bebas secara mutlak diserahkan kepada kemauan manusia.

Syarak menghalalkan yang makruf dan mengharamkan yang munkar. Yang makruf termasuk yang mashalih. Yang munkar termasuk yang mafasid. Segala sesuatu yang bermanfa’at adalah boleh (al-ibahah) selama tidak ada dalil lain yang bertentangan dengan itu. Segala sesuatu yang ada mudharatnya adalah haram. Inilah hukum asal.

Mustahil ada nash yang membolehkan mendahulukan memetik kemashalahtan daripada menolak kefasadan.

Memang benar, bahwa sesungguhnya Allah ta’ala itu Maha Indah. Ia menyukai keindahan. Keindahan dapat dijelamakan dalam kesenian. Tapi juga benar, bahwa khabaits, maksiat, kemunkaran juga dijumpai di dalam kesenian. Tarian wanita telanjang, lukisan porno, dan tulisan yang mengejek Islam terlarang.

Lagu-lagu, nyanyi-nyanyi yang diharamkan (yang tidak dibolehkan antara lain : yang dapat menyesatkan orang untuk meningggalkan jalan-jalan Allah, yang cabul, porno, hot, yang menmbulkan perangsangan nafsu-nafsu syahwat tak pada tempatnya.

Terlarang bernyanyi yang merangsang orang minum arak.

Nyanyian yang disertai/dicampuri dengan minum arak, pergaulan dengan wanita, hal-hal yang membawa kepada maaksiat adalah haram.

Syair-syair yang diharamkan oleh Islam adalah syair-syair yang dihasilkan oleh penyanyi-penyanyi jahat dan bejat budi pekertinya. Gerakan-gerakan, nyanyian terlarang apabila menimbulkan ftnah, disertai/dicmpuri pergaaulan yang tidak halal antara muda-mudi.

Nyanyian terlarang apabila menggerakkan kepada perbuatan jahat, disertai/dicampuri dengan minum arak, membuang-buang waktu, meninggalkan pekerjaaan yang wajib. Terlarang bernyanyi dengan kata-kata yang mengandung sifat-sifat seseorang perempuan yang tertentu yang masih hidup. Terlarang bernyanyi yang membangkitkan ghairh birahi terhadap lawan jenis dan menimbulkan fitnah.

Terlarang wanita di muka laki-laki yang tidak halal baginya adalah haram. terlarang bernyanyi yang membuang-buang waktu yang memalaikan mengerjakan perintah yang diwajibkan Allah. Terlarang bernyanyi disertai hal-hal lain yang haram. Nyanyian bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara’ adalah permainan makruh yang menyerupai pekerjaan yang bathil.

Haram mempergunakan alat-alat permainan yang menggerakkan nafsu birahi. Semua pekerjaan yang membaw kepada yang munkar adalah haram, biar bagaimanapun baiknya zat pekrjaan itu.

Setiap penghubung yang membawa kepada haram, maka penghubung itu haram pula mengerjakannya.

“Kitab as-Sama’” oleh Ibnul Qaisaarany (447-507H, ulama ahli Hadits), terbitan al-Majlis al-A’la li al-Syuun al-Islamiyah al-Qahirah, 1390H (1970M), membicarakan tentang hukum nyanyian dalam Islam. Pasal pertama memuat dalil-dalil, penjelasan-penjelasan yang membolehkan bernyanyi dan mendengarnya. Pasal kedua memuat dalil-dalil, penjelaasan-penjelasan yang mengharamkan bernyanyi dan mendengarnya, serta penjelasan-penjelasan yang membatalkan alas an-alasan yang mengharamkan bernyanyi dan mendengarnya.

Imam as-Syaukani telah menyusu satu risalah yang mengandung pendapat-pendapat ulama yang menghalalkan dan yang mengharamkan lagu beserta dalilnya masing-masing yang berjudul “Iithaalu Da’waa al-Ijma’i ‘ala Tahriimi Muthlaqi as-Samaa’i” (Membatalkan dakwaan ijma’ atas pengharaman lagu secara apriori).

Abu bakar Ibnul ‘Araby telah menghimpun hadis-hadis yang berhubungan dengan nyanyian dalam kitabnya “Ahkamu al-Quran”, jilid III, hal 1481-1482. Hadits-hadits yang mengharamkan nyanyi dan lagu juga terdapat dalam : “Ihya ‘Ulum ad-Din” oleh Imam Ghazali, jilid II, hal 282; “Al-Taj al-Jami’ li Ushul” oleh Syaikh Manshur Ali Nashif Isa, jilid IV, hal 210.

Perbedaan pendapat para lama disebabkan berbedanya dalil dan cara memahami dan menggunakan dalil tersebut.

Perkara yang bukan ta’abbudiyah boleh diqiyaskan kepada hal-hal lain yang serupa didalam ‘illatnya ?

Madzhab jumhur mengharamkan nyanyi dan alat musik. Madzhab Ahli madinah, Zhahiriyah, Jama’at Sufiyah memprbolehkan nyanyi, dan alat musik. Abu Bakar Ibnul ‘Araby menegaskan bahwa hadis-hadis yang dipaparkannya tersebut tidak satupun yang shahih.

Abu Bakar Ibnul ‘Araby menegaskan bahwa seluruh hadits-hadits yang mengharamkan lagu dan nyanyi tidak dapat dipercayai. Imam as-Syaukani membantah dakwaan ijmak atas pengharaman lagu secara mutlak (apriori) (“Nail al-Authar” oleh as-Syakani, jilid VIII, hal 105). Ibu Nahwiy dalam Kitab “Al-Umdah” menegaskan bahwa telah diriwayatkan tentang kebolehan lagu dan mendengarkannya dari sejumlah para sahabat dan tabi’in.

Ibnu Hisyam an-Nahwy, ‘Abdullah bin Yusuf, bin ‘Abdullah, bin Ahmd bin ‘Abdullah bin Hisyam jamaluddin, Abu Muhammad an-Nahwy (pindah ke madzhab Hambali dari madzhab Syafi’i) (78-761H) : “’Umdat at-Thaal fi Tahqiq Tashriif Ibnul haajib” (dua jilid).

Tidak ada satu hadits yang benar-benar secara nash mengharamkan zat perbuatan atau pekerjaan nyanyi, musik dana tari. Tidak satupun hadits yang shahih yang mengharamkan nyanyi. Menurut Ibnu Hasan, bnu ‘Arabi, al-Ghazali, Ibnu Nahwy tidak ada satu hadits yang shahih yang mengharamkan nyanyian (“Nail al-Authar”, jilid VIII, hal 103; “Ahkam al-Quran” Inul ‘Arabi, jilid III, hal 1481-1481. Menurut al-Fakahani tidak ada di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul satu nash pun secara sharih 9terang dan jelas) yang mengharamkan zat permainan itu sendiri dan alat-alatnya.

Boleh memainkan bunyi-bunyian, dan bernyanyi bebas untuk bersenang-senang sebagai hiburan Boleh lagu, nyanyi asal tidak menyesatkan, atau merusakkan budi pekerti manusia. Tarian, nyanyian, bernyanyi pada dasarnya adalah mubah hukumnya (dibolehkan dalam agama), selama tidak merusak 9mafasid). Nyanyian, permainan, alat-alat permainan pada hakikatnya adalah boleh (mubah).

Seni musik, seni suara, seni tari untuk merayakan pesta perkawinan, hari raya, acara khitanan, acara penyambutan pembesar, dan lain-lain sebagainya, yang tidak disertai dengan hal-hal dan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasul dalah boleh (mubah). Hukum seni, musik, seni suara, seni tari dalam Islam adalah boleh (mubah) selama tidak disertai/dicampuri dengan hal-hal lain yang haram. Apabila disertai dengan hal-hal yang ahram, maka hukumnya menjadi haram. Apabila disertai dengan hal-hal yang membawa kebaikan yang diridhai Tuhan, maka hukumnya menjadi sunat. Apabila tidak menimblkan manfa’at yang diridhai Tuhan, tetapi tidak menimbulkan hal-hal yang tidak baik adalah makruh. Haramnya seni musik, seni suara, seni tari disebabkan oleh hal lain, bukan karena atnya sendiri (amru aridhhiyun la datiyun).

Hukum halal haramnya nyanyi dan musik itu timbul disebabkan hal lain. Haramnya perbuatan atau pekerjaan nyanyi, musik, tari disebabkan hal-hal lain. haram atau makruhnya nyanyian, permainan, alat-alat permainan disebabkan hal-hal lain, bukan zatnya. Haramnya musik dan nyanyi atau lgu disebabkan adanya suatu yang ‘aridh yang bertentangan dengan agama. Haram atau halalnya seni musik, seni suara, seni tari tidaklah secara mutlak.

Mengharamkan lagu secara mutlak (apriori) tidalah berdasar dalil. Mengharamkan syair secara keseluruhan tidaklah berdasarkan dalal agama. Bila lagu disertai sesuatu yang diharamkan atau menjadi wasilah (jalan) pada yang diharamkan, maka ia menjadi haram. Bila lagu brsih dari sesuatu yang diharamkan, maka ia menjadi mubah untuk menyakskan, mendatangi, mendengar, mempelajarinya.

Seni itu boleh asal :
– tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan.
– menggerakkan orang untuk ingat kepada Allah dan hariakhirat.
– dipertunjukan dalam perayaan seperti hari raya, perkawinan, khitanan, menyambut orang yang baru datang, dengan alat-alat permainan yang terbatas, yaitu rebana dan lain-lain yang ada I dalam hadits yang menjadi dalil bagi orang-orang yang membolehkannya.
(
Prof HM Toha Jahja Omar MA : “Hukum Seni Musik, Seni Suara, Seni Tari”, Widjaja, Djakarta, 1964, hal 52; Dr Thonif Anwar : “Pandangan Islam terhadap Seni”, MEDIA PEMBINAAAN, Depag, Bandung, No.6-XVI-1989, hal 11).

Permainan-permainan yang tidak mengandung kat-kata kotor dan bohong dan tidak membka aurat, hukumnya boleh. Boleh bernyanyi dengan kata-kata yang mengandung hikmah dan ajran. Nyanyian yang baik yang dapat mengingatkan orang kepada akhirat adalah sunat.

Nyanyi, musik dan tari yang tidak dilarang Tuhan. Nyanyian yang memuji sifat-sifat kecantikan bungai, air, gunung, dan lain sebagainya adalah boleh (tidaklah terlarang). Nyanyian untuk mengobarkan semangat kerjasama untuk mengangkat sesuatu yang berat, untuk merajinkan unta/kendaraan berjalan, untuk mendiamkan, menidurkan bayi, untuk berjuang/berperang adalah sunat. Nyanyian boleh pada perayaan-perayaan yang diperbolehkan Islam. Perayaan yang diperbolehkan oleh Islam : perkawinan, hari raya, dll. Nyanyi, musik dan tari boleh digunakan dalam pesta perkawinan, hari raya, khitanan, menyambut orang baru datang.Boleh memukul gendang (musik), bernyanyi, mengadakan permainan (seperti musik, gambus dan sebagainya) di waktu pesta perkawinan, selama tidak membawa akibat buruk, tidak berisi omongan-omongan kotor, tidak dilakukan di dalam percampuran antar laki-laki dengan wanita dan main-main yang haram.
(Simak :
– A Hassan : “Soal Jawab” 1-2-3, hal 1060-1062,
– A Hassan : “Kesopanan Tinggi dalam Islam”, hal 50,
– “Sunan Nasai”, jilid VI, hal 127-135,
– “Sunan Ibnu Maajah”, jilid I, hal 586,
– “Sunan Tirmidzi”, jilid IV, hal 307,
– Shahih Bukhari”, jilid III, hal 19’
– Imam Sindi : “Hasyiyah matan Bukhari”, jilid/juzuk III, hal 251, Kitabun Nikah, Bab Dharb ad-Duffi fi an-Nikaah wa al-Walimah, HR Bukhari dari ar-Rubaiyi’u binti Mu’awwizi bin ‘Ifra)

Agama Islam itu lapang, tidak sempit. Gadis bersama mahramnya boleh menonton tarian dan permainan. Boleh mengadakan permainan yang bukan maksiat pada hari raya. Gadis (jariyah) boleh bernyanyi (nyanyian perang) dengan menepuk rebana (duf). Lelaki (keluarga dan tamu tuan rumah) boleh mendengar gadis (jariyah) bernyanyi (nyanyian perang). Rasulullah membiarkan jariah menyanyi perang Bu’ath di rumah tinggal pada hari raya. rasulullah bersama ‘Aisyah menyaksikan permainan senjata orang-orang Sudan di dalam masjid (HR Bukhari, Muslim dari ‘Aisyah). Nabi membiarkan (membolehkan) penari-penari Habsyi menari di dalam Masjid pada hari raya.Rasulullah membiarkan jariyah memukul duf (rebana) sambil bernyanyi memuji para syuhada di Badar (HR Tirmidzi dari Ruba’in)
(Simak :
– “Sunan Tirmidzi”, jilid III, hal 398-399,
– “Sunan/Mustafa Ibnu Majah”, hal 586,
– A Hassan : “Soal Jawab” 1-2-3, hal 1060,
– “Syarah al-Karmai”, IX/108-109)

Boleh mengadakan permainan yang bukan maksiat pada haari raya. Boleh nyanyian, tarian dengan senjata pda haari raya, dan boleh menyaksikannya pada ruang, tempat, lingkungan terbatas (di rumah keluarga, disaksikan oleh keluarga). Boleh gadis jariyah bernyanyi di rumah majikan, disaksikan, didengarkan oleh anggota keluarga. Boleh bernyanyi, mendengar nyanyi, menyaksikan penyanyi terbatas di lingkungan anggota keluarga. Pusatkan perhatian kepada permainan dan singkirkan perhatian dari para pemainnya. Boleh gadis jariyah bernyanyi sekedar nyanyi biasa di dalam rumah.

Nyanyi, tari, memukul rebana, bermain dengan alat-alat penangkis dan senjata penyerang pada hari raya adalah mubah (boleh). Alat-alat permainan yang dipergunakan untuk meramaikan pesta perkawinan hukumnya boleh. Menepuk rebana (duf) dan mendengarnya menurut pendapat Ibnul Qaisary adalah sunat, karena Rasulullah saw sendiri mendengarnya dan menyuruh menepuknya (kapan, dimana dan dalam suasana apa serta dalam bentuk apa ?). Rasulullah menyuruh memukul ghirbal (rebana) di aktu perkawinan (HR Tirmidzi dari ‘Aisyah)(Simak “Subulus Salam”, jilid III, hal 154). Boleh ghina (nyanyi) dan memukul ghirbal, duffu (alat rebana) di dalam pesta perkawinan (‘arsin) (“qad rukhhisha lana fil lahwi ‘indal ‘arsi” (HR Nisai dari Amir bin Sa’ad) (Simak “Sunan Nisai”, jilid VI, hal 135).

Rasulullah membolehkan jariyah bernyanyi (yughanniyun) di waktu penganten (‘ars). Boleh mengadakan permainan yang menggembirakan penganten, asal tidak merusak 9Simak A Hassan : “Soal Jawab” 1-2-3, hal 1061).

Permainan rebana (duf) pada perkawinan dipandang sebagai pemisah di antara nikah halal dan haram. Bergendang dan bernyanyi di waktu pernikahan itu satu (tanda) perbedaan antara halal dan haram (HR tirmidzi, Nisai ?). Rasulullah tidak menyukai perkawinan tanpa memukul duf (rebana). Bahwasanya Nabi saw tidak suka dijalankan perkawinan dengan bersembunyi, tetapi (hendaklah) dipukul gendang dan dinyanyikan lagu (HR Abdullah bin Ahmad).
(Simak :
– A Hassan : “Kesopanan Tinggi secara Islam”, Diponegoro, Bandung, 1981, hal 52,
– A Hassan : “Soal Jawab” 1-2-3, Diponegoro, 1983, hal 1061,
– “Sunan Tirmidzi”, jilid IV, hal 307,
– “Sunan Nisai”, jilid V, hal 127).

Boleh bernadzar mengadakan perayaan sa’at bergembira. Gaadis (jariya) boleh bernyanyi dan bermain rebana di hadapan para pemimpin. Dipandang baik menyambut panglima pasukan yang kembali dari perperangan dengan mempertunjukkan permainan rebana dan nyanyian. Boleh nyanyi dan rebana untuk menyambut pemimpin yang kembali dari medan perang. Rasulullah membiarkan jariyah Bani najar mengelu-elkan beliau dengan memukul duf (rebana) dan bernyanyi (HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik (Simak “Sunan Mustafa”, hal 586).

Boleh permainan tarian dan senjata untk menyambut kedatangan pemimpin sebagai penghormatan. Boleh mengelu-elukan pemimpin. Rasulullah membiarkan orang-orang Habsyi menyambut kedatangan beliau dengan bermain perang-perangan (HR Abi Daud dari Anas) (Simak “Sunan Abi Daud”, jilid IV, hal 2). Rasulullah membiarkan jariyah mengelu-elukan beliau ketika kembali dari peperangan dengan memukul rebana dan bernyanyi (HR Ahmad, Tirmidzi dari Buraidah).

Permaianan rebana (duf) d waktu hari-hari besar. Mendengar seruling (zammarah) gembala dan bangsi (alat tiup dari buluh). Mendengar seruling biola. Mendengar sernai dan alat-alat musik (alahi). Thumber (lute), gambus, rebana, gendang, mu’azif (alat musik berwatar), mi’zafans (piano), drum, seruling.

Beberapa penyebab di antara sejumlah penyebab tmbulnya bala (al-balaa) disebutkan :
– minuman khamar (arak) (syur ibatil khumur).
– pakaian sutera(lubisal hariir).
– penari wanita (ittakhizatil qainaat).
– penyanyi wanita (band) ( al-ma’aazf) (HR Tirmidzi dari ‘Ali, Simak “Irsyadul ‘Ibad”, hal 578-579; “Koreksi Pola Hidup Umat Islam”, hal 28; HR Tirmidzi dari Abi Hurairah, Simak “al-Misykat” oleh Tirmidzi, ‘koreksi Pola Hidup Umat Islam”, hal 29).

Semua pekerjaan yang mubah yang apabila diketahui akan meninggalkan kesan yang kurang baik ke dalam hati, lebih baik ditinggalkan. Dalam ayat QS 24:32 tersirat adaaaaanya harapan kemungkinan membaik nasib dengan kawin.

Dalam ayat QS 14:7, tersirat bahwayang disebut dengan orang yang pandai/pintar bersyukur itu adalah orang yang produktif, orang yang mampu mengembangkan harta kekayaan miliknya, orang yang hari-hari kininya lebih baik dari hari-hari kemarinnya. Bila kemarin-kemarin hanya punya beberpa gram gabah/padi, tetapi setelah ia kembangkan kini ia telah punya beberapa ton gabah/padi. Bila kemarin-kemarin hanya punya beberapa ribu rupiah, tetapi setelah ia kembangkan kini ia telah punya beberapa juta rupiah. Bila kemarin-kemarin hanya punya beberapa keterampilan, tetapi setelah ia kembangkan kini ia telah punya berbagai keahlian.

Dari ayat QS 3:26, 2:48 tersirat bahwa yang berwatak (gens) singa meskipun ompong akan senantiasa tetap berkuasa, sedangkan yang berwatak (gens) domba meskipun bersatu padu akan tetap yang dibawah kekuasaan>

(written by sicumpaz@gmail at BKS1108261900)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Pegang Eratlah Islam

catatan serbaneka asrir pasir

Pegang eratlah Islam

Khalifah Abubakar Siddiq ra pernah memperingatkan umat Islam bahwa suatu masa nanti umat Islam akan berada di persimpangan jalan (maghraqi mahajjah), dibawah penguasa kejam (tiran), umat terpecah-belah, darah mudah tertumpah. Pada masa itu umat Islam hatruslah kembali menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas jama’ah, kembali menjadikan Quran sebagai sumper petunjuk, melakukan konsolidasi (Simak M Natsir : “Fiqud dakwah”, amadhani, Semarang, 1984, hal 88-89; Risalah Da’wah AL-MUNAWWARAH, Tanah Abang, Djakrta, “Masjid, Quran dan Disiplin”, oleh Mohd Natsir; Usman Abd Kadir Mukarram : Fungsi Masjid Sebagai Pembinaan Ummat”, AL-MUSLIMUN, Bangil, No.202, Thn.XVII(33), Januari 1987, hal 27-28).

Rasulullah saw memperingatkan bahwa suatu masa nanti umat Islam akan mengalami situasi dimana umat Islam tidak diperintah sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Pada masa itu umat Islam haruslah kembali berada dalamjama’ah kaum Muslimin beserta pimpinannya. Jika tak ada ada jama’ah kaum Muslimin beserta pimpinannya, maka bersabarlah. Lakukanlah dan tunaikanlah kewajiban dan mohonlah hak yang menjadi bagian kepada Allah (Simak HR Bukhari, Muslim dalam “Al-Lukluk wal-Marjan”, pasal “Anjuran Supaya Tetap Dalam Jama’ah Kaum Muslimin”, Anjuran Sabar Ketika Menghadapi Pemerintah Zhalim”, “Wajib Taat Kepada Pimpinan Selama Bukan Maksiat”; “Riadhus Shalihin”, pasal ‘Perintah Menunaikan Amanah”, “Wajib Ta’at Pada Pemerintah Dalam Hal Yang Bukan Ma’shiyat”, “Menganjurkan Kebaikan Dan Mencegah Mungkar”).

Menurut formula ilmu politik, bahwa pemimpin itu menurut keadaan rakyatnya (Dr Imaduddin Abdurrahim pada tayangan Hikmah Fajar RCTI tanggal 21 Juni 2001). Sikap pemimpin itu adalah produk terbalik dari sikap mental rakyat. Bila rakyat bermental bebek, maka penguasa bermental serigala. Bila rakyat bermental domba, penguasa bermental serigala.

“Demikianlah Kami angkat sebagian orang-orang yang zhalim menjadi pemimpin sebagian yang mereka lakukan” (QS 6:129).

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108261100)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Bahasa Dakwah

catatan serbaneka asrir pasir

Bahasa Dakwah

Di kalangan elektronika terdapat apa yang disebut dengan modem, yang berfungsi sebagai modulator dan demodulator. Fungsi modulator untuk mencampur/menggabung, dan fungsi demodulator untuk memisah/mencerai. Yang dicampur atau dipisah adalah gelombang frekwensi tnggi dan gelombang frekwensi rendah. Gelombang frekwensi rendah dibawa oleh gelombang frekwensi tinggi. Gelombang frekwensi tinggi disebut sebagai gelombang pembawa.

Di kalangan dakwah terdapat sabda Rasulullah saw “Kami diperintah supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing” (HR Muslim). Muhammad Abduh menyimpulkan “Berbicaralah kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing”. Terjemahkanlah ajaran Islam itu sesuai dengan nalar objek dakwah (Simak M Natsir : Fiqhud Dakwah”, Ramadhani, Semarang, 1984, hal 162; PANJI MASYARAKAT, No.249, 15 Juni 1970, hal 30).

Di kalangan akademisi, Islam itu didakwahkan dengan menggunakan bahasa ilmiah. Di kalangan politisi, Islam itu didakwahkan dengan menggunakan bahasa politik. Di kalangan ekonom, Islam itu didakwahkan dengan menggunakan bahasa ekonomi. Di kalangan teknokrat, Islam itu didakwahkan dengan menggunakan bahasa teknik. Di kalangan kedokteran, Islam itu didakwahkan dengan menggunakan bahasa medis. Di kalangan artis, Islam itu didakwahkan dengan menggunakan bahasa seni. Dan seterusnya.

Masing-masing kalangan hendaklah mendakwahkan Islam dengan menggunakan baasa yang sesuai dengan profesinya. Yang mualah hendaklah mendakwahkan Islam ke kalangan yang ia tinggalkan, Bahasa dakwah tergantung dari objek dan subjek dakwah.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108250430)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Kafir

catatan serbaneka asrir pasir

Kafir

Terminologi kafir dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan pembangkang, yang mencakup pengertian atheis, plytheis, animis, pagan, pelbegu, musyrik; termasuk juga Yahudi, Nasrani, Majusi. Sedangkan kufur dapat dipadankan dengan pembangkangan. Dan pembangkangan ini bukanlah bermakna pemberontakan (bughat, pendendam ?).

Terhadap paham, pola piker, sikap mental kafir ini Quran mengemukakan sanggahan, sangkalan, bantahan “Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?” niscaya mereka menjawab “Allah”. Katakanlah “Kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah itu. Jika Allah hendak mendatangkan bencana kepadaku, apakah mereka itu mapu menghilangkan bencana itu. Atau jika Allah hendak member rahmat kepadaku, apakah mereka itu dapat mencegah rahmatNya itu ?”. Katakanlah “Cukuplah Allah bagiku. KepadaNyalah orang-orang yang bertaqwa harus berserah diri” (QS 39:8; simak juga QS 29:63, 31:35, 29:61, 43:87, 43:9).

Di tempat lain, Quran mengemukakan bahwa tak ada lagi titik temu dengan para kafir, pembangkang. Satu-satunya jalan terbaik, yang adil adalah jalan kebebasan, kemerdekaan. Maing-masing bebas merdeka dalam batas wilayahnya sesuai paham (akidah)nya. Saling mengormati batas wilayah masing-masing. “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS 109:6). “Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan yang sesat” (QS 2:256). “Barangsiapa menghendaki beriman, hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki kafir, biarlah dia kafir” (QS 18:29). “Aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami, dan bagi kamu perbuatan kamu” (QS 42:15). (Simk juga penjelasan Asdani : “Islam dan Komunis”, SUARA MUSLIM, Edisi 25/2010M/1431H, hal 24-25). Inilah keadilan, kebebasan, kemerdekaan menurut Islam.

Tak ada seruan/ajakan untuk menghabisi lawan. Dalam kontek kekinian tak ada seruan/ajakan untuk menumpas, membasmi, menghabisi kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Ahmadiyah, dan firqah/sekte masa kini (Simak antara lain ayat QS 16:125, 2:256, 18:29, 28:56).

HR Bukhari, Muslim dari Ibnu Umar, juga dari Abi Hurairah memang menyebutkan sabda Rasulullah saw “Aku diperintah memerangi orang-orang sehingga bersyahadat mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad itu Rasul Allah, dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. maka bila telah mengerkan semua itu berarti telah terpelihara daripadaku darah dan harta mereka kecuali dengan hak kewajiban dalam Islam, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah”. “Dan perangi mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang zhalim” (QS 2:193, simak juga penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat QS 9:5)

Jihad dengan pengertian perang fisik (qital) hanya dilakukan terhadap penghalang jalannya dakwah. Selama tidak menghalangi jalannya dakwah, maka posisi mereka hanya sebagai lawan/musuh dalam akidah yang merupakan umat dakwah. Mereka dilawan dalam perang akidah, ghazwul fikri. Dalam ghazwul fikri inilah tempatnya Jihad Global (Revolusi Islam) (Simak objek/sasaran perang dalam ayat QS 22:39, 2:190, 9:36, 9:123, 8:39(.

Barangkali mengacu kepada ayat-ayat tersebut, DPP Masyumi (Bagian Penerangan) pada 17 Agustus 1955 hanya menyapaikan seruan/himbauan “Kami Memanggil” kepada semua pimpinan, anggota, simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) agar bertaubat, kembali kepada kebenaran, kembali ke Islam, Juga dalam risalah “Kami Memanggil” tersebut dilampirkan Fatwa Madjlis Sjura Masyumi Pusat tentang Komunisme tanggal 27 Desemer 1954 yang menyatakan bahwa Komunisme itu humunya kufur. Penganut/pengikut komunisme itu wajib diberi pengertian entang kesesatan dan kekufuran komunisme. Sama sekali, baik tersurat (eksplisit) maupn tersirat (implisit) tak ada seruan/himbauan dari Masjumi untuk menghabisi, membunuhi orang-orang komunis.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108220600)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Seputar gambar : seni dan agama

catatan serbaneka asrir pasir

Seputar gambar : seni dan agama

Gambar dalam bahasa Arab adalah “tashawir” atau “shuwar” yang mencakup pengertian berhala, patung, arca, boneka, ukiran, lukisan,foto, potret, film. Gambar termasuk kedalam kategori kesenian, kebudayaan. Penggambar, pembuat gambar, tukang gambar dipadankan dengan “mushawwir”.

Yusuf Qardhawi menulis buku berjudul “Al-Halal wal-Haram fil-Islam” (Edisi Indonesia berjudul : “Halal dan Haram menurut Islam”, terbitan Bina Ilmu, Surabaya). Pada halaman 72-82, Penulis membagi gambar, yaitu yang haram seperti arca-arca, yang makruh seperti ukiran yang digambar diatas ertas, papan, tembok, yang mubah (yang boleh) seperti foto.

Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan membantah, mengoreksi Yusuf Qardhawi dengan bukunya “Al-I’lam binaqd kitab al-Halal wal-Haram” (Edisi Indonesia “Kritik Terhadap Buku Halal Dan Haram Dalam Islam”, terbitan Pustaka istiqamah, Surabaya, 1996, hal 48-60).

Dalam Shahih Bukhari terdapat hadits-hadits tentang gambar. Semuanya mengisyaratkan bahwa gambar, menggambar itu sama sekali terlarang. Tak ada celah yang dapat membolehkannya. Terdapat bab/pasal “Azab/siksaan bagi tukang gambar/lukis di hari kiamat”, Tercelanya bersama gambar/tukang gambar”, “Tercelanya shalat memakai gambar”, “Tak masuknya malaikat kerumah yang memajang gambar”, “Terkutuknya tukanggambar”, dan lai-lain.
Dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, terdapat pasal “Haram menggambar binatang di kain atau batu dsb, dan perintah merusaknya”.

A Hassan dalam buku “Soal-Jawab”, terbitan Diponegoro, Bandung, 1983, hal 347-363 membahas perihal “Gambar”. Penjelasan A Hassan tak tuntas dalam buku tersebut dan akan menerbitkan satu kitab fatwa tentang masalah gambar ini.

PP Muhammadiyah dalam buku “Himpunan Putusan Tarjih”, Jogjakarta, 1967, hal 281 juga membahas tentang “Hukum Gambar” yang menyebutkan bahwa gambar itu hkumnya berkisar kepada ‘illatnya (sebabnya). Yang untuk disembah hukumnya haram. Yang untuk sarana pelajaran hukumnya mubah (boleh). yang untuk perhiasan (hiasan, asesori) yang dikhawatirkan mendatangkan fitnah kepada makshiat, hukumnya makruh. sedangkan dikhawatirkan mendatangkan fitnah kepada musyrik, hukumnya haram.

Meskipun hadits yang digunakan sama teksnya/matannya, namun pemahamannya berbeda. Masalah gambar tetap saja menjadi ikhtilaf/khilafiyah. Tak pernah terjadi ittifaq/ijma’, kesepakatan. Keharaman gambar tetap saja debatable, dipersoalkan.

Apakah sebenarnya faktor (‘illat) yang menyebabkan haramnya gambar itu. Apakah memang karena dikhawatirkan akan dapat digunakan sebagai sembahan yang membawa kepada musyrik. Ataukah karena dikhawatirkan akan dapat merupakan saingan terhadap Allah. “Orang-orang yang paling pedih siksanya, ilaha orang yang meniru bikinan Allah”. Padahal Allah itu Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya mutlqak tak tertandingi oleh siapa pun.

Bagaimanapun, baik pembagian Yusuf Qardhawi, A Hassan, Tarjih Muhammadiyah tetap saja menyisakan ikhtilaf, iftiraq. Bila semata-mata mengacu pada hadits, hampir tak ada celah sama sekali untuk membolehkannya. Atauk memang hukum itu harus mengikuti sikon, waktu-tempo-zaman, tempat-loco-makan, sehingga fatwa Imam Syafi’i waktu di Mesir berbeda dengan fatwa beliau waktu di Baghdad.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108231100)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Kondisi-potensi umat Islam masa kini

catatan serbaneka asrir

Pengeroyokan umat Islam

Allah berjanji akan menjadikan orang-orang beriman dan berbuat kebaikan (beramal shaleh) berkuasa di muka bumi, dan meneguhkan Islam bagi mereka, serta merubah kondisi mereka dari kondisi kacau ke kondisi aman (Simak QS 24:55). Allah memberikan kekuasaan kepada yang Dia kehendaki dan mencabutnya dari yang Dia kehendaki. Allah memuliakan yang Dia kehendaki dan menghinakan yang Dia kehendaki (Simak QS 3:27). Allah akan merubah kondisi suatu komunitas bila komunitas itu telah merubah kondisi mereka (Simak QS 13:11).

Rasulullah saw memeritahukan kondisi masa depan yang akan dialami umat Islam. Pada masa itu umat Islam akan jadi bulan-bulanan (objek mainan musuh), dihinakan, direndahkan, disepelekan, diremehkan, diabaikan, diinjak-injak, diperalat, diperebutkan. Umat Islam saat itu sibuk dengan urusan dunia, kekayaan, kedudukan ketenaran, tak peduli dengan jihad fi sabilillah (menegakkan, mempertahankan, membela agama Islam) (Simak HR Abu Daud dari Tsauban, No.3745, dalam KH Firdaus : “Detik-Detik Terakhir Kehidupan Rasulullah”, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1983, hal 134; Drs H Ahmad Yani MM MBA : “Kaum yang dikerebuti lawan”, SUARA MUSLIM, Edisi 32-Thn 2011, hal 56).

Rasulullah saw memperingatkan agar mewaspadai tiga macam sikap mental yang membahayakan, mencelakakan, menghancurkan. Pertama hawa muttabi’, rakus, tama’, serakah, materialis, kapitalis. Kedua syuhhun muthaa’, pelit, kikir, bakhil, kedekut. Ketiga i’jabul mar-I bi nafsih, angkuh, pongah, sombong, bermegah-megah, bermewah-mewah (Simak HR Abu Syaikh dari Anas dalam “Mukhtar al-Hadits an-Nabawiyah” oleh Said Ahmad al-Hasyimi Beik, No.498).

Dalam tayangan “Tradisi Mudik” MetroTV, pagi Minggu, 21 Agustus 12011, 0700, Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor UAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengemukakan bahwa Islam kini banyak diembled, disusupi, didomplengi, diboncengi, ditumpangi, ditempeli oleh hal-hal yang di luar Islam (kapitalisme, konsumerisme, hedonism). Saksikanlah tayangan televise setiap malam Ramadhan. Para pebisnis, para produsen saling memperebutkan selera konsumerisme umat Islam dengan mendomplengi Islam itu dengab hal-hal yang diluar Islam.

Umat Islam seharusnya menyadari dirinya sebagai umat unggulan (mukmin, muttaqin, muflihun, simak QS 3:139, 47:35). bukan umat lecehan, umat pecundang. Adalah suatu kehinaan bagi umat Islam gemar mencomot budaya non-Islam. Umat Islam agar tak larut dalam budaya copy-paste, sinkretis, talbis, akomodatif, permissif, serba boleh.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108250800)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka