Amandemen kembali UUD-45

Catatan serbaneka asrir pasir

Amandemen kembali UUD-45

– Amandemen kembali UUD-45.
– Kembalikan fungsi MPR menyusun GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden.
– Kembali saja kepada GBHN mengikuti UUD-45. GBHN diperbaharui/diupdate sekali lima tahun setiap 28 Oktober.
Wakil Menteri tak perlu. Kenaikan gaji Menteri /Pejabat /Pegawai ditetapkan setelah kenaikan biaya air minum, gas, listrik, tilpon, transportasi ditetapkan. Total Take Home Pay Kepala Negara maksimal sepuluh kali Total Take Home Pay Pegawai terendah.
– Sebelum penyusunan APBN, hendaklah lebih dulu menetapkan harga BBM, bahan bangunan, sembako, tariff listrik, tlpon, gas air minum, tol, harga tiket pesawat udara, kapal laut, kereta api, bis antar kota, bis dalam kota, angkot, dan lain-lain.

Korupsi dan Pemilu langsung (Dilematika MPR dan Presiden)

Seorang Presiden di era Orde Baru bisa berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Ini bisa terjadi karena keahlian dan kelihaian Sang Presiden bersama-sama kroni-kroninya (kawan, teman, konco, simpatisan) memanipulasi UUD-1945, terutama pasal pasal 7 yang berbunyi “Presiden dan wakil Presiden memegang djabatannja selama masa lima tahun, dan sesudahnja dapat dipilih kembali” “sekarang harus tunai, besok boleh utang”.

Semangat dari pasal 7 ini adalah bahwa seseorang hanya boleh menjabat Presiden selama dua periode secara berturut-turut. Namun oleh Sang Presiden dan kroninya diinterpretasikan, ditafsirkan bahwa pasal 7 tersebut sama sekali tak membatasi periode jabatan Presiden, sehingga Presiden tak mengenal batas jabatan.

Orde Reformasi mencoba mengoreksi, meluruskan interpretasi, tafsiran Orde Baru yang keliru itu dengan mengamandemen UUD-1945. Antara lain dengan membatasi periode jabatan Presiden hanya dua periode berturut-turut saja. Pemilihan Presiden dilakukan dalam Pemilu langsung dan bukan lagi oleh siding MPR. Hak dan wewenang MPR dalam hal ini dipreteli, dicabut. MPR dikebri. MPR jadi mandul. Posisi MPR menjadi dilematis. Dibubarkan saja atau hak dan wewenangnya dikembalikan, dipulihkan.

Pemilu Presiden secara langsung tak dapat tidak memaksa Capres untuk menyediakan dana kampanye dalam jumlah besar agar ia bisa terpilih. Capres bersama kroninya (kawan, teman, konco, kolega, keluarga, simpatisan, tim sukses) berdaya upaya mengumpulkan, menghimpun dana kampanye yang jumlahnya bisa mencapai milyaran rupiah.

Donatur, penyumbang mengharapkan dana sumbangan itu bisa menjadi seagai dana investasi yang dapat meningkatkan penghasilannya pada masa Capres terpilih sudah duduk dalam posisi Presiden. Sedangkan Presiden terpilih selama jabatannya akan selalu merasa berutang (budi dan materi) kepada para donator, penyumbang. Adalah mustahil Presiden terpilih akan mencegah tindak korupsi yang dilakukan oleh donator, penyumbang dana kampanyenya. Pemilu langsung menjadi sumber terbuka lebarnya tindak korupsi.

Inilah dilematis pemilu Presiden. Menerima Pemilu Presiden secara langsung berarti membiarkan korupsi terus berlanjut meraja lela. Kembali menyerahkan pemilihan Presiden kepada MPR, menimbulkan trauma akanmasa Orde Baru. Namun bagaimana pun sebaiknya Presiden diserahkan kepada wakil rakyat saja. Kalau MPR harus dibubarkan, maka diserahkan saja kepada DPR.

BKS1105190615

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Tinggalkan komentar