Mencari keadilan

Catatan serbaneka asrir pasir

Mencari keadilan (Masing-masing bicara keadilan)

“Adil merupakan kata pendek tapi menjadi kunci untuk hidup dengan tenang di dunia. Di Negara yang tidak makmur tapi rakyatnya merasa diperlakukan secara adil maka Negara tersebut merasa aman. Lawan dari kata adil adalah seweang-wenang. Menetapkan sesuatu urusan berdasarkan kemauan sendiri. Tanpa mengindahkan perasaan-perasaan dan kepentingan orang lain. Sehingga ada pihak yang merasa tersudut dn mencari-cari kesempatan untuk balas dendam”.

“Orang atau golongan yang merasa diberlakukan tidak adil akan bias bermata gelap untuk berbuat apa saja. Kalu perlu melukai lawannya sampai di dalam hatinya terasa puas karena telah membalas dendam”.

“Karena itu menjagaa stabilitas yang paling hakiki adalah dengan menegakkan keadilan yang tulus”. “Yang dirindukan oleh rakyat adalah yang memberikan perasaan tenteram, yang menetapkan suatu kepututsan dengan tidak berat sebelah, yang mementingkan kepentingan rakyat lebih di atas kepentingan pribadinya”.

“Ancaman terhadap stabilitas yang paling utama di dalam masyarakat adalah perasaan diperlakukan tidak adil”. “Bila rasa tidak adil ini membahana di dalam hati rakyat maka sewaktu-waktu bias berkobar menjadi prahara besar. Menjaga stabilitas yang paling hakiki adalah dengan menegakkan keadilan karena rasa adil membuat rakyat merasa sejahtera walau hidup tidak melimpah-ruah”.

“Setidaknya ada kemauan yang tulus untuk bersikap adil denga kesediaan untuk melihat agar persoalan terhadap masalah yang timbul di dalam masyarakat, kenapa kecewa, kenapa mereka berontak, untuk kemudian ditelusuri ke relung akar persoalannya”.

“Mengatasi persoalan tanpa mengenal sumber penyebabnya dengan benar malah bias menimbulkan masalah baru”. “Persoalan akan bias teratasi dengan baik kalau kita mau mengenal akar permasalahannya dengan jujur”. Demikian cuplikan dari “Masalah Diri, oleh Achsin Utami (KOMPAS, Kamis, 26 Desember 1996, hal 5).

“Secara obyyektif pembawaan dan dampak ekonomi pasar (ekonomi kapitalis) adalah pertumbuhan dan kemajuan besar, sekaligus juga kesenjangan (social ekonomi)”. “Ekonomi pasar membawa ketamakan (avarice)”. “Ketamakan (kerakusan) melekat pada pembawaan ekonomi pasar”. “Ketamakan (kapitalaisme) dipandang sebagai kebajikan”. “Ekonomi pasar berorientasi kepada laba, materi, pola konsumerisme” (laissez faier, laissez passer).

“Asas keadilan, rasa keadilan, rasa kepatuhan, timbang rasa masih tetap diberlakukan sebagai pernyataan verbal, namun dirasakan semakin senjang dari kenyataan yang dihadapi”. Demikian disimak dari “Tajuk Rencana” KOMPAS, Kamis, 16 Januari 1997, hal 4.

“Masyarakat yang bekerja di sector industry atau non pertanian yang makin lama makin kehilangan basis agraris, akan menjadi proletariat tulen. Para proletariat kota dan para pekerja non pertanian itulah yang apabila persoalan (pengangguran, penghinaan) mudah menjadi agresif emosional, punya “collective behavior” tanpa harus digerakkan pihak ketiga atau dikipasi”.

“Sudah waktunya semboyan pemerataan diganti dengan perataan. Berbicara tentang kesenjangan yang bersifat strukutral (kesenjangan struktural) dengan solusi perubahan structural pula”. “kita takut berbicara structural karena konotasinya revolusi dan revolusi konotasinya komunisme”. Demikian ungkap budayawan Kuntowijoyo (KOMPAS, Kamis, 16 Januari 1997, hal 1 dan 15).

“Bukti yang ditemukan Tim Pencari Fakta (TPF) Ansor jatim di Situbondo dan PB HMI di Tasikmalaya menunjukkan bahwa santri, komunitas Islam dan kiai tidak terlihat dalam kerusuhan. Peristiwa itu dilakukan, digerakkan oleh “dunia luar” (suatu kekuatan di luar wilayah yang terjangkau oleh otoritas kiai)”.

“TPF PB HMI menemukan banyak preman, pelacur, tukang ojek dan kelompok rentan lainnya (yang tersisngkir dalam persaingan di era modern) yang ikut terlihat aktif dalam kerusuhan Tasikmalaya”.

“Karena keterbatasan sarana dan “skill”, maka golongan masyarakat bawah tidak mampu menikmati produk modernisasi. Mereka selalu kalah terus-menerus (karena watak modernisasi yang berasaskan persaingan bebas, seleksi alamiah-rekayasa tumbuhlah pemiskinan structural)”. Demikian cuplikan dari “Di balik Akar Kerusuhan Situbondo-Tasikmalaya”, oleh Al-Zastrouw Ng (KOMPAS, Kamis, 16 Januairi 1997, hal 4).

“Hartono (Kepala Staf TNI-AD waktu itu) menilai, jika kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dikaitkan dengan kesenjangan social, hal ini masih harus dipertanyakan. ‘Kalau kesenjangan, dari sudut mana kita melihat dan menilai. Seperti kata adil. Adil yang bagaimana ?”’tandasnya, sambil menambahkan, untuk mendapatkan peniliaian yang obyektif, kita harus memasukkan semua kondisi yang ada”. (KOMPAS, Rabu, 8 Januari 1997, hal 14).

Iya pula. Apa itu adil ? Sebagai pernyataan verbal, asas keadilan, rasa keadilan masih teap diberlakukan, namun dirasakan semakin senjang dari kenyataan. Demikian disimak dari “Tajuk Rencana” KOMPAS, Kamis, 16 Januari 1997, hal 4.

Apa criteria dari adil itu ? Barangkali bila ditanyakan, maka yang punya modal (konglomerat) akan memberikan jawaban bahwa yang adil adalah membagi keuntungan (kueh pembangunan) berdasarkan besar kecilnya modal yang dimiliki (kekayaan).

Seperti yang sering disaksikan pada tayangan “Dunia Fauna” di televise, dan yang dirumuskan oleh Darwin dalam teori evolusinya (seleksi alam), maka ada yang berpendirian bahwa yang adil itu itu adalah bila yang “lemah aalah santapan yang kuat”, “yang melarat adalah santapan konglomerat”. Sedangkan yang tidak adil itu adalah yang sebaliknya.

Yang punya intelegensia (teknokrat) akan member jawaban bahwa yang adil adalah membaginay berdasarkan tinggi rendahnya kecerdasan/kecakapan yang dimiliki. Yang punya tenagaaa (yang melarat) akan member jawaban bahwa yang adil itu adalah membaginya berdasarkan besar kecilnya kekuatan yang dimiliki. Yang lain akan member jawaban bahwa yang adil itu adalah membaginya berdasarkan besar kecilnya jasa yang dipunyai.

Ada yang berpendirian bahwa yang adil itu berpedoman pada “From each according to his ability to each according to his work”, atau “for everyone according to his need, from everyone according to his ability” (AlChaidar : “Wacana Ideology Negara Islam”, 1999:72).

Semuanya punya persepsi, pandangan masing-masing tentang keadilan, kecurangan, tentang kejujuran, kebohongan. Terdakwa, jaksa, pengacara, hakim punya pandangan sendiri tentang keadilan. Semuanya bertikai pangkai, beradu kelihaian mengemas kecurangan. Pengadilan bukanlah tempat mencari keadilan, tetapi arena adu ketangkasan memanipulasi kebohongan menjadi kebenaran.

Dikisahkan, bahwa tatkala tiba waktunya pada pembagian pengisi perut atau bawah perut masing-masing menuntut yang terbanyak. Guna menunjang tuntutannya masing-masing membesar-besarkan jasanya (markuping).

“Kalau bukan kami yang banting tulang, pengisi perut ini tidak mengin diperoleh” dakwa yang satu. “Betul, kamu yang banting tulang, tapi kalau bukan karena diplomasi yang manggut-manggut, pengisi perut ini tidak mungkin kita peroleh” yang lain membantah sambil berkacak pinggang.

“Tidak bias” yang lain lagi angkat bicara sambl membususngkan dada. “Kalian semua hanya mengada-ada” serobot yang lain. “Pengisi perut ini adalah pemberian yang berkuasa berkenan memberikan ini hanya karena sangat saying kepada kami. Kami adalah para teladan yang paling penurut. Kaena itu, sebagian besar dari pengisi perut ini mesti untuk kami” tantangnya. Demikian dikisahkan kembali oleh Si Pahit Lidah dalam suatu edisi harian Ibukota (Simak juga Tabloid PELUANG, No.8, Tahun I, 31 Desember 1998, hal 3, boss)

Nah, kepada siapa seharusnya keadilan diminta yang dapat diterima semua pihak ? Kepada siapa kueh pembangunan, pengisi perut atau bawah perut harus diserahkan untuk dapat dibagi secara adil ?

Ini kisah lain. Dua ekor kucing saling memperebutkan sekerat daging, saling mengaku memilikinya. Seekor kera lewat. Kera tersebut menawarkan jasa baiknya untuk membagi daging tersebut secara adil untuk kedua kucing itu. Kedua kucing itu setuju menyerahkan pembagian kucing itu untuk mendapatkan keadilan. Kera membuat alat penimbang. Pada kedua daun timbangan itu ditaruh kera masing-masing potongan daging itu yang sebelumnya telah dipotong dua. Ternyata potongan yang satu lebih berat dari potongan yang satu lagi. Segera kera menggit potongan yang lebih berat itu sedikit dan menelannya. Kemudian ditimbangnya lagi. Setiap yang lebih berat langsung digigit sedikit oleh kera. Akhirnya daging tersebut selurunya habis masuk ke dalam perut si kera. Kedau kucing tinggal melongo. Demikian disimak dari buku cerita untuk tingkat sekolah dasar (Mahmud Yunus : “AlMuthala’ah alHaitsah”, III, hal 35-36, “Alqiththaan almutanaza’aan”, “The monkey and the two cats”). Di pengadilan kalah jadi abu, menang jadi arang. Yang menang uang.

Di antara pengamat Injil menyebutkan bahwa keadilan itu adalah peristiwa keprgian, perpisahan, kematian (YOHANNES 16:10). Mencari keadilan adalah mencari kematian. Jalan untuk mewujudkan keadilan adalah kematian. Tanpa kematian, maka keadilan tak dapat tegak. Yang mati dalam menegakkan keadilan disebut pahlawan.

Keadilan itu mutlak punya Tuhan. Dia yang berhak menghidupkan. Dan Dia pula yang berhak mematikan. Seandainya manusia yang memegang keadilan pastilah dia jadi pembunuh. Yang harus dicari dalam hidup adalah kebenaran, bukan keadlan. Dengan kebenaran pula mencari diri. Aku berfikir, karena itu aku ada. Demikian kata Rene Descartes. Berbahagialah yang sudah menemukan hakekat kebenaran. Setelah peristiwa kepergian, kematian, Roh Kebenaran dating membawa kebenaran, menerangkan perihal dosa, keadilan, hukum (Yohannes 16:8-12). Apakh yang akan terjadi bila sudah mati, beku, tak peduli perihal dosa, keadilan hukum ?

Meskipun berdasarkan landasan hukum yang sama, namun keadilan menurut versi yang berkuasa tetap saja berbeda dengan versi yang terkuasa. Hanya rasa keadilan yang berdasarkan keyakinan akan hadirnya Hari Keadlan yang akan dapat memenuhi kebutuhan pencari keadilan. Ya. Keadilan dulu, baru perataan. Dan setelah itu pertumbuhan (kemajuan) serta stabilitas.

Masihkan akan mencari keadilan ? Ataukah akan bersenandung “Aku cuma batu. Tak ada lagi laporan dariku, kecuali aku telah berubah jadi batu. Menggeletak sendiri di bibir Kedungombo, menemani pengamen buta yang kecewa, menyanyikan kidung yang sudah dilupakan. Syukur kepada Tuhan yang telah mengabulkan cita-citaku. Batu adalah kebahagiaanku. Kini taka pa pun yang kubutuhkan. Tidak demokrasi, hak asasi, keterbukaan, kebebasan, keadilan, kemakmuran, maupun kebenaran. Tidak juga ganti rugi. Bugkus semuanya itu, dan masukkan ke dalam sakumu sendiri” ? Demikian bisik (Danarto dalam “Refleksi” suatu edisi REPUBLIKA.

Ataukah akan ikut “Perahu Retak”nya Emha Ainun Nadjib yang dilantunkan Franky Sahilatua (alm) “Aku heran. Yang salah dipertahankan. Yang benar disingkirkan. Keserakah diagungkan …” ?

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS9701200915)

Tinggalkan komentar

Filed under catatan serbaneka

Tinggalkan komentar