Penegakkan Syari’at Islam

Imam kami

Imam kami

Di Pakistan, pemerintahnya siap menerapkan untuk syari’at Islam, namun rakyatnya tidak. Di Aljazair rakatnya siap, tapi penguasanya tidak. Di Afghanistan, baik baik rakyat maupun penguasanya sama-sama tidak siap. Semua berakhir pada kehancuran dan kekacauan. (Bagaiamana di Turki, di Indnesia, dan lain-lain ?).

Di Trengganu, Malaysia, awalnya banyak yang meragukan, namun setelah berjalan ternyata sukses dan banyak kalangan non-Muslim yang menaruh smpat ( H Anang, Wakil Ketua DPC PBB Tasikmalaya : SABILI, No.7, Th.VIII, 20 September 2000, hal 21).

Di Tasikmalaya, setiap Jum’at dilaksanakan program aksi Jum’at Bersih, untuk menciptakan ketenangan beribadah bagi jama’ah shalat Jum’at. Guna menegakkan syari’at Islam dibentuk Gerakan Nahi Munkar (SABILI, No.7, Th.VIII, hal 19).

Di Minangkabau, sebelum Perang Paderi (1821-1837), pada tiap-tiap negeri ada Tuanku Imam yang mengurus hal-hal yang bersangkutan dengan agama, dan Tuan Kadi yang menjaga supaya jangan terjadi pelanggaran dan menghukum orang yang berani melanggarnya. Hukum-hukum yang ditetapkan antara lain, bahwa laki-laki yang mencukur janggut didenda dua suku. Mengasah gigi didenda seekor kerbau. Tidak menutup lutut (aurat) didenda dua suku.Perempuan tiada menutup muka didenda tiga suku. Memukul anak didenda lima suku. Meninggalkan shalat didenda lima real; kalau telah dua kali dihukum bunuh. Tanku Nan Salapan (Walisongonya Minangkabau) menyusun pemerintahannya pada tiap-tiap negeri yang dikuasainya, menjalankan segala hukum-hukum itu. Penghulu-penghulu (tokoh-tokoh masyarakat) dan orang-orang yang tidak sesuai dengan aliran Tuanku Nan Salapan menentang dengan hebat hukum-hukum itu, sehingga terjadilah huru-hara dan kerusuhan dalam negeri. Terjadi pertentangana antara kam agama dan kaum adat, antara lama dan penghulu (Prof H Mahmd Yunus : “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, 1983:30). (catatan : Sku dan real adalah satuan mata uang di waktu itu di inangkabau).

Di Giri, Gresik, pada masa Walisongo Sunan Giri, pelaksanaan syari’at Islam di bidang ibadah dan tauhid mengikuti tuntunan yang dijelaskan daam Kitab al-Qur:a dan Sunnah Rasul. Tidak berkompromi dengan ajaran-ajaran lain, seperti Hindu, Budha, animisme, dinamisme. Gerakan Snan Giri yang juga didukung oleh Suan Ampel, SunanDradjad dipandang kolot, ekstrim, tidak mengerti sikon (fiqhul waqi’), tidak bisa beradaptasi dengan masyarakat, tdak bijaksana (Umar Hasyim : “Sunan Giri”, 1979:46).

Manusia dan masyarakat Muslim “modern” menjumpai di dalam dirinya berbagai unsur : naluri etnik, sisa sel-sel Budha-Hindu, klenik-klenik tradisional, pilar-pilar hukum Islam, jurus-jurus sekularisme, serta berbagai “kewajiban” untuk hidup “secara Barat”. Suatu gerakan swadesi dalam Islam pernah ingin “membersihkan” itu semua dan memilih satu hal yang disebut “pemurnian” Islam atau “kembali kepada al-Qur:an dan Sunnah”. Sayangnya proses “perasionalan” kehidupan agama itu kurang dilandasi pemahaman dan kesadaran mengenai proses-proses budaya manusia dan masyarakat. Maka yang diberantas pada umumnya adalah “bentuk-bentuk budaya dan bukannya pemahaman dan sikap terhadap bentuk-bentk itu. Di tengah-tengah dunia seklaristik, (kiranya) Muhammadiyah, serta berbagai badan Islam lainnya, memulai usaha memasukkan ruh Islam ke berbagai kegiatan hidup (Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nab”, 1997:209,215, Pusat Kebudayaan Muhammadiyah).

Di pasar-pasar kuno yang tertutup di Syam (Syria lama), para pedagang dengan satu jenis barang dagangan berkumpul bersama. Ketika seorang pembeli lebih dulu mendatangi salah satu dari mereka dan membeli sesuatu, kemudian lal lewat) datang pembeli kedua – dan pedagang sebelahnya belum berhasil menjual dagangannya maka dia berkata dengan ramah tamah kepada calon pembeli (kedua) : “Terus (lewat) saja da belilah dari (pedagang) sebelah saya, karena dagangan saya sudah laku, sedang punya dia belum (laku)” (Dr Muhammad Ali al-Hasyimi : “Menjadi Musli Ideal”, 1999:213).

Tinggalkan komentar

Filed under Tak Berkategori

Tinggalkan komentar